Search
Close this search box.

PK; Sebuah Kontemplasi Kehidupan Beragama

maxresdefault1
Poster Film PK (Sumber : http://i.ytimg.com/vi/82ZEDGPCkT8/maxresdefault.jpg)

Oleh : Jane Maryam*

Suarakita.org- Dari sampul depan film PK saja sudah menuai perhatian, apalagi isi cerita film ini. Film yang diproduseri Vidhu Vinod Chopra dan Rajkumar Hirani ini memancing kontroversi dari sejumlah kalangan di India sejak perilisannya pada 19 Desember 2014. Seperti yang diberitakan oleh The Hollywood Reporter, PK telah menjadi film terlaris sepanjang perfilman di India dengan total pendapatan yaitu 49 juta dollar atau sekitar 6 trilliun rupiah.

PK adalah singkatan dari “Peekay” yang dalam bahasa India artinya mabuk. Dengan mata yang kerap mendelik dan tampang yang innocent, Aamir Khan dinilai banyak insan perfilman India cukup sukses memerankan tokoh PK dalam film tersebut.

Cerita bermula ketika PK sebagai Alien mendarat ke bumi dan kecurian kalung. Sembari mencari tahu orang yang mencuri kalungnya tersebut, PK belajar banyak tentang kehidupan di bumi, mulai dari bagaimana manusia berpakaian dengan layak, belajar tentang penggunaan uang, dan berkomunikasi. Dan setiap ia menanyakan ke orang-orang sekitarnya tentang dimana kalungnya yang juga berfungsi sebagai remote control tersebut jawaban yang diperoleh pasti mengatakan bahwa hanya Tuhan yang bisa membantunya.

Kemelut tentang pencarian figur tuhan dalam film tersebut dikemas dengan sangat apik. Pertanyaan-pertanyaan tentang apa itu tuhan? kenapa tuhan orang Hindu berbeda dengan tuhan Muslim atau beda dengan tuhan orang Kristen? Atau kenapa di Hindu menyembah patung lalu ada sesajen kelapa, sedangkan pada sakramen Kristen justru tersedia minuman anggur daripada kelapa, akan tetapi berkebalikan dengan Islam yang mengharamkan minuman beralkohol? Dikemas dalam film ini secara jenaka.

Ketidak-sadaran Kolektif dan Peranan Simbol-Simbol Religius

Film PK menurut saya sebagai penulis boleh dikatakan berhasil memancing penonton untuk memertanyakan kembali konsep ketuhanan dan agama, salah satu contoh ketika PK memeriksa bayi di rumah sakit mencari tahu apa ada tanda agama di bayi tersebut. Menurut tokoh Psikologi, Carl Gustav Jung, motif-motif yang hadir dalam agama dan pemahaman tentang ketuhanan di masyarakat merupakan bagian dari ketidak-sadaran kolektif, di mana ketidak-sadaran itu bagian dari pengalaman yang diturunkan lalu menjadi sebuah hal yang kodrati. Seorang bayi tentu tidak tahu-menahu ia beragama apa dan siapa tuhannya, orangtuanyalah yang bertanggung jawab mewarisi nilai-nilai hidup, nilai-nilai agama, dan budaya. Jung menyebut ada arketipe (purwarupa – red) diri “The Self‘ sebagai sebuah lingkaran yang terintegrasi ketika berbagai aspek kehidupan dipahami secara matang oleh seorang individu.

Selain itu ada arketipe bayangan “The Shadow” dimanifestasikan dengan ide tentang dosa, haram, tabu, dan bahkan neraka. PK mencontohkan bagaimana banyak pelajar yang menyembah batu buatannya karena ketakutan irrasional sebelum melakukan ujian. Kutipan PK tentang “wrong number” atau salah nomor itu pun menjadi tamparan bagi kita yang cenderung salah kaprah tentang nilai kepatuhan yang tuhan kehendaki. Misalkan saja penembakan kartunis Charlie Hebdo di Paris oleh para teroris yang mengatas-namakan Islam 7 Januari 2015 lalu atau aksi-aksi brutal FPI (Front Pembela Islam) di Indonesia yang dengan lantang melakukan tindakan kekerasan sambil menyerukan nama tuhan.

Adanya tokoh-tokoh pemuka agama yang mengenakan topeng “persona” seperti peran Tapasvi dalam film PK sebenarnya bisa jadi gambaran nyata tentang semakin minimnya tokoh panutan yang benar-benar tidak membisniskan agama.

Di Indonesia bahkan marak sekali ustad-ustad selebriti yang mematok harga puluhan juta hanya untuk sejam atau dua jam ceramah. Sehingga tidak heran para ustad ini juga hadir mengiklankan produk-produk tertentu yang sebahagian dari produsennya boleh jadi apa yang mereka sebut kafir dalam isi ceramahnya.

Tapi namanya bisnis yang menguntungkan, simbolisasi agama menjadi trik penting untuk menarik massa. Jadi pengalaman spiritual melalui simbolisasi agama mengalami degradasi makna belakangan ini.

Cinta membutuhkan pengorbanan dan tidak selalu harus dimiliki sebagaimana diakhir cerita PK yang jatuh hati pada Jaggu (karakter perempuan di film PK – red) berkorban perasaan dan memilih untuk balik ke planetnya setelah mendapatkan kalungnya kembali. Begitu pula pemahaman akan agama tentunya, mencintai tuhan bukan berarti kita harus berkorban secara membabi buta. Dan mencintai tuhan bukan serta merta menjadikan diri kita sebagai pemilik ideal nilai-nilai-Nya yang dengan arogan berseru agamaku paling baik dan agamamu buruk, atau mengkafirkan yang lain sedangkan disatu sisi juga butuh pertolongan dari orang yang dikafirkan tersebut.

 

*Penulis adalah Psikolog lulusan Universitas Diponegoro.

Sumber:

Gulte.com (http://www.gulte.com/movienews/34956/PK-loaded-with-full-of-controversies diakses 16 Januari 2015)

Jung, C.G. 1938. Psychology and Religion. Yale University Press.

Jung, C.G. 1964. Man and His Symbols. New York; Doubleday and Company, Inc.

International Business Times (http://www.ibtimes.co.in/pk-peekay-controversies-how-fans-reacted-protests-against-aamir-khan-starrer-reactions-618601 diakses 16 Januari 2015)

The Hollywood Reporter (http://www.hollywoodreporter.com/news/pk-top-grossing-film-india-761291 diakses 16 Januari 2015)