Search
Close this search box.

“Crush” Realitas Yang Bertabrakkan

film-crush

Suarakita.org- Pada 11 April lalu, Film yang diperankan Girl Band remaja Cherrybelle “Crush” release di bioskop. Film yang diisutradarai Rizal Mantovani ini mengisahkan bagaimana perjuangan Cherrybelle untuk mempertahankan eksistensinya. Maka dari itu, sang produser (diperankan Farhan) berinisiatif dengan mematangkan kualitas tari Cherrybelle. Kemudian sang produser meminta sosok Andre sebagai pelatih tarinya.

Di film ini ada adegan dimana Andre yang merupakan pelatih tari professional ditanyakan sang paman terkait calon pasangannya kelak. Sang paman yang diperankan pelawak senior Indro Warkop mengatakan Andre itu “Sakit” (istilah lain untuk mengatakan homoseksual). Tidak hanya menyatakan sebagai penyakit, Indro juga mengatakan “Sakit” sebagai aib keluarga dan berbahaya.

Cherrybelle adalah salah satu Girl Band yang digemari dewasa, remaja dan anak-anak. Tidak hanya perempuan, Cherrybelle memiliki banyak penggemar laki-laki yang diberi nama Twiboy. Bayangkan saja apabila ada salah satu twiboy yang gay yang tidak paham akan pendidikan keberagaman gender menyaksikan tayangan yang mengolok-olok orientasi seksualnya. Padahal saat ini WHO menyatakan Gay sudah tidak dikategorikan sebagai penyakit, yang menjadi penyakit justru apabila seseorang menolak orientasi seksualnya.

Saya jadi teringat ketika saya yang seorang penyuka sesama jenis menyaksikan pemberitaan miring media tentang homoseksual dikaitkan dengan kasus mutilasi Ryan Jombang. Saat itu saya baru masuk kuliah, belum terpaparkan pendidikan seksualitas dan belum memahami homoseksual adalah normal, bukan penyakit. Saya sangat bingung dan tertekan karena orientasi seksual saya dianggap sebagai penyakit. Belum lagi dengan dampak pemberitaan yang menjadikan kasus Ryan sebagai bahan olok-olok teman saya di kampus, “Awas jangan ganggu Rikky nanti dimutilasi lho”, ungkapan ini terus melekat dikepala saya.

Dengan mengangkat dunia tari seharusnya film ini bisa menjadi ajang untuk membuktikan eksistensi LGBT di dunia seni. Namun sayangnya film ini justru mengangkat hal sebaliknya. Penulis harusnya menyadari dunia hiburan kita, khususnya dunia seni tari yang diisi oleh kreativitas LGBT. Banyak penyanyi internasional yang menggunakan jasa penari homoseksual untuk mendukung performanya di panggung dan video klipnya. Salah satunya Mark Kanemura, yang menjadi penari Lady Gaga, Katy Perry dan Janet Jackson. Penulis harusnya lebih sensitif lagi bahwa LGBT ada di segala bidang dan karya LGBT turut memberikan berkontribusi. (Rikky)