Search
Close this search box.

Makna Matthew Shepard untuk kita semua

Oleh: Sebastian Partogi*

Judy Shepard dan Dennis Shepard
Judy Shepard dan Dennis Shepard

Suarakita.org- Kematian seseorang yang dekat dengan kita, terutama kalau ia adalah seorang anggota keluarga, dapat menyisakan perasaan pilu dan hampa yang tak kunjung lenyap oleh perjalanan waktu. Seperti yang pernah diungkapkan oleh dosen filsafat Universitas Indonesia Saras Dewi (2013) dalam sebuah makalahnya, meskipun secara rasional kita sudah tahu bahwa setiap manusia akan mengalami kematian, kematian seseorang yang dekat dengan kita akan selalu meninggalkan rasa gamang, sesal, dan hampa.

Kematian menemui manusia dengan cara yang berbeda-beda: melalui penyakit kronis atau akut, kecelakaan atau pembunuhan. Secara nalar kita dapat menduga-duga bahwa kematian akibat penyakit kronis tentu lebih mudah dicerna daripada yang disebabkan oleh kecelakaan, apalagi pembunuhan. Peristiwa yang terakhir disebut ini, pembunuhan, kerap menyebabkan bulu kuduk kita berdiri: kita tidak pernah mau (atau bersedia) untuk membayangkan bahwa hal tersebut dapat terjadi pada orang yang kita kasihi, apalagi diri kita sendiri. Saat kerabat dekat kita terbunuh, cara kita menjalani hidup tidak akan pernah sama lagi.

Hidup Judy Shepard pun tidak akan pernah sama lagi setelah anaknya Matthew Shepard – seorang gay – dianiaya dan dibunuh oleh Aaron McKinney dan Russell Henderson – yang dua-duanya adalah lelaki homofobik – di Laramie, Amerika Serikat, pada dini hari tanggal 7 Oktober 1998. Matthew akhirnya meninggal – setelah mengalami koma selama beberapa hari – pada tanggal 12 Oktober 1998.

Pengalaman Judy bergumul dengan kekelaman menuju terang dan pengharapan dituangkannya dalam sebuah memoir setebal 273 halaman berjudul The Meaning of Matthew: My Son’s Murder in Laramie, and a World Transformed yang diterbitkan pada tahun 2009 oleh Plume Books.

Sejak menikah dengan Dennis Shepard pada tahun 1973, Judy membina sebuah keluarga bahagia. Mereka memiliki dua anak laki-laki, yang pertama adalah Matthew, dan yang kedua bernama Logan.

Sejak kecil, Matt, seperti layaknya anak kecil yang lain, memiliki sisi baik dan nakal. Ia senang menggunakan pakaian orang dewasa, seperti topi milik ayahnya. Ia merupakan seorang anak yang peduli dan sensitif terhadap perasaan dan kesulitan orang lain. Ia juga senang menggoda adiknya.

Namun dari berbagai sifat yang tidak jauh berbeda dengan anak lain tersebut, Judy merasakan ada sesuatu yang berbeda dari anaknya. Entah mengapa ia menduga bahwa anaknya adalah seorang gay.

Terus terang, Judy merasa khawatir saat ia menduga-duga bahwa anaknya adalah seorang gay. Namun, dengan penuh belas kasih dan pengertian, ia mengatakan bahwa kekhawatirannya tidaklah disebabkan oleh alasan-alasan religius ataupun moral (meskipun Judy adalah penganut agama Kristen namun ia bukanlah golongan fundamentalis). Kekhawatiran Judy lebih disebabkan oleh kesadaran yang ia alami tentang sifat masyarakat yang cenderung intoleran dan keji terhadap homoseksual. Ia khawatir bahwa anaknya akan disakiti karena itu. Namun ia berusaha untuk menepis kekhawatirannya dan mencoba mencari sekolah yang murid-murid dan guru-gurunya “berpikiran terbuka” sehingga mereka dapat menerima anaknya apa adanya.

Pada akhirnya, dugaan Judy terbukti benar. Suatu malam Matt tiba-tiba meneleponnya untuk memberitahukan bahwa dirinya adalah seorang gay. Respon Judy sederhana dan tenang, “Kenapa baru memberitahuku sekarang?” sambil menambahkan bahwa ia sudah lama tahu bahwa anaknya adalah seorang gay, hanya saja ia ingin anaknya untuk menyadari identitas dirinya tersebut terlebih dahulu sebelum memberi tahu ibunya (halaman 59).

Matt tidak ingin Judy memberitahu ayahnya tentang orientasi seksualnya. Namun Judy kemudian menceritakan kepada Dennis. Saat Dennis memberikan reaksi seperti ini: “Mungkin dia hanya belum menemukan perempuan yang tepat,” Judy berkata: “Kamu harus dapat menerima kenyataan bahwa dia tidak akan pernah jatuh cinta sama perempuan.” Perlahan-lahan, Dennis pun bisa menerima orientasi seksual anaknya. Beberapa tahun kemudian, saat Matt mengakui identitasnya pada sang ayah, sang ayah hanya berkata: “Mengapa hal itu harus dipermasalahkan?”

Meskipun orangtua Matt (dan pada akhirnya adik laki-laki, kakek dan neneknya) bisa menerima orientasi seksualnya dan tetap mengasihinya, namun sayangnya kekejaman dunia yang sangat heterosentris dan homofobik menemukan jalan mereka untuk mulai mencabik-cabik kehidupan Matt. Ia bercerita bahwa di rumah kontrakan yang ia huni, ada seorang veteran perang yang homofobik yang hampir setiap hari mengucapkan gay slur (hinaan untuk kaum homoseksual). Belum lagi candaan-candaan bernada penghinaan yang dilontarkan oleh banyak orang tentang kaum gay. Matt menjadi merasa sangat gamang tentang identitasnya sendiri. Bisa jadi ia mulai mengalami internalized homophobia: suatu fenomena dimana seorang gay membenci dan jijik akan dirinya sendiri karena ia percaya bahwa kebencian masyarakat terhadap homoseksual memang betul-betul merefleksikan kenyataan.

Saat homofobia masyarakat yang jahat mulai mengguncang kehidupan Matt, terjadilah sebuah peristiwa yang betul-betul memutarbalikkan hidupnya. Suatu hari, saat ia sekeluarga sedang bepergian ke Maroko, ia mengalami pemerkosaan dan penganiayaan oleh laki-laki lokal. Akibat peristiwa ini, Matt mengalami trauma berat, dan pelan-pelan mulai terperangkap dalam berbagai pola perilaku destruktif seperti depresi, perilaku konsumtif dan alkoholisme. Peristiwa naas lainnya, dimana ia dipukuli oleh seorang bartender yang homofobik, hanya memperburuk kondisi kejiwaannya.

Terlepas dari semua peristiwa tragis yang menimpanya, Matt tetaplah seorang anak muda yang penuh energi dan antusiasme. Ia kemudian memilih jurusan Hubungan Internasional di University of Wyoming karena ia senang berdiskusi tentang politik internasional dengan sang ibunda, mempelajari bahasa yang berbeda-beda dan berteman dengan orang-orang dari kebangsaan yang beragam. Ia juga seorang aktivis muda: ia aktif dalam aliansi lesbian, gay, biseksual dan trasgender (LGBTA) di kampus, dan sedang mempersiapkan kegiatan bertajuk Gay Awareness Week (Pekan Kesadaran tentang Gay) di kampusnya.

Sayangnya, di saat Matt sedang berjuang untuk menemukan keseimbangan dan kebahagiaan di tengah krisis yang ia alami, sebuah tragedi datang kembali ke dalam hidupnya, lagi-lagi hanya karena dia seorang gay. Namun bedanya, tragedi yang datang kali ini menghabisi hidupnya.

Suatu malam, pada tanggal 6 Oktober 1998, Matthew yang sedang depresi pergi ke sebuah bar untuk menghibur diri sendiri. Malang, malam itu, pemuda berandalan Aaron McKinney dan Russell Henderson mengunjungi bar yang sama. Dua pemuda yang sedang kekurangan uang tersebut, berdasarkan stereotip yang mereka miliki, mengenali Matt sebagai seorang gay. Lalu mereka berpura-pura untuk menjadi gay supaya bisa merayu Matt untuk turut serta dengan mereka dalam sebuah truk, dimana mereka akan merampok uang Matt.

Mereka kemudian mempraktekkan trik tersebut dan berhasil memperdayai Matt. Mereka kemudian membawa Matt masuk ke dalam truk mereka. Saat mereka menemukan bahwa Matt hanya membawa 20 dolar Amerika Serikat di dalam dompetnya (sekarang mungkin setara dengan Rp 220,000), mereka langsung berang. Rasa benci dan jijik mereka terhadap identitas gay Matt kemudian mendorong mereka untuk melakukan perbuatan keji. Mereka berhenti di seberang Wal-Mart lalu mengikat kedua tangan Matt di sebuah pagar. Kemudian Henderson mulai menghajar Matt dengan membabi buta menggunakan gagang pistol Magnum. 357 yang ia miliki. Pada akhirnya, ia menghancurkan kepala Matt dengan cara menghantamnya sebanyak tiga kali dengan gagang pistol tersebut. Konon, menurut dokter, luka di kepala inilah yang menyebabkan kematian Matt pada tanggal 12 oktober 1998 setelah sempat mengalami koma selama lima hari.

Peristiwa penyerangan terhadap Matt, yang berujung dengan kematiannya lima hari kemudian, mengundang simpati yang luar biasa dari warga Amerika Serikat. Banyak orang mengutuk kekerasan yang terjadi. Figur-figur terkenal seperti pembawa acara dan komedian Elen deGeneres, penyanyi Elton John, band rock Peter, Paul dan Mary dan bahkan presiden Bill Clinton, satu per satu menyampaikan simpati mereka pada keluarga Judy dan Dennis.

Namun, sayangnya, tidak semua pihak menyampaikan simpati dan belas kasih. Kelompok agama Westboro Baptist Church kemudian berdemo di prosesi pemberkatan dan penyebaran abu jenazah Matt dengan membawa plakat-plakat bertuliskan “Matt pergi ke Neraka” dan “Tuhan membenci Homo”. Rulon Stacy, staf hubungan masyarakat di rumah sakit tempat Matt dirawat juga mendapatkan e-mail penuh kebencian dari gereja karena ia dianggap “terlalu mendukung gaya hidup homoseksual” dengan menulis siaran pers yang simpatik terhadap keluarga Matt. Baiklah, saudara-saudara, inilah wajah Kekristenan fundamentalis yang sebenarnya! Mereka hanya akan berduka kalau yang meninggal adalah orang heteroseksual. Kalau yang meninggal orang homo, mereka akan terus mengutuk dan mengutuk, meskipun kematiannya terjadi dengan sangat tragis! Belas kasih hanyalah sebuah kebohongan besar. Tidak heran dalam lagunya yang berjudul “Merman”, yang didedikasikan untuk Matthew Shepard, Tori Amos bernyanyi: go to bed, the priests are dead, now no one can call you bad. (lagunya dinikmati di sini: Tori Amos)

Judy, Dennis dan anggota keluarga Shepard lainnya sangat terpukul atas kematian Matt. Kakek Matt yang sangat menyayangi cucunya pun meninggal tiga minggu setelah kepergian cucunya karena beliau menderita tekanan batin luar biasa pasca pembunuhan yang menimpa cucunya.

Namun, Judy dan Dennis tidak mau tertindas oleh tragedi yang menimpa mereka. Mereka tahu bahwa mereka harus bergerak aktif. Bersama, mereka menyewa pengacara yang membantu untuk menaikkan tuntutan terhadap McKinney dan Henderson dari tindak pembunuhan tidak terencana menjadi tindak pembunuhan berencana yang menyebabkan mereka dihukum seumur hidup. Upaya ini akhirnya berhasil setelah polisi mendapatkan keterangan dari pacar kedua pelaku bahwa mereka melakukan pembunuhan terhadap Matt karena rasa jijik dan benci pada fakta bahwa sang korban adalah seorang gay.

Awalnya pengacara dua pembunuh tersebut berusaha meyakinkan hakim bahwa pembunuhan terhadap Matt tidak direncanakan dan terjadi secara spontan karena kedua pelaku panik dengan perilaku Matt yang “merayu” mereka. Respon Judy? “Kalau seandainya pembunuhan atas dasar tindakan merayu dibenarkan, maka tentu akan lebih banyak lelaki heteroseksual yang tewas terbunuh.” Pikirkan sendiri tentang bagaimana pria heteroseksual sering merayu dan bahkan melakukan pelecehan seksual pada perempuan.

Dari kiri ke kanan Dennis Shepard, Judy Shepard, dan Presiden Amerika Serikat Barack Obama dalam pidato mengenai pencegahan kejahatan berbasis kebencian pada kaum gay
Dari kiri ke kanan Dennis Shepard, Judy Shepard, dan Presiden Amerika Serikat Barack Obama dalam pidato mengenai pencegahan kejahatan berbasis kebencian pada kaum gay

Mereka berdua kemudian juga mendirikan Matthew Shepard Foundation, organisasi yang memperjuangkan penerimaan terhadap keberagaman dengan berbagai program pendidikan. Judy kemudian menjadi juru bicara komite Hak Asasi Manusia yang memberikan pidato-pidato tentang bahaya homofobia dan pentingnya memasukkan orientasi seksual ke dalam undang-undang anti kejahatan berbasis kebencian di Amerika Serikat, yang dikenal sebagai the Matthew Shepard Act. The Matthew Shepard Act disahkan oleh presiden Barack Obama pada tanggal 28 Oktober 2009.

Dosen saya di Fakultas Psikologi Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya, Dr. Nani Nurrachman (2013), pernah mengatakan kira-kira seperti ini: meskipun hidup kita pada awalnya malang, namun bukan berarti maknanya hilang. Berdasarkan kasih mereka untuk anak mereka, Judy dan Dennis Shepard telah menemukan makna dari tragedi yang mereka alami: mereka mentransformasikan rasa kehilangan dan kepahitan untuk mendapatkan sesuatu yang lebih besar – mereka sadar bahwa tragedi ini tidak hanya menyangkut anak mereka, tetapi menyangkut kelompok LGBT secara besar, dan mereka tidak ingin ada korban lagi yang jatuh secara sia-sia akibat homofobia. Mereka telah berubah dari “orang biasa” menjadi aktivis dan tokoh publik.

Di penghujung memoirnya, Judy berkata bahwa ia tidak bisa melupakan kesedihannya atas kepergian Matt meskipun tahun demi tahun telah berlalu setelah peristiwa pembunuhan anaknya tersebut terjadi. Namun ia menegaskan bahwa ia juga tidak ingin kesedihan itu pergi karena kalau hal itu sampai terjadi, berarti ia telah melupakan anaknya. Di kalimat terakhir memoirnya Judy berkata: “Matt bukanlah anak gay kami. Matt adalah anak kami, yang kebetulan adalah seorang gay”, seolah-olah berpesan pada para pembaca untuk tidak menghakimi seseorang hanya berdasarkan orientasi seksualnya, karena sejatinya, orientasi seksual hanyalah sebagian kecil dari siapa diri seseorang. Manusia ingin seluruh potensi dan harga diri mereka dihargai seutuhnya, terlepas dari apa orientasi seksual mereka.

Dan apakah makna Matthew Shepard bagi kita, LGBT Indonesia? Kita harus membawa semangat Matt dan perjuangan Judy dengan suaminya sebagai cahaya yang menuntun perjuangan kita setiap hari. Matt telah membayar mahal untuk identitasnya, dan pembunuhan yang sama bisa terjadi pada kita, juga pada saya (penulis) sendiri. Namun, seperti kata pepatah, yang lebih tragis daripada kematian adalah hidup yang tidak memiliki makna. Oleh karena itu, janganlah diam! Tantanglah orang-orang yang berbicara dengan penuh prasangka dan homofobia, dengan cara yang berbelas kasih dan halus tentu saja. Yang jelas, kisah keluarga Shepard akan selalu hidup dalam ingatan saya. Semoga kisah ini juga membekas dalam benak Anda.

KUTIPAN MENYENTUH DARI JUDY SHEPARD TENTANG HOMOSEKSUALITAS:

“Beberapa orang berpikir bahwa menjadi gay hanyalah terkait dengan berhubungan seks dengan seseorang yang sesama jenis, dan itulah hal yang tidak ingin dibayangkan oleh mereka. Namun sekarang, setelah saya berteman dengan banyak orang gay, mata saya terbuka bahwa, hetero ataupun gay, orientasi seksual bermakna lebih daripada sekedar siapa yang kamu ajak ke tempat tidur. Orientasi seksual menyangkut relasi antarmanusia pada umumnya, yang bisa membawa kebahagiaan, kesenangan, dan kadang kegagalan.” (halaman 62).

Daftar pustaka
-Dewi, S. (2013, Februari) Menjadi Thomas. Makalah disampaikan dalam acara diskusi di Komunitas Salihara. Jakarta, 19 Februari 2013.
-Nurrachman, N. (2013) Kenangan tak Terucap: Saya, Ayah dan Tragedi 1965. Jakarta: Penerbit KOMPAS.
-Shepard, J. (2009) The Meaning of Matthew : My Son’s Murder in Laramie and a World Transformed. United States: Plume Books.

*Penulis adalah seorang reporter dan copywriter di harian berbahasa Inggris, The Jakarta Post