Search
Close this search box.

[Resensi] Secuil Cerita dari Gay Masa Kolonial Belanda

Oleh: Nadyazura*

Suarakita.org- Bagaimana bisa seseorang menjadi Gay? Sejak kapan praktik Gay muncul di Indonesia? Bagaimana Gay dan Homoseksual menjalankan hidupnya di Masyarakat Indonesia yang masih Homofobik?

Barangkali pertanyaan-pertanyaan itu yang selalu muncul di benak kita jika membicarakan tentang praktik Gay dan Homoseksual. Masuknya praktik Gay ke Indonesia sering dituduhkan terjadi pada masa generasi 1960-1990 ketika negara Amerika mengalami Civil Movement yang di dalamnya terkandung tuntutan perlindungan hak-hak Gay dan Lesbian. Ternyata, Amen Budiman berhasil menemukan catatan harian Sucipto, seorang Gay yang hidup pada masa kolonial 1920-1930an.

Pada tahun 1938 Pemerintah Hindia Belanda menangkapi para pelaku homoseksual di Batavia, Semarang, Surabaya, Bandung, Cirebon, Cianjur, Salatiga, Magelang, Yogyakarta, Malang, Pamekasan, Medan, Belawan, Padang, Palembang hingga kota-kota kecil.

Penangkapan dilakukan setelah tertangkap basahnya Mr. Fievea de Malinez, Residen Batavia melakukan tindakan asusila pada seorang lelaki pribumi. Mr. Fieva de Malinez dijerat berdasarkan hukum Wetboek van Strafrecht atau Kitab Undang-undang Hukum Pidana.

Buku ini merupakan catatan autobiografi Sucipto yang memilih jalan hidup tidak menikah dan menyukai laki-laki. dalam buku yang merupakan catatan autobiografi ini menjadi bukti nyata bagaimana praktik gay bahkan sudah ada sejak masa kolonial. Praktek gay tidak hanya terjadi antara Belanda dengan Pribumi melalui relasi kuasa, tetapi dilakukan pula pada etnis lain seperti Tionghoa, Arab, bahkan sesama Pribumi.

Dalam buku ini kita bisa melihat bahwa ketertarikan kepada laki-laki yang dirasa Sucipto hadir begitu saja dan cinta pertamanya sama-sama pribumi. Buku ini juga menunjukan komunitas-komunitas homoseksual penyuka laki-laki yang membaur bisa bertemu dengan teman-teman yang penyuka laki-laki maupun penyuka perempuan. dan praktik seks sodomi merupakan hal yang tidak disukai oleh Penulis autobiografi ini. Banyak hikmah nasihat yang bisa ditemukan dalam buku ini. nasihat yang paling saya sukai dalam buku ini adalah, “Jangan takut kepada orang lain, tapi takutlah pada dirimu sendiri” (Bab XVIII hlm 183).

Sedangkan barangkali kalimat yang disukai Amen Budiman selaku penyunting buku ini adalah, “Bukankah karena cinta, kehidupan mereka akhirnya sering amburadul tak karuan?bukankah karena cinta, harta mereka ludes tiada tersisa? Bukakah karena cinta, mereka sering gelap mata, sampai melakukan pembunuhan dna akhirnya mendekam di penjara?” yang terdapat dalam pengantar buku ini. Barangkali pembaca nanti bisa menemukan nasihat berbeda yang paling disukai dalam buku ini.

Kisah dimulai dengan menceritakan masa kecil Sucipto sebagai anak priyayi anak seorang kasir gula di Waru yang beruntung mendapatkan pendidikan dan bersekolah. Sayangnya, hidupnya berubah ketika ayahnya menceraikan ibunya. Sucipto kecil harus hidup terpisah dari ibunya dan baru bertemu lagi dengan ibunya ketika si ibu sudah menikah lagi dengan orang lain yang kekbetulan juga priyayi. Sayangnya, nasib mujur tidak berpihak pada Sucipto.

Ayah Tiri Sucipto ternyata benci kepadanya, seringkali ia dipukul dan dimarahi tanpa alasan yang jelas. Tinggal bersama ayah tiri menyingkap jati diri Sucipto sebagai seorang yang menyukai laki-laki. Sucipto jatuh cinta pada pandangan pertama kepada seorang seniornya dan menurut pemaparan dia, awalnya ia kaget mengetahui memiliki debaran dan hasrat pada laki-laki dan bukan pada perempuan.

Sayangnya, cinta pertama yang manis ini harus kandas karena kekasihnya pindah untuk meneruskan sekolah. Sepeninggal kekasihnya, tiada lagi yang bisa menghibur Sucipto dari siksaan ayah tirinya, bahkan ibunya sendiri juga tidak mampu menolong anaknya. Maka minggatlah ia dari rumahnya, meninggalkan status priyayi dan hidup luntang-lantung meminta pekerjaan pada beberapa sanak familinya.

Selama hidup di jalanan Sucipto belajar untuk bertahan hidup dan dari sini ia mulai mengenal komunitas teman-temannya sesama penyuka lelaki dan melakukan plesir. Walaupun Sucipto mengakui sebagai penyuka laki-laki tapi dia pernah berhubungan seks dengan perempuan dan menurut pemaparannya ia menjadi menyesal karenanya.

Jalan cerita dalam buku ini mengalir tapi tidak dengan cara penyampaiannya. Buku yang ada pada saya merupakan hasil dari proses editing dokumen berbahasa melayu yang ejaannya tidak seperti sekarang kita gunakan dan belum dalam bahasa Indonesia. Ada banyak paragraf yang lompat tetapi tidak begitu menganggu jalan cerita. Seringkali Sucipto tidak menyebutkan siapa nama tokoh yang berhubungan dengannya. Tidak disebutkan nama cinta pertamanya dan begitu pula beberapa nama seperti majikan pertamanya, ataupun teman senasibnya yang ia temui pada orangtuanya.

Bahkan Penulis autobiografi ini lupa menyebutkan namanya dalam kisahnya. Kita hanya mengetahui melalui dialog ketika ia dipanggil “cip” atau”cung”. Dia tidak menjelaskan gelar maupun nama panjangnya dalam teks yang ia tulis ini. Tapi biar bagaimanapun, autobiografi ini merupakan bukti sumber sejarah yang berharga sebagai bukti prilaku homoseksual masa kolonial Belanda. Bahwa praktik Homoseksual Gay dan lesbian sudah ada sejak berabad-abad lalu dan selalu ada dalam setiap komunitas. Toh, dengan adanya praktik Homoseksual di dalam peradaban manusia tidak membuat peradaban manusia menjadi punah seperti yang ditakutkan orang-orang.

Buku ini layak untuk dibaca, dinikmati sebagai karya sastra ataupun sebagai sumber penulisan Sejarah Homoseksual. Karena tidak hanya kisah hidup Sucipto dan informasi tentang komunitas Homoseksual yang berharga disini, nasihat-nasihat hidup yang ditulis Sucipto dalam autobiografinya ini sangatlah berguna dan masih sangat relevan untuk diterapkan hingga masa sekarang.

 

Penulis adalah calon Historian yang menyukai belajar seperti ia menyukai dirinya sendiri.