Search
Close this search box.

Maman Suherman: Wartawan Mesti Mencerahkan

Suarakita.org- Sabtu, 25 April 2015 Suara Kita mengadakan diskusi buku novel berjudul Re. Buku novel bercerita mengenai seorang lesbian pekerja seks karangan Maman Suherman. Di diskusi buku ini, Suara Kita mengundang penulis buku tersebut sebagai narasumber. Tepat pukul 17.00 WIB diskusi dimulai.

Di awal diskusi, Maman Suherman menjelaskan bagaimana proses terciptanya buku Re. Novel itu sebenarnya adalah hasil sebuah skripsi penulis ketika sedang kuliah di Universitas Indonesia jurusan Kriminologi pada tahun 1989. Awalnya dia tertarik melihat fenomena pada periode tersebut dimana isu-isu HIV sedang mulai marak dibicarakan. Ketika turun di lapangan, ia banyak melihat bagaimana manusia dibedakan hanya karena orientasi seksualnya berbeda.

Re sebagai tokoh sentral dalam buku tersebut adalah seorang wanita yang hamil di luar nikah. Keadaanya semakin tertekan dengan statusnya sebagai anak ‘haram’. Sejak kecil ia tidak pernah tahu siapa ayah kandungnya karena ia lahir dari seorang ibu yang juga mengandung dan melahirkannya di luar pernikahan. Identitas Re sebagai anak ‘haram’ dan lahir dari seorang ibu yang dicap sebagai pelacur membuat Re melakukan pemberontakan. Re kemudian memilih melahirkan anak tersebut karena baginya yangg bersalah adalah dirinya bukan anak dalam kandungannya. Sehingga ia merasa mempunyai tanggung jawab moral kepada anak tersebut.

Lagi- lagi kemalangan menimpa Re. Orang yang membantunya hingga akhirnya melahirkan anak tersebut adalah seorang mafia (germo) pelacuran untuk lesbian. Mau tidak mau Re tidak kuasa menolak suratan takdir, ibarat peribahasa mengatakan sudah jatuh tertimpa tangga pula. Di sinilah titik awal penulis (Maman Suherman) berkenalan dengan Re di sebuah hotel di daerah Matraman. Sehingga novel ini adalah sebuah cerita nyata penulis dalam rangka menyelesaikan studinya. Penulis juga menceritakan bagaimana seluk beluk mafia prostitusi secara terselung terjadi di Indonesia yang melibatkan orang- orang yg berkuasa di pemerintahan dan terpandang di masyarakat.

“Kejahatan terjadi semata- mata bukan karena banyaknya penjahat tapi karena diamnya orang- orang baik yang cari aman”, begitulah kata Maman Suherman. Dan itulah yang membuat penulis tergerak hatinya untuk memublikasikan skripsinya tersebut sebagai bentuk untuk tidak diam terhadap kejahatan dalam sebuah novel agar dapat dibaca masyarakat luas.

Re bukanlah hanya sekedar nama dalam novel tersebut, namun sebenarnya penulis hendak memberikan pesan moral kepada pembacanya bahwasanya sudah saatnya kita melakukan Reinterpretasi, Rethingking terhadap nilai, makna, dan moral yang telah tumbuh dan berkembang sejak lama di dalam masyarakat tanpa bermaksud membenturkan agama dengan ilmu pengetahuan. “Anda boleh percaya terhadap satu agama tertentu namun tidak berhak menjatuhkan palu dan menghakimi orang lain”, tegas Maman.

Setelah sekitar empat puluh menit membahas mengenai buku, Jane sebagai moderator dalam bedah buku kali ini mempersilahkan kepada peserta yang hadir untuk bertanya, memberikan tanggapan atau berbagi pengalaman. Sussan, peserta diskusi memberikan tanggapan mengapa tokoh seperti Re atau pekerja seksual sangat takut terhadap mami (mafia) di era yang sudah sangat merdeka seperti ini.

Menurut Maman yang selalu menakutkan dan harus dilakukan adalah perubahan secara fundamental. Bahwasanya kelompok minoritas harus bersuara untuk kemudian mendapatkan perlindungan secara hukum.

Jane sebagai moderator kemudian mempertanyakan mengenai bagaimana wartawan atau jurnalisme dalam membuat berita yang sangat membuat stigma negatif terhadap homoseksual.

Bagi Maman Suherman hal tersebut menjadi pekerjaan rumah bagi teman- teman Suara Kita untuk membangun jurnalistik berprespektif gender dan orientasi seksual. Karena tidak semua orang memahami hal tersebut . “Opinion is free but data is sacral”, kata Maman. Itulah yang seharusnya dipahami oleh semua jurnalis, jangan mencampur aduk antara opini yang berkembang di masyarakat dan fakta yang sebenarnya. “Masih banyak wartawan yang belum bisa membedakan antara orientasi berbeda dan penyimpangan. Sehingga tugas wartawan yang semestinya mencerahkan tidak terpenuhi”, ungkap Maman. (Eddy)