Oleh : Yulianti Muthmainnah*
Suarakita.org– Kekerasan seksual bisa dicegah dan bisa dihentikan. Bicara apa itu seks, kekerasan seksual, dan kesehatan reproduksi bukanlah sesuatu yang menjijikan atau tabu. Bila sejak dini anak-anak tahu, justru lentera bagi kehidupan mereka selanjutnya. Mewariskan informasi yang benar akan menghasilkan keberanian menghargai tubuh. Nilai-nilai seperti kejujuran, keterbukaan, saling menghargai harus dibangun sedari awal.
Masa sudah berubah dan lingkungan makin tak ramah pada anak. Semasa saya kecil, para orang tua selalu berkata ‘berhati-hati’ bila punya anak perempuan. Kini, anak perempuan dan anak laki-laki sama-sama memiliki tingkat kerentanan dan potensi menjadi korban kekerasan seksual. Sayangnya, sistem pendidikan kita di(ter)sengaja mengabaikan pendidikan seksual pada anak.Akibatnya, kadang kala anak tergagap menghadapi kejadian yang bahkan ia sendiri tidak tahu mengapa hal itu terjadi. Lalu, apakah kekerasan seksual dapat dicegah melalui pendidikan seksual sedini mungkin?
Kira-kira dua bulan lalu, 24 April ketika mengisi ‘kelas inspirasi’, bagian dari Indonesia Mengajar, di Sekolah Dasar Malaka Jaya, saya merasakan kejadian tak terlupakan. Di akhir acara, ketika semua orang berkumpul di lapangan untuk penutupan acara. Tiba-tiba anak-anak berteriak saling bersahutan ‘melanggar HAM’, ‘kekerasan seksual’, dan ‘pelecehan seksual’, ketika ketua tim bertanya pelajaran apa yang kalian dapat hari ini. Tentu saya terkejut. Terkejut ketika kata-kata tersebut keluar dari mulut-mulut mungil anak-anak SD padahal tidak ada satu kartupun yang bertuliskan cita-cita ingin menjadi pekerja hak asasi manusia sebagaimana perkenalan profesi saya. Tetapi, materi ‘kekerasan seksual; kenali dan tangani’ dapat mereka rekam dengan baik.
Kejadian tersebut merefleksikan saya bahwa bicara seks, kekerasan seksual, dan kesehatan reproduksi pada anak-anak bukanlah hal yang sulit. Sekaligus juga mengajarkan saya bagaimana membangun pondasi kukuh tentang kejujuran, keterbukaan, dan saling menghargai. Seketika saya merasa ada banyak pekerjaan rumah dalam sistem pendidikan kita yang gagal menanamkan makna seks, kekerasan seksual, dan kesehatan reproduksi yang sesungguhnya. Apakah orang tua juga berkontribusi? Apakah guru sibuk berjibaku mengejar target-target ujian nasional sehingga melupakan bahasan ini?
Harus diakui, pendidikan kita belum menyentuh soal seks, kekerasan seksual, dan kesehatan reproduksi. Mau bukti? Tanyakan pada anak-anak nama organ yang terkait dengan alat-alat reproduksi manusia. Pasti nama yang akan disebutkan beragam. Atau mereka akan menyebutkan sambil tertawa, malu-malu, bahkan saling bersorak. Padahal seluruh organ tubuh memiliki nama yang umum, layaknya mata, telinga, atau mulut. Dan semuanya organ penting; panca indera, alat-alat reproduksi, atau bagian tubuh lainnya. Ketika kita tidak mengajarkan nama yang sesungguhnya, maka merekapun tidak bisa menyebutkan dengan benar ketika bagian tubuh tersebut ter(di)serang.
Mengajarkan bagaimana menghargai dan memperlakukan tubuh dengan cara menginformasikan bagian tubuh mana saja yang tidak boleh disentuh orang lain selain dirinya, adalah hal yang juga penting. Bila tidak diajarkan sejak dini, maka misalkan ada orang lain yang mencolek tubuhnya akan dianggap biasa dan wajar oleh masyarakat, atau bahkan merasa ‘geer’ dalam alam bawah sadar sang perempuan. Padahal merasa tidak nyaman saja atas perbuatan tersebut, maka pelecehan seksual telah terjadi.
Keberanian menolak dan berkata tidak adalah tahapan selanjutnya ketika anak telah diajarkan mengenal organ tubuhnya, menghargai dan memperlakukan tubuhnya. Sehingga bila ada orang lain yang terindikasi akan melakukan kekerasan seksual, maka anak bisa bertindak dan tahu apa yang akan ia lakukan.
Sedihnya, ketika kekerasan seksual terjadi di lingkungan sekolah, pihak korban justru tidak mendapat perlindungan/dukungan. Serangan balik justru ditujukan pada korban seperti pencemaran nama baik, menyebar fitnah, atau pengusiran. Anak-anak korban perkosaan/sodomi, atau kekerasan seksual lainnya dari guru justru tidak boleh bersekolah lagi atau dikeluarkan oleh sekolah. Akibatnya pemulihan bagi korban dan keluarganya tidak terjadi. Saat pemulihan tidak berjalan baik, trauma serangan kekerasan seksual akan terus menghantui hidupnya. Perasaan menyalahkan diri sendiri, kotor, ternoda, berdosa akan terus terbawa sehingga mempengaruhi psikologi perkembangan diri sang anak.
Banyak dari kita menganggap bicara seks, kekerasan seksual, dan kesehatan reproduksi pada anak bukanlah hal mendesak dan penting untuk diajarkan. Anak-anak dianggap akan tahu secara alami. Itulah pandangan yang keliru. Ketika terjadi kekerasan seksual, anak tidak tahu apa yang sebenarnya ia alami, anak tidak tahu mengapa ia diperlakukan demikian, dan anakpun tidak tahu harus berbuat apa. Atau ketika anak tidak mendapatkan informasi dengan benar maka proses pencarian dapat menimbulkan bahaya, misalnya mereka mencoba hubungan seksual dengan temannya sebagai bentuk ingin tahu.
Pada intinya seks atau jenis kelamin biologis bersifat alamiah, melekat dalam tubuh seseorang sejak lahir, perbedaan nyata alat beserta fungsi-fungsinya. Semisal laki-laki memiliki penis, payudara, dan testis. Perempuan memiliki payudara dan kelenjar mamae, vagina, dan rahim. Kekerasan seksual didefinisikan sebagai setiap perbuatan berdasarkan pembedaan berbasis jender yang berakibat atau mungkin berakibat kesengsaraan atau penderitaan perempuan secara fisik, seksual atau psikologis, termasuk ancaman terjadinya perbuatan tersebut, pemaksaan atau perampasan kebebasan secara sewenang-wenang, baik yang terjadi di ruang publik maupun di dalam kehidupan pribadi (Pasal 1 Deklarasi Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan/1993). Sedangkan kesehatan reproduksi secara sederhana berkaitan dengan kondisi yang nyaman, sehat, baik fisik, mental atau sosial sehingga bila akan memproses keturunan (beranak) seseorang akan siap lahir batin.
Jika sekolah tidak mengajarkan hal penting ini pada anak. Maka bicara seks, kekerasan seksual, dan kesehatan reproduksi harus dimulai dari keluarga. Mula-mula mengenalkan apa itu seks pada anak dengan cara memberitahukan nama organ tubuh secara benar tanpa mengganti nama tersebut. Jelaskan pada anak bahwa perempuan dan laki-laki memiliki organ yang berbeda nama.
Lalu ajarkan anak tentang kesehatan reproduksi dengan cara bagaimana menjaga kebersihan tubuh dan alat-alat reproduksinya seperti tata cara mandi dan membersikan alat kelamin sehabis buang air kecil atau besar yang dimulai dari depan ke belakang. Mulailah mengajarkan rasa malu bila kakak adik berbeda jenis kelamin agar tak bersama saat mandi atau tidur.
Selanjutnya ajarkan anak tubuh utama yang tidak boleh disentuh orang lain adalah bibir, leher, dada, paha, vagina/penis, dan anus. Ajarkan pula cara membedakan antara sentuhan yang wajar dan tidak. Tahapan terakhir adalah menumbuhkan rasa saling terbuka, percaya dan saling menghargai dalam keluarga. Tanamkan pada anak sebagai satu keluarga, harus saling percaya, jujur, dan terbuka tanpa ada rahasia. Ini bisa dimulai dengan pertanyaan terbuka setiap anak pulang sekolah seperti bagaimana hubungan antar teman/guru atau ajak anak bercerita tentang kondisi dan pengalamannya bersekolah.
Jika orang tua sudah membekali itu semua, maka pendidikan penghapusan kekerasan seksual melalui keluarga menjadi pondasi kukuh bagi sang anak. Selain itu, keluarga juga berpotensi untuk mengenalkan identitas gender dan orientasi seksual pada anak. Agar kelak, mereka tidak tersesat pada dikotomi heteroseksual dan homoseksual. Anak tidak hanya mengenal heteroseksual an sich. Ada baiknya kita merenungkan kembali dan bertekad cegah kekerasan seksual mulai dari lini terkecil, keluarga kita.
*Mahasiswa Paramadina Graduate School of Diplomacy dan Pimpinan Pusat Nasyiatul ‘Aisyiyah