Suarakita.org – Pada hari Senin 28 oktober 2013, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, Elsam mengadakan Kuliah Umum “Peran Strategis Peradilan Dalam Perlindungan Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan”. Acara yang berlangsung di Hotel Gran Alila Jakarta pusat ini dibuka oleh direktur eksekutif Elsam, Indriaswati Dyah Saptaningrum. Disini Indri mengungkapkan latar belakang kuliah umum ini merupakan acara pembuka dari pelatihan monitoring peradilan kasus kebebasan beragama dan berkeyakinan. Kegiatan ini muncul dari keprihatinan atas berbagai peristiwa kekerasan dari suatu kelompok ke kelompok lain.
Setelah reformasi dimulai, orang merasa punya ruang untuk mengekspresikan pendapat dan diantaranya hak kebebasan berkeyakinan. Atas nama apapun tindakan penyiksaan tidak boleh diizinkan untuk hadir. Dan Elsam mencoba mengarahkan perhatian pengadilan yang fair dan berkeadilan. Harapannya lima tahun kedepan lembaga pengadilan bisa lebih progresif terhadap hak beragama dan berkeyakinan.
Dr. Harifin A. Tumpa, mantan ketua Mahkamah Agung mengungkapkan perasaannya akan masih ditemukan hal yang sesungguhnya sangat mengiris hati kita. Sesama bangsa sesama mahluk tuhan ada perlakuan segelintir orang terhadap orang-orang yang berbeda keyakinan seperti kasus akhmadiyah di sumbar dan ntb. Bagi Harifin, “ini semua tidak bisa ditolerir dan tidak bisa dibiarkan. Perlu dihayati menjalin hubungan sesama warga negara”.
Kebebasan beragama dalam UU terdapat di beberapa pasal yang antara lain pasal 28 e ayat 2, pasal 29 ayat 2 serta pasal 28 I ayat 2 yang menjamin kebebasan setiap penduduk untuk memeluk agamanya. Dalam peradilan, Harifin mengingatkan perlunya seorang hakim membuat keputusan yang objektif seperti adanya independensi, tidak dipengaruhi oleh salah satu pihak dan tidak berdasarkan atas keinginan pribadi hakim.
Kepercayaan publik yang rendah, ketertutupan dan kurangnya pelayanan public menjadi kendala utama dalam lembaga peradilan di Indonesia. Pada tahun 2011 Harifin memberlakukan sistem kamar, diharapkan seorang hakim agung bisa mengadili perkara apapun. Seharusnya FPI yang melakukan penganiayaan terhadap kelompok lain tidak bisa dibiarkan
Dr. Ahmad Suaedy membahas dengan tema “Islam dan perluasan intoleransi di bawah pemerintahan SBY”. Meskipun sudah reformasi, namun reformasi baru muncul di permukaan. FPI semakin meluas karena kebijakan pembiaran. Ada 3 level dalam intoleran, mulai dari intoleran yang bersifat pribadi, intoleran yang sudah diapkikasikan ke aksi menyerang dan kebijakan yang melegitimasi intoleransi
Amandemen 1945 sudah berubah memperkuat posisi warga negara. Namun belum bertransformasi menjadi sebuah visi. Dari hal ini, Suhaedy mengajukan beberapa pertanyaan, “Seberapa jauh pemerintah melindungi keyakinan?” dan “Bagaimana perlindungan kelompok minoritas?”
Setelah dilantik menjadi Presiden, SBY memberikan kekuasaan kepada mui sebagai satu-satunya kebenaran islam. Kemudian MUI yang sebelumnya tidak mengurusi kasus penodaan agama mulai mengharamkan pluralisme, liberalisme dan lainnya. Selain itu Presiden menunjuk beberapa orang terdekat yang konservatif dan intoleransi yang kemudian Hakim serta polisi tidak mendapat perlindungan politik dalam mengadapi kasus kebebasan beragama. Karena ada tekanan dari kelompok konservatif. (Rikky)