Jeritan Hati Seorang Gemblak
Oleh: Antok Serean*
Suarakita.org- Klik. Angger menutup teleponnya. Gamang, kabut hitam menyelimuti semesta batin. Suara adik perempuannya menyadarkan, ia belum terpisah dari masa lalu. Kata-kata merajuk bak aliran derita tiada putus, merongrongnya menghadapi hidup yang ingin ditinggalkan. Haruskah ia pulang ke Ponorogo setelah sepuluh tahun melarikan diri?
Angger merebahkan tubuhnya di kasur. Matanya terpejam, tetapi pikirannya berkeliaran. Wajah-wajah dari masa lalu berkelebatan. Cerita-cerita terurai dalam alur liku ngilu. Ternyata Surabaya tak membebaskannya. Jarak terentang hanya pilinan bumi yang menyeretnya pada luka menahun. Tubuhnya di sini, tetapi jiwanya tertinggal di sana. Hatinya terus menjerit kecewa, mendendam kenyataan yang tak diinginkannya. Ia ingin menyudahi segalanya. Namun suara-suara liar membentangkan lembaran cerita yang belum tamat, belum titik akhir. Dan pelariannya semakin memperdalam beban diri, leluka hati.
Barangkali sekarang saatnya. Masa sepuluh tahun tak memadamkan bara. Tiada guna membakar lebih lama. Biarlah hangus menjadi abu bila itu jalannya. Ia menarik nafas dalam, menghembuskan sangat pelan. Ia akan menamatkan gejolak ini, mengakhiri jeritan hati. Biarlah yang terjadi biar terjadi. Ia pasrah tanpa menyerah, meski hilang arah.
Telepon menyala. Satu pesan masuk.
Kesehatan warok Sumitro semakin kritis. Hanya nama kamu yang disebutnya, Ngger. Dokter sudah angkat tangan. Pulanglah, Ngger, pulanglah.
***
Bus Restu bergerak meninggalkan terminal Bungurasih, Surabaya. Angger duduk di pojok paling belakang. Ia memejamkan mata, berusaha tidur. Tak bisa. Endapan kenangan terangkat ke permukaan, membentuk jalinan cerita hidupnya, yang kembali terulang di benaknya. Ia menggigit bibirnya sendiri. Getir.
Angger baru lulus Sekolah Dasar. Ia memendam keinginannya melanjutkan Sekolah Menengah Pertama. Bapaknya telah meninggal dunia. Ibunya sakit-sakitan. Adiknya kelas tiga Sekolah Dasar. Ia menjadi tulang punggung keluarga. Entah apa yang akan dikerjakannya. Mungkin menjadi buruh tani, kuli batu, atau tukang kebun. Tak ada pilihan lebih baik. Ia hanya ingin melanjutkan hidup keluarganya. Apa boleh buat, mimpinya sekolah tinggi harus diluruhkan dari pikiran.
Sore itu, perempuan separuh baya bertandang ke rumah. Melihat ibunya terbaring di ambin bambu, mengamati rumahnya yang reot, dan mengenaskan sepiring ketela rebus. Angger diajak keluar rumah. Duduk di bangku kayu. Perempuan itu mengamati dari kepala sampai kaki. Terlihat puas. Entah apa yang hidup di pikirannya. Lalu melambaikan tangan ke kusir dokar. Kusir turun dari dokar sambil membawa bungkusan besar.
“Angger, cah bagus, ini titipan dari warok Sumitro,” ucapnya sopan.
“Matur suwun,” ia mengangguk, menunduk-nunduk.
Lalu perempuan itu beranjak naik dokar, meninggalkannya dalam tanya kabur. Tumben warok Sumitro memberi oleh-oleh? Ia masuk ke dalam rumah, membuka bungkusan berisi bahan makanan dan amplop uang. Ia menjerang air untuk menanak nasi. Bahagia membalut hatinya. Setelah berhari-hari makan gaplek, hari itu bisa menikmati nasi putih, sambal terasi, dan kerupuk udang. Syukur, berkah hidup.
Seminggu kemudian, perempuan itu datang lagi, mengajaknya ke rumah warok Sumitro. Ia lekas mandi, pakai baju terbaik. Niat hatinya mengucapkan terima kasih. Di atas dokar, ia menimbang kata, bagaimana mesti mengucapkannya. Krama inggil. Ya, itu yang terbaik. Ia menebarkan pandangan ke kanan-kiri jalan. Hamparan padi menguning, pokok-pokok tebu, kekayaan kampungnya, kemiskinan hidupnya. Ia merasa senasib kuda menarik dokar dan penumpang, berimbal rumput dan air putih. Nasib orang kecil, orang miskin.
Tiba di rumah priyayi itu, ia duduk di ruang tamu dalam takjub sekaligus gentar. Bunyi selop berderik meletupkan hatinya. Ia menundukkan kepalanya, melirik dengan ekor matanya. Warok Sumitro duduk di hadapannya, menghisap rokok, wajahnya bertabur bulu hitam, perutnya buncit, geraknya menandakan perkasa. Hening. Priyayi itu terus menelisik tubuhnya dari hadapan. Ia hanya mampu diam gemetaran.
“Angger, cah bagus, katanya kamu sudah lulus sekolah?” suaranya menggelegar mantap.
“Inggih, Ndoro.”
“Pingin sekolah SMP, Ngger?”
“Inggih, Ndoro.”
Sejak detik itu laju hidupnya berubah arah. Warok Sumitro menjadikannya gemblak. Kebutuhan keluarganya dicukupi. Ibunya diobati sampai sembuh. Biaya sekolah adiknya ditanggung semua. Rumahnya diperbaiki. Seekor sapi di kandang belakang rumah, prasyarat pinangan. Ia melanjutkan sekolah, tinggal di rumah sang warok, menapak hidup dengan pemahaman baru.
Setiap malam warok Sumitro mengeloni sambil menembang Jawa. Ia damai. Seolah yang pergi telah kembali, yang kosong terisi. Dekapan hangat mengingatkan pelukan almarhum bapaknya. Kebutuhan batinnya tercukupi. Ledakan gejolak akil baliq terluahkan di dalam kamar. Ia dan warok Sumitro menggila dalam epos malam banjir keringat.
Angger hadir di setiap pagelaran Reog, kumpul-kumpul sinoman, atau jalan-jalan keliling kampung. Suara-suara memuji ketampanannya. Sepasang alis tebal hitam, sinar mata jerih, bibir ranum, dan kulit kuning langsat bersih. Ia diam, menatap warok Sumitro tersenyum bangga. Entah apa yang membanggakan dari dirinya. Terkadang ia tak bisa berkelit dari warok-warok lain yang menggodanya, menjawil bagian tubuhnya. Tetapi, ah, itu sudah resiko menjadi pemuda tampan.
Dan perasaan muda menumbuhkan cinta. Angger melihat warok Sumitro tidak lagi sebagai malaikat penolong, melainkan kekasih. Perasaan memiliki mengikatnya dalam manja, tak ingin terpisah. Di sisi lain, ia tak mampu menyelami kedalaman hati pujaannya. Adakah perasaan sama atau sekedar lelaku budaya? Taburan bahagia seakan tiada habisnya. Ia mencoba percaya, itu bukti cinta yang sama.
Ada yang tak bisa ditepis: waktu.
Tahun-tahun mengalirkan madu cinta. Tibalah akhir muara. Angger masuk SMA. Suara-suara warok di luar rumah menggerogoti batinnya. Seharusnya warok Sumitro mengakhiri penggemblakan ini. Seharusnya warok Sumitro mencari gemblak baru yang lebih muda. Ia menepis suara-suara itu. Percaya penuh, warok Sumitro mempertahankannya.
Desas-desus menguat. Para warok menggelar pertemuan untuk membicarakan hal itu. Batas telah dilanggar. Harus diingatkan. Keputusan pun mengacu masa lalu. Gemblak baru harus dihadirkan mengganti gemblak lama. Gemblak lama diwariskan pada warok lain. Begitulah. Akhir budaya. Tiada pertimbangan cinta.
“Pripun?” ia bertanya.
“Embuh, Ngger…” jawab tuannya menggantung.
Hatinya panas. Ia tak sudi dimainkan bak bola pingpong. Ia ingin terus bersama sampai tua. Ia menggerutu ngilu, mengunci diri di dalam kamar. Kecewa hatinya menyadari tak ada balasan cinta yang sama, yang diperjuangkan berdua. Cintanya hanya benalu dalam tangguhnya cengkeraman budaya. Apa yang terjadi esok hari, leluka sama gemblak sebelumnya. Apa boleh buat.
Ia terbangun lebih pagi. Kuda meringkik di halaman rumah. Ia menajamkan telinga, mengintip dari celah jendela. Perempuan separuh baya yang dulu menjemputnya, sekarang membimbing anak lelaki bau kencur. Cemburu merobek-robek hatinya. Ia meratap, menangis sejadi-jadinya, sambil memukuli warok Sumitro yang masih tertidur. Warok Sumitro gelagapan menerima serangan di pagi buta. Begitulah. Cinta muda terluka budaya.
Angger memilih meninggalkan Ponorogo, minggat ke Surabaya, daripada menghancurkan diri dengan warok lain atau menikahi perempuan. Kecewanya meradang tak tertebus perasaan. Lukanya tak tersembuhkan. Ia melarikan diri dari segala masa lalu. Menggantinya dengan cengkeraman hidup metropolitan. Dan ia bersumpah tak akan pulang ke kampung halaman lagi. Sumpah yang ternyata goyah.
***
Setelah enam jam perjalanan, Ponorogo menyambutnya bak kawan lama. Ingatannya tertumpu pada cerita-cerita adiknya setiap kali telepon atau berkunjung ke Surabaya. Cerita tentang penyesalan warok Sumitro melepas dirinya, tak sudi mengambil gemblak baru, dan hidup sendiri dalam tembang nelangsa Jawa. Ah, kalau pun benar, masihkah ada gunanya? Tak ada. Nasi sudah menjadi bubur.
Segalanya telah berubah. Seperti wajah Ponorogo yang menggeliat dengan kosmetik modern bernama kemajuan. Dari atas ojek, ia mengamati setiap sudut kota berbenah. Ya, hidup menawarkan dua hal: mengikuti perubahan atau terlindas zaman.
Rumah itu sepi. Tak seramai dulu. Ia melangkah masuk diiringi tatapan asing para pembantu. Kamar itu terbuka. Ia mempercepat langkahnya. Berhenti di dekat pembaringan, duduk di tepiannya. Di hadapannya, warok Sumitro terlihat kurus kering, hilang keperkasaannya. Matanya terpejam. Deru nafasnya pelan.
Ia meraih telapak tangan yang terkulai, mengecupnya lembut.
Madiun, 29.10.2014, 11.12 WIB
*Anto Serean, Penulis dan Cerpenis