Search
Close this search box.

Parts Of Hearts: Wajah Minoritas Orientasi Sexual Hubungan Badan dan Pertanyaan Tema Kesetiaan

Ilustrasi Parts of the Heart.
Ilustrasi Parts of the Heart.

Suarakita.org- Keceriaan anak-anak usia SD berseragam Pramuka yang sedang tampak berkemah dengan segala jenis kegiataanya tergambarkan di awal adegan, bercengkrama saat mengangkat ember bersama. Lantas saat malam menjelang dalam tenda sebagai panggung babak cerita penegasan si nama tokoh yang akan menjadi kunci cerita sampai akhir film, tergeletak seragam baju Pramukanya dengan nama jelas “Peter”.

Sang tokoh di awal umur 10 tahun tersebut tampak gusar membaca komik dengan menggunakan kaos singletnya sembari sesekali melirik kawan laki-lakinya yang tidur disebelahnya. Adegan awal ini ditasbihkan sebagai “Stolen Kiss” ketika penegasan Peter yang masih anak-anak beberapa kali ragu ingin memeluk kawan laki-lakinya yang sudah lelap tersebut. Mirip sebuah kisah cinta yang terpendam, Peter mencium pipi si laki-laki idamannya tersebut sembari menahan cekikikan sebelum pagi menjelang, dan babak cerita film berikutnya berganti.

Seperti sengaja, Paul Agusta si Sutradara menata filmnya per sekuel dengan durasi waktu masing-masingnya sekian menit untuk membidik titik fokus Peter dalam episode hidupnya, gampangnya dalam beberapa fase penting umur hidup si tokoh cerita di satu titik itulah, sutradara sekaligus penulis cerita ini bereksplorasi. Mirip diandaikan membaca buku kumpulan cerpen dengan delapan judul yang berkesinambungan hanya bedanya cerita pendek ini ter-visual-kan.

Cerita berlanjut ketika Peter bukan lagi anak SD, melainkan sudah berseragam SMP dan tampak bermain Nitendo, SEGA, atau apapun itu dengan paket stick di tangan dan saling ejek dengan temannya untuk memenangkan permainan. Sekian level permainan terlampaui dengan adegan yang mirip di awal film saat tiba-tiba Peter mencium bibir kawan laki-lakinya tersebut secara spontan dan tidak berlangsung lama.

Lantas perbincangan kaku perihal permintaan maaf, yang ternyata bukan marah dari si objek penderita, melainkan tantangan untuk bagaimana jika ciumannya diulang. Sekaligus bab kedua cerita film yang bertajuk “Game of Kiss”ini menjadi pengalaman berhubungan badan pertama Peter kali dengan penggambaran tisu-tisu berserakan dan mereka berpelukan sembari memagut kalimat sayang.

Babak berikutnya bertajuk “Solace”menceritakan Peter yang bersedih ditinggal kekasihnya, mengurung diri di dalam kamar tidak mau makan dengan tampilan Peter yang tampak menginjak bangku SMA ataupun kuliah tidak terceritakan secara detail, hanya bagaimana dandanan Peter dengan riasan ala Gothic tampak jelas ketika air mata menetes di pipinya dengan membawa warna hitam bekas smokey eyes-nya.

Dan selanjutnya “Club Virgin”yang masih mengetengahkan Peter yang patah hati dengan kekasih yang lain lagi dengan dimensi pergaulan yang juga berbeda, menjadi semacam penegasan dunia gay dan komunitasnya. Ketika Peter yang dipaksa Lisa untuk move onmemasuki sebuah klub bernama “Apollo” yang didominasi para gay, ketika mau memasukinya dibutuhkan semacam passwordsebagai tanda pengenal untuk masuk bergabung. Dalam keriuhan pesta tersebut Peter mendapati secara pasti bahwa kekasihnya meninggalkannya, dan pesan pendek perpisahan yang diketiknya menjadi semacam benang merahnya.

Korelasi yang nyata tersambung dalam “The Last Time” yang menjadi semacam hal klasik realitas dunia gay ketika salah satu pasangannya memilih hidup secara “normal” untuk menikah dengan perempuan, walaupun ternyata beberapanya atau mungkin banyaknya sebagai topeng atau sekedar tidak ingin memperbanyak persoalan dalam keluarga atau lingkungan sosialnya. Bagaimana kemudian Tri yang tampak rapi dengan stelan eksekutif muda menemui Peter di sebuah hotel saat status Tri sudah menikah.

Perwakilan pakaian lagi-lagi seperti sengaja dipilih oleh sutradara, ketika Peter yang tampak idealis memakai celana jeans dengan kaos hitam bertema grafis ala band hardcore ditambah jaket yang sengaja tidak dikancingkan. Dua perwakilan pakaian tadi menjadi pemaknaan perbincangan Peter dan Tri. Yang satu tergambarkan idealis cenderung ketus, satunya tampak realis sembari berusaha seperti mencari jalan tengah. Alhasil kesepakatan buntu, Peter tidak mau kesepakatan dari Tri yang sudah berumah-tangga tapi masih ingin menemuinya, dengan Peter meninggalkannya sembari berucap untuk tidak mau bertemu lagi.

Kisah jenaka bisa dinikmati disini dalam segmen“3”saatPeter tergambarkan sudah dewasa dari cara berbicara, menghadapi pasangan, dan personal diri yang cenderung tidak tergambarkan bergejolak seperti beberapa segmen sebelumnya. Peter tampak duduk santai sembari membaca buku dalam sebuah cafe, dan pasangannya tampak mengajukan pertanyaan malu-malu yang dialamatkan kepadanya perihal apa yang ingin dilakukannya untuk merayakan sekian tahun kebersamaannya. Tercetus ide untuk melakukan “threesome” saat mereka nanti bercinta, dengan permasalahan partner siapa yang akan diajak, lengkap dengan kualifikasi yang mereka ingingkan, sekilas malah mirip sebuah wawancara kerja.

Dengan bantuan kawan yang ditasbihkan sebagai “ratu gay” mereka hunting laki-laki yang sama-sama mereka inginkan? Kesampaian? Tidak. Lantas? Coba anda tonton sendiri, saya khawatir adegan tadi tidak menjadi lucu lagi ketika saya tuliskan disini.
Berlanjut “The Couch and The Cat” dalam bagian ini saya tidak melihat ada bagian khusus yang ditonjolkan kecuali Peter sedang diperankan oleh Joko Anwar, ketika dia begitu perhatian dengan pasangannya yang terkena alergi ringan karena kucing peliharaannya.

Sebagai pamungkas “Why Isn’t Peter Happy” Peter tergambarkan sudah matang dengan memiliki usaha kedai kopi sendiri di Jakarta, dan sudah menikah di luar negeri. Peter yang tampak tambun diperankan oleh Ade Firza Paloh seperti mengalami sebuah kekosongan dalam hidupnya, terceritakan bagaimana dia tampak berkonsultasi dengan seorang psikiater mengenai pencapaian-pencapaian hidupnya di umur 40 tahun. Hal lainnya seperti sebuah pertanyaan mendasar di usia kesekian pernikahannya, kesetiaannya diuji saat ada seorang mahasiswa yang mampir ke kedai kopinya, perbincangan akrab, dan tawaran kerja di tempatnya ia suguhkan sebagai penutup adegan.

Sepertinya, sutradara memang sengaja tidak memberikan garis pasti di akhir filmnya. Khususnya mengenai tema kesetiaan tadi tentang jalan hidup Peter yang sampai umur kepala empat. Tapi justru disitu menariknya, penonton dibiarkan menerka-nerka sendiri. Setidaknya untuk saya sendiri tentunya kalaupun tema kesetiaan dianggap sebagai sebuah nilai sakral hubungan, hal tadi tidak ada kaitannya sama sekali dengan orientasi sexual hubungan badan.

Berbeda kepala tentu juga berbeda pandangan, penonton lain seperti Raslene menanggapi film yang diputar di Kineforum dalam rangka “International Day Againts Homophobia And Transphobia” itu sebagai hal yang susah ternikmati khalayak umum, tentu mengingat diskriminasi yang mereka hadapi. Itu kenapa mungkin film “Parts Of Hearts” dan sejenisnya akan sulit ditonton katakanlah di layar kaca atau jaringan bioskop komersil.

Parts Of Hearts, layaknya kumpulan cerpen dan biografi sekaligus. Menikmatinya selain memahami puzzle per cerita dari seorang Peter yang gay, nyatanya itu juga yang menjadi satu hal utuh cerita manusia bernama Peter itu sendiri sampai akhir hayatnya.
Untuk anda yang ingin tahu kisah Peter dan merefleksikannya sendiri, silahkan menonton Parts Of Hearts hari ini minggu 25 Mei 2014, Pukul : 14.15.  di Kineforum. (oleh : @Husni_Efendi)