Search
Close this search box.

Radikal Demokrasi Untuk Kelompok Minoritas

Suarakita.org- Minggu , 19 April 2015, Suara Kita mengadakan kuliah umum bertema Pemikiran Chantal Mouffe (Theory Change of Eqivalent) Dalam Strategi Perjuangan Kelompok Minoritas bersama narasumber Dr. L.G. Saras Dewi, M.Hum, Ketua Departemen Filsafat Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia.

 

Saras Dewi memulai kuliahnya dengan bagaimana menafsir ulang makna demokrasi. “Tidak ada perjuangan yang demokratis di balik konsensus yang semu”, begitulah kata Saras. Maksud dia adalah sebuah konsensus yang didominasi oleh identitas-identitas yang sifatnya sangat tertutup seperti identitas etnis, suku serta nasionalitas.

 

Saras Dewi melanjutkan bahwasannya semua gagasan harus dapat hidup secara bersama-sama di ruang publik maupun privat. Dalam hal ini kekuasaan adalah tempat yang kosong dimana semua orang dapat mempertentangkan semua wacana. Semua nilai itu sifatnya tidak esensialis ( tidak dibawa sejak lahir).

 

Masyarakat sebagai subjek menjadi terdetotalisasi. Semua konstruksi yang melekat pada individu sifatnya hegemonik. Kita tidak terlahir dengan identitas tersebut ,”Misalnya Anda terlahir berkelamin perempuan, namun itu bukan identitas Anda kalau ekspresi atau orientasi seksual Anda mungkin tidak heteroseksual”, ungkap Saras Dewi.

 

Menurut Saras Dewi kegandaan identitas menjadi hal yang penting dalam pemikiran Mouffe . Kebenaran bagi Mouffe tidak ada lagi yang sifatnya metafisik. Demokrasi Radikal yang dikehendakinya adalah perseteruan secara terbuka. Perdebatan yang terjadi hanyalah persoalan artikulasi yang akan kita gagas dan ini menyaratkan sebuah diskusi yang rasional dan kritis. Karena tidak ada lagi yang metafisik, fondansional dan essensial maka yang terjadi adalah perang wacana atau seteru secara terbuka secara terus menerus hingga sampai pada titik ekstrim dengan wacana lain yang berseberangan dengan reartikulasi subjek yang lain.

 

Demokrasi radikal yang dikehendaki oleh Mouffe menghendaki subjek untuk membebaskan diri dari pandangan-pandangan fondasional tersebut. Memrioritaskan yang benar terlebih dahulu baru kemudian bicara mengenai keadilan. Dan kebebasan subjek untuk hidup dan berseteru itu harus benar- benar dijaga oleh negara. Karena radikal demokrasi tersebut menyaratkan subjek yang terus menerus “berseteru” secara artikulatif dan itulah ciri negara demokrasi yang sesungguhnya. Karena itu, kehadiran subyek sangat dibutuhkan karena tidak semua orang memiliki pemahaman yang sama seperti apa yang kita pahami. “Reartikulasi harus dilakukan ke semua orang dan secara terus-menerus”, kata Saras Dewi.

 

Kemudian Saras Dewi Menjelaskan bahwa Mouffe juga memberikan masukan kepada gerakan feminisme karena argumentasi essensial tadi sudah tidak dapat lagi digunakan. Harus ada strategi baru, itulah yang dimaksudkan oleh Mouffe dengan change of equivalencies tersebut. Kritik Mouffe terhadap feminisme adalah ada problem pemahaman gender tersebut. “Ketika kita berjuang untuk isu feminis, kita tidak lagi berjuang untuk untuk womenhood tersebut tetapi artikulasi pemosisian perempuan dalam kewarganeraaan”, ungkap Saras Dewi.

Suasana Diskusi Kuliah Umum (Foto; Yatna/Suara Kita)
Suasana Diskusi Kuliah Umum
(Foto; Yatna/Suara Kita)

Setelah kurang lebih satu jam memberikan kuliah mengenai pemikiran Chantal Mouffe, Christine selaku moderator dalam diskusi kali ini memberikan kesempatan kepada para peserta untuk bertanya maupun menanggapi.

 

“Apakah penggunaan sosmed (sosial media – red) merupakan bagian dari artikulasi tersebut? dan bagaimana dengan pemikiran kritis yang kemudian dikriminalkan”, tanya Jane peserta kuliah umum.

 

Saras Dewi pun menjawab bahwa sosial media mengrucutkan ranah yang benar-benar dapat memberikan kita kebebasan untuk mempertandingkan gagasan-gagasan tersebut dan itu lebih baik dari pada memendam masalah tersebut. Menurutnya kita harus menghargai ruang berpendapat tersebut, oleh karena itu dia sangat tidak setuju pengriminalisasian pendapat. Kita harus terbisa tidak mempunyai fondasi karena tidak ada yang sifatnya bawaaan karena kesemuanya tersebut adalah hegemoni.

 

Sementara Fere mempertanyakan mengenai sampai batas mana ‘seteru’ dapat dilakukan dan hukuman seperti apa yang diberikan apabila batas tersebut dilanggar, “Kan tidak mengkin mem-bully balik ketika kita misalnya menerima suatu penghinaan?”

 

Menurut Saras Dewi justru kita harus malukan melakukan bully balik tersebut , itulah agonisme yang dimaksudkan oleh Mouffe, “Kita berseteru dalam wacana dan melakukan artikulasi secara terus menerus. Di situlah Mouffe melakukan terobosan yang sangat radikal dimana kita tidak lagi mempunyai ruang pribadi yang sifatnya sangat privat”.

 

Sementara itu Tofan mempertanyakan batas antara ruang publik dan privat dan bagaimana hubungannya dengan identitas.

 

Menurut Saras Identitas harus tetap tampil dan mempunyai kekerasan dalam artikulasi. Karena publik dan privat tidak lagi bisa melayani penjelasan demokrasi radikal secara simultan. Kehadiran dua identitas (publik dan privat) terjadi secara terus menerus dan tarik menarik. Samarnya batas ruang privat dan publik membuat artikulasi secara terus menerus dan memperbaiki diri kemudian melakukan modifikasi.

 

Jane kemudian menambah pertanyaan lagi apakah kaum LGBT di Indoensia sudah siap dengan demokrasi radikal.

 

“Saya agak takut menjawab pertanyaan itu”, ungkap Saras Dewi. Kemudian dia menjelaskan bahwa perjuangan LGBT di Indonesia masih butuh esensi karena ada solidaritas di dalamnya.

 

Lanjut Saras Dewi, Kondisi demokrasi radikal hanya bekerja dalam konteks sudah dijaminkannya kebebasan, kesetaraan dan dalam hal ini masih defisit untuk Indonesia. Negara masih absen dalam memenuhi tugasnya yaitu memproteksi hak negatif dari individu ataupun masyarakat itu belum ada . (Eddy)