Search
Close this search box.

Lengger : Sakralitas Versus Komoditas

Suarakita.org- Masyarakat Indonesia adalah masyarakat agraris. Bagi masyarakat Indonesia tempo dulu, pertanian tidak hanya dianggap sebagai  sumber penghidupan tetapi juga merupakan sumber spiritual. Tiap proses pertanian dari awal pembibitan hingga panen raya memiliki makna spiritual yang sakral.

Lengger merupakan bagian dari produk kosmologi agraris tersebut. Di mana lengger memiliki peranan penting dalam alur pertanian.  Lengger adalah seni tradisi masyarakat banyumasan yang biasa ada, dalam rangka menyambut panen raya. Lengger dianggap sebagai jelmaan Dewi Sri, Dewi Kesuburan. Masyarakat percaya bahwa keberadaan  lengger   bisa membawa kesuburan bagi  pertanian yang mereka garap.

Tarian lengger memiliki semangat feminim, yakni semangat merawat, menjaga, sehingga penari lengger tidak harus secara biologis perempuan tetapi juga bisa diperankan oleh orang-orang yang secara biologi adalah laki-laki asalkan memiliki spirit perempuan.

Muhamad Nurkhoiron mengatakan pada kuliah umum our voice berteme Sekualitas Dalam tarian Lengger,  Minggu 29 Desember 2013, bahwa terjadi pergeseran makna dalam tarian lengger masa kini. Jika dulu tarian lengger bisa ditarikan oleh laki-laki, kini hal itu jarang dijumpai bahkan mungkin tidak ada lagi. Dan akhirnya,tarian lengger kini hanya menjadi kesenian hiburan biasa tanpa embel-embel sakral.

Menurut Nurkhoiron, pergeseran makna ini terjadi pada masa Orde Baru di mana pertanian mulai dianggap sebagai komoditi ekonomi. Sehingga nilai nilai spiritual dalam proses bertani pun diberangus.

“Kapitalisme membuat petani menjadi konsumen di semua lini” ungkap Nurkhoiron. Dia pun menyebutkan bagaimana bibit bibit lokal dihabisi dan diganti dengan bibit  industri yang harus petani beli. Kapitalisasi ini berdampak pada  tergerusnya eksistensi tradisi lengger yang tidak dianggap sakti lagi oleh petani, karena petani harus menggenjot hasil produksi. (Gusti Bayu)

Makalah lengkap bisa diunduh di sini