Suarakita.org- Manusia diberkahi tindakan alturistik meski setiap orang memiliki kadar yang berbeda. Sikap peduli terhadap orang lain ini, yang membuat panti asuhan tumbuh dan berkembang. Sikap ini pula yang menjadi landasan mengapa umat manusia masih eksis hingga saat ini.
Ketika ada anak dari kalangan miskin terkena kanker, maka dompet peduli atau program “jalinan kasih” pun dibuka. Manusia merasa iba untuk memberikan santunan berupa dana. Ketika seseorang didera kemiskinan, manusia merasa perlu untuk memberi, meski sekadar uang bernominal seribu.
Tapi, ketika ada seseorang dengan orientasi seksual yang tidak seperti orang-orang kebanyakan, ia malah dijauhi. Orientasi seksualnya dianggap sebagai aib yang memalukan. Padahal, orientasi seksual seseorang dalam beberapa kasus tidak ditentukan oleh dirinya sendiri. Salah satu riset menyebutkan orientasi seksual ini bahkan diturunkan lewat gen yang bukan merupakan kehendaknya.
Peneliti Northwestern University Amerika Serikat, Dr. Bailey telah meneliti mengenai perihal gen. “Tidak ada yang bisa kita lakukan dengan orientasi seksual. Kami menemukan fakta bahwa ada faktor gen yang memengaruhi itu semua.”
Hingga saat ini, Liam Davis adalah satu-satunya pesepakbola Inggris yang mengakui perihal orientasi seksualnya. Sisanya hanya diam. Mereka takut mendapatkan diskriminasi dari lingkungan yang belum siap menerima kenyataan.
Salah seorang pesepakbola Jerman yang tidak mau disebutkan namanya mengaku, ia tidak akan pernah membuka perihal orientasi seksualnya. Pasalnya, ia pernah mengaku pada rekan satu timnya, dan malah mendapatkan diskriminasi.
“Seusai pertandingan, aku berjalan menuju tempat bilas. Lalu, aku sadar kalau semua teman-temanku tidak telanjang. Mereka memakai celana pendek. Tentu saja, aku terkejut,” ujar pesepakbola tersebut.
Ketua Professional Footballers’ Association, PFA, Clarke Carlise mengungkapkan bahwa ada delapan pemain telah mengaku gay. Tujuh di antaranya memilih diam karena takut atas reaksi media dan fans.
Argentina dan Gay Games
Diskriminasi ini membuat Federation of Gay Games, FGG, membuat olimpiade khusus bagi mereka yang gay. Acara ini atau Gay Games digelar sejak 1994 ini, dilangsungkan empat tahun sekali. Sepakbola termasuk ke dalam olahraga yang dipertandingkan.
Perwakilan Komunitas Homoseksual Argentina, Comunidad Homosexual Argentina (CHA), berusaha memperjuangkan tim sepakbola gay Argentina untuk dapat berlaga di ajang Gay Games 2018 mendatang.
Presiden CHA, Cesar Cigliutti, beserta anggota tim sepakbola Argentina bertandang ke markas Federasi Sepakbola Argentina, Asociacion del Futbol Argentino (AFA). Mereka diterima oleh Penasehat Pers AFA, Ernesto Cherquis Bialo.
Dalam pertemuan tersebut, AFA menegaskan akan mendukung penuh tim sepakbola gay Argentina yang berlaga di Gay Games. AFA berjanji akan mendukung segala aktivitas tim tanpa diskriminasi.
Gay Sebagai Kata Ejekan
Gay, seringkali menjadi bahan ejekan di lapangan. Piala Dunia 2014 lalu menjadi bukti. Fans Mexico berulang kali meneriakkan kata “puto” saat kiper Kamerun melakukan tendangan gawang. “Puto” merupakan bahasa sindiran Meksiko yang berarti “gigolo” atau “male prostitution”. Kata ini sendiri sering dikaitkan dengan ungkapan “homo” atau “maho” dalam bahasa Indonesia.
FIFA cuci tangan. Mereka menganggap ejekan tersebut tidak memiliki konteks yang spesifik. Hal ini jelas mendapatkan dari organisasi yang fokus pada anti diskriminasi. FIFA sebagai induk organisasi sepakbola sekalipun tidak melakukan tindakan lebih lanjut.
Ini pula yang menjadi alasan sejumlah pemain tidak mau membuka orientasi seksualnya. Bayangkan, sumpah serapah macam apa yang keluar dari mulut fans lawan?
Diskriminasi memang sering didapatkan oleh kaum gay. Sejak dahulu kala, mereka–dari cerita yang entah nyata atau tidak—sudah mendapat perlakuan tak menyenangkan. Mereka juga dianggap sebagai sumber bencana.
Lantas perbedaan macam apa yang membuat hidup menjadi indah? Ini bukan lagi masalah siap atau belum siap. Kita adalah korban warisan indoktrinasi masa lalu.
Struktur molekul DNA ditemukan pada 1953. Siapapun kita, kepercayaan apapun yang kita yakinan, percaya penuh atas hasil tes DNA. Penelitian pun menyatakan ada pengaruh gen dalam orientasi seksual seseorang. Artinya, ada faktor “dari sananya” saat seseorang memilih untuk menjadi homoseksual. Lantas, apakah kita masih mempercayai aturan yang dibuat ratusan hingga ribuan tahun lalu itu?
Sumber: panditfootball.com