Search
Close this search box.

[Diskusi Film] The Imitation Game: Drama Sejarah Hidup Alan Turing

Suarakita.org- Cuaca mendung dan kurang bersahabat tidak membuat nonton bareng (nobar) dan diskusi kali ini di Suara Kita lantas menjadi sepi. Sahabat Suara Kita dan para mahasiswa dari Universitas Indonesia (UI) , Universitas Negeri Jakarta (UNJ) , Universitas Paramadina turut meramaikan acara nobar dan diskusi yang diadakan pada Minggu, 4 April 2015.

 

Acara dimulai pada pukul 15.30 WIB dihadiri lebih dari dua puluh lima orang memenuhi ruang tengah sekretariat Suara Kita di Kalibata. Acara kali ini mengundang Tunggal Pawestri sebagai pembicara. Beliau adalah program manager Hivos yang juga aktif menyuarakan hak-hak perempuan dan LGBT.

 

Film The imitation Game ber-genre historical thriller yang disutradarai oleh Morten Tyldum berdurasi 114 menit ini rilis pertengahan Januari di bioskop Indonesia. Benedict Cumberbatch dapat dikatakan sukses dalam memerankan tokoh Alan Turing dalam film ini.

 

The Imitation Game mengangkat kisah nyata mengenai seorang ahli matematika juga ahli kode bernama Alan turing (Benedict Cumberbatch). Film berlatar perang dunia kedua ini bercerita bagaimana Alan Turin dan timnya berusaha memecahkan kode dari mesin pesan Enigma milik Jerman yang menjadi musuh bebuyutan Britania Raya pada saat itu.

 

Untuk itu Alan Turing mendapat tugas membuat mesin yang mampu memecah kode Enigma. Selain rancangan mesin yang sangat rumit juga membutuhkan dana yang sangat besar dalam pemmbuatnya. Alan sempat dicurigai sebagai mata- mata Uni Soviet karena sikapnya yang enggan bergaul, lebih senang bekerja sendiri serta selalu merasa yang paling benar. Namun suasana tersebut akhirnya mulai mencair dengan kehadiran ahli matematika lain yg menjadi bagian dari timnya bernama Joan Clarke (Keira Knightley). Berkat Clarke , Alan berhasil meraih kepercayaan dari rekan- rekan dan atasannya. Meski tak lagi dicurigai sebagai mata- mata Alan masih menyembunyikan rahasia besar tentang jati dirinya bahwasanya dia adalah seorang homoseksual.

 

“Now If you wish you could have been normal, ….I can promise you I do not. The World is an infinitely better place precisely because you weren’t,” yang bermakna bahwa menjadi unik dan berbeda justru terkadang adalah hal terbaik. Salah satu kutipan dalam film ini yang penuh makna. Tak heran jika film ini menyabet 39 penghargaan di berbagai festival film Internasional dan delapan kategori untuk piala Oscar di Academy Awards 2015.

 

Setelah selesai menonton film , Tunggal meminta peserta untuk memberikan kesan- kesan apa yang di dapat setelah menyaksikan film tersebut. Salah seorang sahabat Suara kita berpendapat kendatipun Alan Turing seorang Gay namun berkat hasil penemuannya ia dihargai banyak orang. Sementara Teguh Suara Kita mengajukan pertanyaan , “apakah seorang homoseksual harus berprestasi seperti Alan Turing terlebih dahulu baru dapat dihargai oleh banyak orang?” dengan kata lain apakah untuk diterima di dalam masyakat seorang Gay membutuhkan suatu prasyarat? Sebuah pertanyaan menarik untuk dielaborasi lebih jauh. Yang lain berpendapat bahwa film tersebut menampilkan wajah Gay berbeda , dimana seorang gay tidak melulu digambarkan sebagai laki- laki yang gemulai.

 

Tunggal memulai presentasinya dengan mengajukan pernyataan alasan sebenarnya pada saat Lady Gaga akan konser di Jakarta menuai banyak kecaman. Tidak lain adalah karena Gaga hendak mempromosikan homoseksual dengan caranya sendiri . Kemudian Tunggal melanjutkan dengan menceritakan periode Undang- Undang yang meng-kriminalisasikan homoseksual di Inggris. Pada era tersebut aktivitas analseks dikategorikan sebagai kejahatan sipil. Kurang lebih 50.000- 100.000 orang gay dijatuhi hukuman sampai dengan akhir abad ke-20.

 

Tunggal juga menceritakan seorang tokoh yang bernama Stephen Close yang pada mulanya masuk militer supaya menjadi seorang “laki- laki”. Namun pada suatu ketika dia mabuk , hilang kendali dan berciuman dengan anggota militer yang lain. Akibat dari perbuatannya, ia harus dikeluarkan dari militer dengan tidak hormat dan mendapatkan hukuman.

 

Setelah itu Tunggal memaparkan tantangan bagi gerakan LGBT di Indonesia. Menurut Tunggal tangtangan itu ada yang bersifat internal dan eksternal. Internal adalah bagaimana kelompok LGBT membuat sebuah database mengenai kerasan atau krimininalisasi yang diterima oleh kelompok LGBT. Sedangkan dari faktor eksternal adalah menggalang dukungan dari kelompok- kelompok lain seperti kelompok Buruh, kelompok Tani, dan lainnya. (Eddy)