Oleh : Nursyafira Salmah*
Suarakita.org- Banci, bencong, waria, wandu. Mungkin kita sudah terlalu awam untuk melihat, setidaknya mengetahui keberadaan mereka di sekitar kita. Atau bahkan mungkin beberapa dari kita hanya sekedar menilai mereka secara kasat mata. Akan menjadi lebih baik jika kita mengetahui bahwa para transgender, baik transgender laki-laki maupun transgender perempuan memiliki proses masing-masing hingga mereka yakin untuk menjadi diri sendiri sebagai transgender.
Identitas yang mereka hayati saat ini adalah bentuk kemerdekaan personal bagi diri mereka masing-masing. Proses yang panjang mereka alami mulai dari menyadari ketidakcocokan seks dengan gender, menilai diri sebagai orang dengan same-sex desire atau homoseksual, hingga keinginan untuk ‘memodifikasi’ tubuhnya sesuai dengan karakteristik seks yang mereka inginkan.
Jurnal berjudul Being Transgender: The Experience of Transgender Identity Development memaparkan penelitian mengenai sebuah fenomena perkembangan identitas transgender yang memberikan gambaran kepada kita bagaimana seorang transgender tumbuh dan berkembang. Pengumpulan data penelitian dilakukan melalui proses interview (wawancara – red) terhadap 17 orang yang mengidentifikasi dirinya sendiri (self-identified) sebagai transgender. Levitt dan Ippolito (2014) sebagai peneliti mengambil sampel transgender perempuan maupun transgender laki-laki. Mereka melihat bagaimana para transgender yang menjadi informannya bertahan dalam menghadapi diskriminasi saat mereka melakukan transisi menjadi identitas gender yang baru.
Jurnal penelitian yang terhitung baru ini menggambarkan bagaimana orang-orang yang beridentitas di bawah payung identitas transgender memiliki tahapan hingga sampai di titik di mana mereka sampai pada identitas mereka saat ini. Namun, hingga sampai titik tersebut perlu dilihat tahap-tahap perkembangannya. Ada sebuah proses yang kemungkinan terbentuk dalam memperoleh identitas mereka. Kemungkinan terdapat pertimbangan pengalaman internal mengenai gender dan keterkaitannya dengan ketersediaan sumber daya, kemampuan meniru dan konsekuensi dari transisi gender. Penelitian ini ingin melihat bagaimana proses perkembangan identitas transgender hingga mereka menemukan ‘jati diri’ (identitas) mereka saat ini.
Jurnal ini menyadarkan kita bahwa dilematisnya identitas gender sebagai transgender di masyarakat itu karena mereka menjadi korban struktur gender di masyarakat. Struktur gender yang seperti apa? Menurut Judith Butler (1999) struktur gender dalam masyarakat pada umumnya dirancang menjadi dua kategori, maskulin dan feminin. Kedua kategori ini diasumsikan muncul secara natural dari kategori seks yang dikotomis (terbagi menjadi dua yang berlawanan) dan cocok untuk menunjukkan kualitas yang ditujukan pada tiap seks.
Berkaca pada hasil paparan informan wawancara, peneliti melihat bahwa identitas transgender memiliki tahapan-tahapan yang sangat unik. Para transgender bahkan pernah masuk pada masa di mana mereka menghayati diri sebagai homoseksual. Namun, seiring berjalannya waktu, mereka mulai mengambil pilihan untuk mengintegrasikan karakteristik seks mereka mereka (sesuai dengan gender yang mereka inginkan) dengan menjalani perawatan hormonal (hormonal therapy) atau bahkan operasi penegasan kelamin.
Dengan identitas barunya sebagai transgender (atau bahkan transeksual-kategori untuk mereka yang menjalani penegasan kelamin-penggunaannya masih menimbulkan perdebatan), mereka mulai lagi untuk hidup dan berhubungan dengan orang lain dengan identitas gender mereka. Mereka juga belajar lagi untuk mengelola stigma dan diskriminasi yang mereka peroleh karena representasi mereka sebagai transgender.
Paparan dari penelitian Levitt dan Ippolito (2014) ini bisa memberikan gambaran kepada kita yang sudah yakin mengidentifikasi diri sebagai transgender atau bahkan untuk mereka yang masih merasakan ‘kegamangan’ untuk menjadi transgender. Yang perlu diyakini oleh teman-teman transgender adalah keyakinan untuk memilih identitas itu adalah sebuah proses. Yakin untuk memilih identitas sebagai transgender didapat oleh para informan penelitian ini melalui pengalaman mereka dari waktu ke waktu dengan berinteraksi dengan orang lain.
Representasi transgender saat berinteraksi dengan lingkungannya memiliki implikasi positif dan negatif. Jadi, untuk teman-teman transgender, biasakan diri untuk tidak perlu takut dalam menunjukkan siapa diri kita dan apa identitas kita. Respon positif dan negatif dari lingkungan sekitar tentang identitas atau orientasi kita itu seperti sebuah ‘keharusan’ untuk mempertajam keyakinan kita tentang identitas. Mengutip sebuah pernyataan dari Hartoyo (Ketua Suara Kita) dalam diskusi Open Group Transmen, mengenai identitas, bahwa “Politic is personal”.
*Penulis adalah mahasiswa sosiologi UI yang sedang meneliti transgeder female to male. Penulis juga pernah magang di Suara Kita.
Ringkasan Jurnal bisa diunduh di bawah ini.
[gview file=”http://suarakita.org/wp-content/uploads/2015/03/Ringkasan-Jurnal-Perkembangan-Identitas-Transgender.docx”]
Jurnal asli bisa diunduh di bawah ini.
[gview file=”http://suarakita.org/wp-content/uploads/2015/03/SL-Transgender-Identity-Experience.pdf”]