Search
Close this search box.

[Ulasan Jurnal] Membangun Ruang Nyaman Untuk Transgender Muda

Oleh : Nursyafira Salmah*

Suarakita.org- Cukup banyak fenomena yang terjadi di dalam kehidupan kaum muda, tidak terkecuali untuk kelompok transgender. Transgender muda masih berada pada fase dimana mereka mengeksplorasi identitas gender mereka. Transgender muda masih sangat rentan menanggapi dirinya sebagai homoseksual (Levitt dan Ippolito, 2014). Transgender muda memiliki ‘masalah-masalah’ tersendiri yang sangat membutuhkan solusi ‘unik’ dari lingkungan sekitar yang bersedia mendukung mereka (McGuire dan Conover-Williams, 2010). Oleh karena itu, saya ingin berbagi kepada pembaca mengenai sebuah artikel mengenai bagaimana menciptakan ‘ruang nyaman’ untuk mendukung transgender muda.

Di dalam artikel ini, penulis (McGuire dan Conover-Williams) ingin menciptakan peluang dalam membentuk ruang nyaman untuk mempromosikan kehidupan transgender muda yang baik (well-being life). Kualitas hidup transgender muda akan semakin baik jika dimulai dari keluarga, sekolah hingga kelompok formal maupun informal dapat memberikan support (dukungan – red) paling tidak terhadap identitas gender, ekspresi gender hingga orientasi seksual mereka.

McGuire dan Conover-Williams menyebutkan beberapa permasalahan yang seringkali harus dihadapi oleh transgender muda. Menurut artikel ini transgender lebih rentan menjadi korban bullying di lingkungan sekolah daripada lesbian, gay dan biseksual (Greytak, Kosciw, dan Diaz, 2009). Transgender muda juga rentan mengalami penolakan, pengusiran hingga kekerasan di dalam keluarga (Grossman, D’Augelli, dan Salter, 2006). Transgender muda pun sangat rentan kehilangan dukungan finansial. Transgender muda yang pada umumnya ‘ditolak’ oleh keluarga maka ia akan sulit mendapatkan asupan finansial untuk mendukung kehidupannya baik untuk mengakses pendidikan (sekolah), hingga untuk mengakses pelayanan kesehatan (terapi hormonal, dan lainnya). Artikel ini menekankan bahwa transgender muda juga rentan menjadi tuna wisma (homeless), berawal dari penolakan untuk tinggal satu atap dengan keluarga mereka. Semua hal ini berkaitan dengan ekspresi gender transgender (non-conforming gender) yang lebih mudah terlihat secara kasat mata dan menjadi ‘alat’ yang paling ampuh untuk mendiskriminasi transgender muda.

Lalu bagaimana caranya menanggulangi permasalahan para transgender muda ini demi mendukung perkembangan identitas mereka secara positif? McGuire dan Conover-Williams merincikan beberapa hal yang dapat mendukung transgender muda. Pertama, semua diawali dengan keluarga yang suportif. Orang tua dan anak mereka yang transgender harus mampu saling bernegosiasi mengenai kebutuhan dan keinginan masing-masing. Keluarga juga harus menghormati pilihan anak mereka sebagai transgender, menghormati ekspresi gender hingga orientasi seksual mereka. Keluarga juga disarankan untuk mulai toleran terhadap pilihan nama atau panggilan anak mereka sesuai dengan keinginan mereka.

Kedua, keluar dari lingkungan keluarga transgender muda akan menghadapi lingkungan sekolah. Sekolah juga diharapkan dapat menjadi lingkungan yang suportif bagi transgender muda. Sekolah yang baik bagi transgender muda adalah sekolah yang tidak mendiskriminasi siswa transgender mereka bahkan dalam urusan fasilitas umum di sekolah seperti kamar mandi. Kamar mandi tanpa pilihan ‘laki-laki’ atau ‘perempuan’, atau bahkan menyediakan satu kamar mandi untuk transgender akan lebih baik bagi mendukung keberadaan transgender muda di sekolah. Sekolah diharapkan mampu menjadi sumber informasi bagi siswanya mengenai LGBT atau isu-isu identitas gender, ekspresi gender hingga orientasi seksual.

Yang terakhir, artikel ini menyebutkan bahwa komunitas atau kelompok juga berperan penting dalam mendukung perkembangan identitas transgender muda secara positif. Berdasarkan penelitian dalam artikel ini, para transgender muda menyatakan bahwa komunitas atau kelompok mampu menyediakan atau setidaknya memberikan rekomendasi terhadap sarana dan prasarana yang sulit untuk di akses oleh mereka, terutama masalah perlindungan dan tempat tinggal. Komunitas atau kelompok diharapkan dapat menjadi agen yang signifikan berkontribusi dalam perkembangan identitas transgender di fase muda mereka. Terutama untuk masalah advokasi yang berkaitan dengan permasalahan hukum dan perjuangan hak-hak transgender muda di level yang lebih makro.

Pada intinya, menurut McGuire dan Conover-Williams dalam artikel ini, ‘ruang nyaman’ bagi transgender muda dapat diciptakan jika kondisi lingkungan keluarga, sekolah hingga kelompok atau komunitas sudah mampu menjadi support system yang baik untuk transgender muda. Kualitas support system yang baik akan menyediakan ‘ruang nyaman’ yang lebih baik pula bagi transgender muda.

 

*Penulis adalah mahasiswa FISIP UI, tahun 2014 pernah magang di Suara Kita. Saat ini penulis sedang melakukan penelitian mengenai transgender female to male.

 

Jurnal lengkap bisa diunduh di tautan ini