Imaji Republik Pelangi
Oleh : Erky Ardiansyah
“Kamu tahu Republik Pelangi?” tanya sahabatku.
Suarakita.org– Melihatku yang menggelengkan kepala, sepertinya sahabatku sudah paham maksudku. “Negeri yang indah, kawan. Terdiri dari ribuan pulau dan penduduk yang beraneka ragam. Terdapat berbagai macam suku, agama, ras, budaya, dan bahasa di negeri ini.”
“Lalu, apa bedanya dengan negara-negara lain di dunia? Banyak negara lain yang seperti itu, seperti negara kita saja,” kataku sambil menyeruput kopi.
“Seiring dengan perkembangan zaman, masyarakat Republik Pelangi juga mendapatkan salah satu bentuk keanekaragaman yang memperkaya bangsa mereka, yaitu ekspresi gender dan orientasi seksual. Keadaan inilah yang membuat Republik Pelangi menjadi sebuah negara yang penuh warna. Penduduk Republik Pelangi hidup berdampingan dengan damai. Latar belakang persatuan yang diwarnai kekayaan budaya dan agama membuat mereka hidup dengan saling menghargai satu sama lain,” jelasnya.
“Bukankah di zaman seperti sekarang ini sudah banyak negara yang memahami isu tersebut? Globalisasi, bung! Dengan keadaan seperti itu, tentunya ada kelompok mayoritas dan minoritas. Bagaimana dengan mereka?” baiklah, kali ini aku mulai tertarik dengan topik yang dibicarakan sahabatku.
“Memang, terdapat beberapa kelompok mayoritas dalam masyarakat. Merekalah yang justru melindungi kelompok minoritas. Karena bagi mereka, perbedaan berarti saling melengkapi satu sama lain. Berbagai pola pikir tentunya berkembang di Republik Pelangi. Berpegang pada prinsip, tetapi tidak menjadi fanatik. Tidak ada pertikaian dengan latar belakang suku, agama, dll,” kata sahabatku dengan tatapan penuh yakin.
“Menyenangkan sekali berada di negeri seperti itu. Lalu, apa yang mereka lakukan terhadap keberadaan LGBT?”
“Namanya saja Republik Pelangi, kawan. Mereka bebas menjadi diri sendiri. Hidup sebagai bagian dari masyarakat dan diperlakukan selayaknya manusia. Menjadi lesbian, gay, biseksual, dan transgender dianggap sebagai sebuah keunikan, bukan aib. Perbedaaan mereka tidak membuat mereka dikucilkan. Mereka tetap dihargai, bahkan dibanggakan. Maka tidak heran kalau LGBT merasa aman tinggal di sana.
Di Republik Pelangi, LGBT tidak pernah dianggap hina dan dikucilkan. Walaupun mereka masih merupakan kelompok minoritas. Sampah, pendosa, tidak pantas menjadi bagian dari masyarakat. Begitu kata orang. Apa salahnya seseorang menjadi seorang lesbian, gay, biseksual, atau transgender? Jika dikaitkan dengan perbuatan maksiat, apakah orang-orang yang dianggap ‘normal’ itu bersih dari dosa? Bicara asusila, prostitusi, dan sex bebas, bukankah orang-orang yang menganggap dirinya ‘normal’ itu juga banyak melakukannya? Ada kasus dimana lesbian/gay dianggap berbuat asusila karena menggumbar kemesraan di depan umum. Sedangkan, mereka yang heteroseksual juga kerap melakukan hal yang sama. Lalu apa bedanya dengan menjadi LGBT?” ujar sahabatku. Pembicaran ini semakin menarik dibuatnya.
“Semua itu memang bukan tolak ukur untuk mengabaikan kemanusiaan. Bahkan ada suatu negara dimana segala sesuatu yang berkaitan dengan aktivitas LGBT dilarang. Apa salahnya seseorang membuat buku bertemakan LGBT dan mendiskusikannya kepada masyarakat? Penyebaran virus homoseksual, katanya. Sama seperti khalayak umum yang ingin menuliskan pemikirannya untuk menginspirasi orang lain, salahkah? Haruskah hal seperti itu ditentang bahkan menggunakan kekerasan? Sepertinya penduduk Republik Pelangi sudah memiliki logika dan akal sehat yang luar biasa,” kataku.
“Bagaimana dengan pendidikan di Republik Pelangi?” tanyaku. Aku semakin ingin mengatahui hal-hal kecil yang ada di negeri itu.
“Semua orang di Republik Pelangi mendapatkan hak yang sama dalam pendidikan. Tidak ada pembatasan dan bullying yang menimpa pelajar LGBT. Di luar sana, masih banyak teman-teman LGBT yang merasa tertekan di lingkungan pendidikannya. Misalnya, seorang gay yang ‘diceramahi’ dosennya agar ‘bertaubat’. Hal-hal seperti itulah yang menimbulkan tekanan yang kemudian membuat seseorang tidak dapat menerima ilmu dengan optimal. Pada titik tertentu dapat membuatnya ingin keluar dari sekolah,” jawabnya. Sesekali sahabatku menghisap rokok yang ia nyalakan sejak tadi.
“Apakah hal serupa juga terjadi pada transgender? Umumnya masalah yang dialami transgender adalah masalah lapangan kerja.”
“Beruntung sekali menjadi transgender yang tinggal di Republik Pelangi. Mereka mendapatkan kesempatan kerja yang sama dengan orang-orang lainnya. Tidak ada embel-embel ‘citra perusahaan’ yang sebagai bentuk diskriminasi yang menimpa mereka. Karena Republik Pelangi tidak menganggap seorang pekerja transgender sebagai aib yang merusak citra perusahaan. Maka, transgender dapat bekerja di segala sektor, termasuk sektor formal dan pendidikan. Mereka tetap manusia yang dinilai berdasarkan potensi dan kemampuan yang mereka miliki, tanpa memandang ekspresi gender mereka,” jelas sahabatku.
“Masih banyak negara-negara yang tidak seberuntung Republik Pelangi dalam perlindungan hak-hak LGBT. Banyak kasus kekerasan dan pembunuhan terhadap LGBT. Semata-mata hanya karena mereka lesbian/gay/biseksual/transgender. Kekerasan kerap dilakukan oleh aparat yang seharusnya melindung masyarakat. Apakah nyawa LGBT tidak ada artinya di mata manusia? Stigma negatif juga masih menempel pada LGBT. Maka, segala tindakan buruk yang mereka lakukan membuat masyarakat berpikir, ‘dia LGBT! Pantas dia berbuat seperti itu.’ Misalnya saja, pada kasus pedofilia dimana pelaku dan korbannya sama-sama laki-laki. Lantas, orang-orang berpikir bahwa seorang gay berbahaya karena ‘memakan korban’ tanpa pandang bulu. Di mana logikanya? Bukankah pedofilia juga terjadi pada heteroseksual? Jelas homoseksual dan pedofilia adalah dua hal yang berbeda,” aku mulai terpancing untuk mengeluarkan beberapa pemikiranku tentang LGBT.
“Bagi Republik Pelangi, kelompok LGBT mengekspresikan dirinya dengan kegiatan-kegiatan positif bukan dilatarbelakangi oleh perjuangan hak-haknya sebagai manusia. Melainkan sebagai bentuk kepedulian dalam masyarakat. Masih ada negara dimana LGBT berjuang keras untuk mendapatkan pengakuan dari masyarakat sebagai ‘manusia’. Jika orang-orang non-LGBT mendapatkan nilai 100 atas kepedulian sosialnya, maka LGBT harus mencapai nilai minimal 200 untuk mendapatkan pengakuan yang sama di mata masyarakat. Hal itupun berlaku dalam segala aspek kehidupan. Mengapa harus begitu? Toh LGBT atau bukan, tetaplah sama-sama manusia.
Begitulah cara Republik Pelangi memandang keberagaman masyarakat. Sesuai dengan namanya, Republik Pelangi merupakan bangsa yang terdiri dari berbagai warna. Warna yang diciptakan oleh suku, agama, bahasa, ras, orintasi seksual, dan ekspresi gender yang berbeda-beda. Warna-warna itu semakin indah karena adanya pandangan positif tentang berbedaan. Toleransi menjadi budaya yang dipegang teguh. Saling menghargai antar individu dengan berbagai pilihan dan keadaannya. Apa kau bisa memilih untuk lahir berkulit putih, bersuku Jawa, atau berorientasi heteroseksual? Tentu tidak. Maka setiap perbedaan itu harus dijembatani oleh satu hal, yaitu: kita sama-sama manusia yang merupakan makhluk sosial,” ujar sahabatku. Pengamatannya terhadap Republik Pelangi sepertinya memang ia lakukan dari berbagai sisi.
“Benar sekali, kawan. Perbedaan bukanlah hal yang bisa kita hindari. Tidak jarang pula perbedaan itu dipandang sebagai sesuatu yang negatif, bahkan menimbulkan pertikaian. Apakah hal itu terjadi di Republik Pelangi?” tanyaku.
“Kondisi kelompok mayoritas dan minoritas, serta keragaman pola pikir Republik Pelangi tidak pula menimbulkan pertikaian. Apalagi yang berujung pada kerugian dan trauma yang dialami salah satu pihak. Pertikaian dalam masyarakat plural dapat terjadi karena sikap arogansi kelompok tertentu yang menyerang kelompok lainnya, kawan. Ingin dianggap paling benar? Belum tentu apa yang kita lakukan itu benar di mata Tuhan. Karena Tuhan tidak pernah membenarkan pertikaian antarumat manusia. Bukankah pahala dan dosa kita ditentukan oleh Tuhan? Bukan oleh manusia.” Kali ini aku dibuat terpukau lagi oleh pemikiran sahabatku itu. Sempurna sekali negeri yang ia ceritakan.
“Kawan, pemimpin macam apa yang dapat memimpin negara sesempurna itu?”
“Tentunya seseorang yang menghargai pluralisme dan mencintai perdamaian. Pemimpin yang netral, tidak berpihak pada kepentingan golongan tertentu. Pemimpin yang tegas, namun tidak otoriter. Yang paling penting, Republik Pelangi haruslah dipimpin oleh orang yang menghargai hak asasi manusia. Segala permasalahan dapat dijembatani dengan damai, tanpa adanya kekerasan. Karena hukum di Republik Pelangi tidak dapat dibeli. Kejujuran dan keterbukaan merupakan sebuah paket yang dijunjung tinggi. Pemerintah bukanlah bertindak sebagai penguasa, melainkan pegawai yang bekerja untuk melayani rakyatnya,” kata sahabatku.
Begitu indah kehidupan di Republik Pelangi. Negara dengan kekayaan alam dan penduduknya. Bangsa yang memanusiakan sesama manusia. Namun, masih tersisa sebuah pertanyaan di benakku. “Kawan, di manakah letak Republik Pelangi itu?”
“Utopia,” jawabnya.