Search
Close this search box.

0,,16240209_303,00Suarakita.org- Hanya 1 persen atlet LGBT yang merasa diterima, sementara sisanya kerap menjadi obyek kekerasan verbal dan fisik karena membuka diri sebagai homoseksual. 17 Mei diperingati sebagai hari anti homofobia dan transfobia.

Sekitar 9500 orang diwawancara untuk studi “Out on the Fields”. Peserta survei kebanyakan berasal dari Australia, Inggris, Kanada, Irlandia, Selandia Baru, dan Amerika Serikat. “Bahkan di negara-negara maju seperti Kanada, diskriminasi dan homofobia masih dialami oleh banyak peserta survei. Baik mereka yang LGBT maupun heteroseksual”, demikian kesimpulan studi tersebut.

Peserta survei memiliki latar belakang seksualitas yang berbeda-beda. Sekitar 25 persen mengaku heteroseksual. 19 persen pria gay dan sembilan persen lesbian yang mengikuti survei mengatakan, mereka pernah menjado obyek kekerasan secara fisik. Dan 78 persen yakin, kaum LGBT tidak akan aman, jika menunjukkan seksualitas mereka secara terbuka. Seperti misalnya berciuman dengan pasangannya di muka umum.

Sudah sejak masa sekolah
Di dunia olahraga, homofobia atau sikap dan perasaan negatif terhadap homoseksual, menurut survei seringnya ditemukan di kalangan penonton ajang olahraga (41 persen), dan pelajaran olahraga di sekolah (21 persen). Walau bukan merupakan studi akademik, survei yang menggunakan data yang dikumpulkan oleh perusahaan penelitian pasar olahraga Repucom juga diulas oleh tujuh pakar masalah homofobia dlam dunia olahraga.

Termasuk Caroline Symons dari Victoria University di Melbourne: “Banyak atlet LGBT yang memilih untuk tidak mengungkap seksualitas mereka yang sesungguhnya agar bisa terus menekuni bidang olahraga. Mereka sangat menjaga penampilan dan omongan agar tetap terlihat sebagai heteroseksual.”

Dampak bahasa homofobik
Pakar lainnya, Grant O’Sullivan mengatakan bahasa yang homofobik sering terdengar di lapangan, atau di ruang ganti. “Kadang tidak bermaksud menyakitkan. Tapi bisa berakibat fatal jika didengar oleh mereka yang tengah berkutat dengan masalah seksualitasnya.” O’Sullivan khawatir, jika pengalaman negatif sudah dialami sejak di bangku sekolah, maka bisa jadi kaum LGBT akan menghindari dunia olahraga seumur hidup.

Pemain sepak bola klub LA Galay dan bekas pemain Leeds Robbie Rogers adalah satu dari sedikit pemain sepak boal profesional yang mengaku kalau dirinya gay. Ia berharap, hasil studi ini akan membuat perubahan. “Perubahan bisa dimulai oleh atlet atau fans yang memutuskan untuk tidak lagi menggunakan bahasa homofobik, walau hanya dimaksudkan sebagai gurauan”, ujarnya.(vlz/rzn (afp) )

Sumber: dw.de