Search
Close this search box.

In Memoriam Bu Maryani

Suarakita.org- Saya tidak mengenal dekat sosok istimewa itu. Bahkan saya tidak tahu siapa nama pria yang, kemudian, dikenal sebagai ibu Maryani. Tetapi berita kepergiannya yang mendadak sungguh membuat saya tercenung, dan terkenang lagi saat-saat kami bertemu. Juga pesona yang dipancarkannya.

Maryani – mari kita andaikan itu memang namanya sejak dari dahulu – memang istimewa. Bukan saja karena identitas seksualnya sebagai seorang transgender atau “waria”. Itu memang dirinya. Tetapi sosok pribadinya jauh melebihi sekadar penanda identitas seksual tersebut. Kisah hidup dan perjuangan yang ia tuturkan dengan gamblang, memancarkan pesona tersendiri, dan mengubah banyak orang.

Hanya dua kali saya sempat bertemu dengan Bu Maryani, saat mendampingi rekan-rekan aktivis muda dari berbagai pelosok nusantara yang mengikuti pelatihan intensif SPK (Sekolah Pengelolaan Keragaman), sebuah program pluralism knowledge yang dimotori oleh CRCS (Center for Religious and Cross-Cultural Studies) UGM. Salah satu acara turun lapangan pelatihan itu adalah mengunjungi Pondok Pesantren Waria Senin Kamis “Al-Fatah” di kampung Notoyudan yang diasuh oleh Maryani. Di ruang tamu yang sempit dan sederhana, pada awal Februari dan pertengahan November tahun lalu, Maryani menerima kami bersama beberapa teman warianya. Ia menuturkan stigma buruk yang harus disandang seorang waria di tengah masyarakat, kerinduan religius mereka, maupun pesantren unik yang diasuhnya.

Pesantren waria Al-Fatah sendiri dimulai sejak 2008 atas inisiatif alm. K.H. Hamrolie Harun yang ingin melayani kaum tersisih. Seperti namanya, pesantren itu hanya berkegiatan setiap malam Senin dan malam Kamis. Di tempat itu, kaum waria diterima apa adanya untuk mereguk kedamaian agama, belajar membaca Al-Qur’an, shalat, dzikir, dstnya. Sekarang pesantren itu didampingi Murtidjo, seorang ulama yang memiliki perhatian sama. “Tanpa dukungan dan perhatian pak kiai, tidak mungkin kami ada,” kata Maryani. “Kami juga manusia yang beragama, dan ingin beribadah seperti orang lain.”

***

Kalimat itu membuat kami semua termenung. Selama ini kaum waria selalu menjadi kelompok paling rentan dalam masyarakat. Mereka harus menanggung berbagai stigma buruk, dianggap sebagai makhluk aneh, atau bahkan “kelainan”, dari peran lelaki yang “normal”. Atau sering juga disebut “penyakit” yang, seakan-akan, dapat disembuhkan oleh berbagai terapi, termasuk khotbah moral agama.

Tetapi bagi Maryani dan teman-temannya, menjadi waria bukanlah pilihan, tetapi “nasib” yang harus mereka terima. “Kalau bisa memilih, sudah tentu saya tidak ingin jadi waria,” katanya. “Tetapi ini pemberian dari Gusti Allah. Mosok saya harus protes ke Gusti Allah? Ya saya hanya bisa ikhlas menerima diri saya seperti apa adanya.”

Itu juga dikisahkan Yeti, salah seorang waria yang mondok di situ. Ia mengaku, walau tubuhnya memang lelaki, namun sedari kecil ia merasa gejolak perasaan yang ada dalam hatinya berbeda. “Saya sendiri sudah merasakannya sejak kecil dan bukan karena dibentuk oleh lingkungan, karena faktanya adalah saya juga punya banyak kakak laki-laki,” ujar Yeti. “Setelah merasakan hal yang berbeda beberapa tahun, baru pada tahun 1994, ketika di SMA, saya dapat menerima keadaan ini.”

Ketika mereka kemudian berusaha jujur dengan perasaan yang ada dalam hati, lalu tampil sebagai waria, mereka harus menghadapi kenyataan pahit: tak seorang pun, termasuk dari keluarga terdekat, mampu menerima mereka apa adanya. Maka mereka pun harus lari dari rumah orangtua, menggelandang di jalanan, mengambil profesi apa saja untuk mempertahankan hidup, mulai dari ngamen di jalanan sampai menjajakan tubuh untuk memuaskan nafsu birahi sesaat.

***

Soalnya tidak berhenti di situ. Banyak waria, karena harus lari dari keluarga tanpa membawa apapun, termasuk surat-surat identitas diri, maka keberadaannya seperti terhapus dari masyarakat. Menjadi non-citizen, tanpa hak-hak, apalagi perlindungan. Konsekuensinya sungguh memilukan. “Banyak teman kami yang meninggal tanpa identitas, sehingga dikuburkan di kuburan massal,” tutur Maryani.

Itu sebabnya Maryani membuat program sederhana: mengumpulkan teman-teman waria untuk berziarah ke berbagai makam yang diduga juga mengubur rekan-rekan mereka. “Setidaknya ada yang mengenang dan menziarahi mereka,” tuturnya.

Terus terang, bulu kuduk saya berdiri mendengar tuturannya. Bukan kematian saja yang harus ditanggung waria-waria itu, tetapi juga – yang jauh lebih pahit – dilupakan. Seakan-akan mereka tidak pernah ada menjejak bumi dan menghirup nafas di negara ini!

Upaya Maryani mengundang simpati banyak orang. Juga ketulusannya untuk mengelola Pesantren waria. Walau eksperimen itu memang tidak lazim, namun rupanya masyarakat Yogyakarta – setidaknya mereka yang tinggal di lingkungan sekitar tempat Pesantren itu didirikan – dapat menerima. Penerimaan masyarakat itulah yang membuat Maryani, tahun lalu, dapat melaksanakan ibadah umrah sebagai seorang transgender.

Apalagi, bersama rekan-rekan waria lainnya, Maryani aktif melakukan bakti sosial saat terjadi bencana, seperti gempa besar yang pernah mengguncang kota gudeg itu. “Kami nyumbang apa yang bisa dilakukan, yakni menerima potong rambut gratis. Ternyata banyak yang suka, sampai antri panjang,” ujarnya sembari tertawa.

Bu Maryani kini sudah tiada. Ia sudah berpulang pada Sang Misteri yang selalu dirindukannya. Ia tidak pernah tahu mengapa Gusti Allah memberinya tubuh lelaki tetapi jiwa perempuan. Namun ia menerima dan mensyukurinya, dan melakukan segala sesuatu untuk menunjukkan rasa syukurnya yang dalam. Sementara cita-citanya untuk mengelola Pesantren waria, konon kabarnya, akan diteruskan oleh sahabatnya, Rully Mallay.

Beristirahatlah dengan damai, Bu Maryani. Terima kasih untuk teladan yang Ibu tinggalkan.

*Penulis adalah koordinator penelitian Biro Litkom-PGI, Jakarta

Sumber : inspirasi.co

[youtube youtubeurl=”v=i96r31″ ][/youtube]