Search
Close this search box.

Mengkaji surat Nabi Luth: usaha memahami seksualitas dalam ayat-ayat Qur’an

Oleh : Parjo Hariyadi, Tanti Noor Said dan Tim GII (Gay Islam Indonesia)*

Suarakita.org- Artikel ini adalah usaha kami (para penulis) untuk mengkaji dan memahami ayat-ayat Nabi Luth yang selama ini banyak dipinjam dan digunakan oleh berbagai pihak untuk pelarangan hubungan seksual yang terjadi (khususnya) antara laki-laki dan laki-laki.

Usaha ini mungkin sebuah penambahan dari usaha-usaha memahami Islam dan seksualitas yang sudah pernah ada. Bouhdiba dan Tom Boellstorff (antropolog Amerika) contohnya saja sudah pernah menulis tema ini. Mereka menelaah kesejajaran praktek homoseksual (khususnya) dan Islam. Di dalam makalah mereka dijelaskan bahwa Islam bukan melarang homoseksualitas. Yang banyak dibahas dalam Islam justru sebenarnya adalah praktek seksual diluar pernikahan yang merupakan dosa. Kamipun tergelitik dan berkeinginan untuk kembali mengkaji ayat-ayat yang berkaitan dengan praktek seksual.

Mungkin banyak pihak yang akan menganggap usaha kami ini sebagai sebuah tindak keraguan. Kami semua tentu sangat takut akan keraguan kepada pengamalan dan kepercayaan beragama. Keraguan, terhadap perintah Allah, seringkali dianggap sebagai sebuah kelemahan iman dari umat beragama. Kami juga tidak bermaksud untuk menyangkal kelemahan kami tersebut. Akan tetapi, hal ini tidak mengurungkan keinginan kami untuk membagi hasil renungan dan kajian kami, yang merupakan sebuah bentuk praktek membaca Qur’an dengan berfikir dan memperhatikan konteks sosial, masyarakat dan sejarah pada masa itu.

Seorang ustadz pernah mengatakan, “Bukankah pada sepertiga dari ayat Qur’an, Allah memerintahkan kita untuk berfikir?” Dengan berfikir, kita sebagai manusia berbeda dengan mahluk-mahluk Allah lainnya. Karena kita dikaruniai akal, pikiran dan nurani. Itulah sebabnya, sebagai manusia yang dikaruniai akal dan pikiran, kami merasa bertanggungjawab untuk menggunakannya dalam rangka mencari kebenaran. Dan tentu saja, kami sadar, kebenaran mutlak hanyalah milik Allah semata.

Femininitas dan maskulinitas dalam Qur’an

 Seperti contohnya terjemahan surat al falaq ayat 4 yang artinya “dan dari kejahatan wanita-wanita tukang sihir yang menghembuskan pada buhul-buhul” Mengapa dalam bahasa Indonesia kemudian kita harus mengartikannya “wanita”? Padahal tata bahasa arab mengenal gender berbeda dengan kita.

Kata naffaatsati bermakna menghembuskan atau meniup yang memiliki gender feminine dan tidak ada kata nissa yang artinya wanita di ayat tersebut.

Berawal dari kebimbangan inilah, maka kami ingin mempertanyakan aplikasi sebuah ayat mengenai cerita Nabi Luth dengan perihal dosa yang ditujukan kepada kelompok homoseksual dalam konteks masa kini. Pernahkah kita menafsirkan ayat tersebut ketika mempelajari Qur’an?

Kami mempertanyakan ini tidak dengan tanpa alasan. Kebanyakan kegiatan mengaji adalah membaca Qur’an dengan memperhatikan tajwidnya saja. Karena dikaitkan dengan keta’atan dan kepercayaan kita pada ayat-ayat Allah inilah yang menyurutkan niat kita untuk mendiskusikan makna. Mempelajari tajwid (tata bahasa) memang penting untuk menghindari kesalahan makna. Namun, hal-hal yang perlu kita perhatikan dan sangat penting dalam mempelajari Qur’an sebagai kitab suci adalah:

1. Keotentikan Qur´an atau kitab suci dijamin langsung oleh Tuhan. 2. Masih ada bahasa aslinya yang sesuai dengan sewaktu kitab suci tersebut diturunkan kepada nabi yang menerimanya. 3. Mudah dihafal karena Tuhan memberikan kemudahan bagi umat-Nya untuk menghafalkan wahyunya. 4. Umat yang meyakininya banyak yang hafal kitab suci tersebut diluar kepala. 5. Tidak mengandung pornografi. 6. Tidak ada kontradiksi antar ayat. 7. Relevan sepanjang zaman.

Ketertarikan seksual

Kisah Nabi Luth dalam Qur’an dimulai dengan kata Qawn yang dalam bahasa Inggris berarti Tribe  (kaum atau kelompok etnis). Seperti yang kita ketahui, suatu kaum terdiri dari pria, wanita dan anak-anak. Namun kemudian ada ayat yang berbunyi “kaum yang meninggalkan pasangan (istri atau wanita) dan mendatangi pria.”

Dalam arti dan tafsirannya, ada keganjilan dalam ayat ini. Terutama kita yang terbiasa untuk berporos kepadabinary opposition system (laki-laki pasangannya adalah perempuan, dan sebaliknya), yang oleh banyak ahli ilmu sosial dan gender disebut heteronormativitas. Bila kaum itu hanya terdiri dari pria, maka bisa jadi ayat ini membahas mengenai homoseksual atau biseksual.

Namun, kemungkinan, ayat ini lebih mendekati kepada perilaku biseksual dan bukan homoseksual. Karena laki-laki homoseks tidak menikah dengan perempuan. Kemudian bagaimana jika yang dimaksud meninggalkan adalah kaum perempuan? perempuan yang meninggalkan pasangan (perempuan/istri) dan mendatangi laki-laki? Apakah artinya lesbian diperbolehkan dan bahkan pasangan lesbian dilarang meninggalkan pasangan perempuanya untuk mendatangi laki-laki.

Gender dengan berbagai variasinya dibahas dalam Qur’an

Surat an nur 31 dan asy syuura 49-50.

Pada surat an nur 31 ada bagian yang mengatakan, perempuan boleh membuka perhiasannya pada …..suami-suami mereka….sampai pada bagian ….atau laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap perempuan).Lalu siapakah yang dimaksud lelaki yang tidak mempunyai keinginan itu, hal itu merujuk pada laki-laki yang secara psikologis tidak tertarik pada perempuan (ayat ini jelas membahas mengenai ketertarikan seksual, bukan perilaku seksual).

Kemudian surat asy syuura ayat 49 berbunyi

“ Kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi, Dia menciptakan apa yang Dia kehendaki. Dia memberikan anak-anak perempuan kepada siapa yang Dia kehendaki dan memberikan anak-anak lelaki kepada siapa yang Dia kehendaki.”

Ayat ini menyebutkan dua jenis kelamin yang bersifat oposisi binaer yaitu laki-laki dan perempuan. Pasangan yang berlawanan jenis secara gender dengan tujuan reproduksi atau meneruskan keturunan.

Ayat selanjutnya (50)

“atau Dia menganugerahkan kedua jenis laki-laki dan perempuan (kepada siapa) yang dikehendaki-Nya, dan Dia menjadikan mandul siapa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui lagi Maha Kuasa.”

Pada ayat ini, pertama Allah menjelaskan dua gender yang menjadi satu (laki-laki, perempuan) yang lebih kita kenal transgender/hermaprodite. Sedangkan bagian akhir merujuk pada “yang tidak bereproduksi” (‘aqim) yang merujuk pada gay dan lesbian yang tidak menghasilkan reproduksi. Ini artinya, ayat mengenai transgender dah homoseksual dipisah di ayat selanjutnya sesudah ayat yang membahas mengenai heteroseksual.

Lalu bagaimana dengan perkataan nabi Luth yang mengatakan di surat Huud 78,

“Dan datanglah kepadanya kaumnya dengan bergegas-gegas. Dan sejak dahulu mereka selalu melakukan perbuatan-perbuatan yang keji[730]. Luth berkata: “Hai kaumku, inilah puteri-puteriku, mereka lebih suci bagimu, maka bertakwalah kepada Allah dan janganlah kamu mencemarkan (nama)ku terhadap tamuku ini. Tidak adakah di antaramu seorang yang berakal?”

Bagaimana mungkin seorang nabi menawarkan putrinya untuk diperkosa, padahal baik perkosaan pada laki-laki ataupun perempuan sama bejadnya. Dengan memberikan anaknya yang bukanlah berarti lebih suci. Perkataan Luth memiliki makna sarkasme terhadap kaumnya yang hendak memperkosa tamu nya.

Dengan usaha untuk mengaji ini, kamipun menyadari pentingnya mempelajari kisah Nabi Luth secara keseluruhan. Tidak adil jika kita hanya menitikberatkan pada ayat yang membahas dan menyebut “mendatangi laki-laki dan meninggalkan perempuan, bukan laki-laki,” untuk pelarangan ketertarikan dan cinta antara sesama laki/laki atau perempuan. Karena cerita Nabi Luth ini terbagi dari beberapa ayat di surat yang berlainan.

Kebejatan lain dari kaum Luth contohnya adalah merampok musafir dan menunjukan kemesuman di muka umum.

Benang merah dari semua cerita nabi ini adalah kisah tentang kaum yang meninggalkan Tuhan dan rasulnya. Akan tetapi hal ini kurang diperhatikan. Penitikberatan para ulama agama diarahkan kepada larangan untuk melakukan tindakan seksual antar sesama laki-laki.

Pembahasan mengenai praktek seksual (sexual practice) dalam Qur’an.

Seks bukan hanya menyangkut masalah keinginan atau kewajiban manusia dalam meneruskan keturunan. Seks juga persoalan rekreasi (ketentraman dan kasih sayang).

Hal inipun termaktub dalam surat ar rum 21

“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu pasangan-pasanganmu dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.”

Kata azwaja mengacu pada gender ambigu jamak, bukan istri (zauja) tetapi “mates” (pasangan). Tujuannya adalah ketentraman dan kasih sayang bukan reproduksi semata, jadi Allah menjamin setiap manusia memiliki pasangan yang seperti kita tau sepasang adalah berisi dua (2) dan tidak bisa lebih dari dua, dan di akhir ayat lagi-lagi Allah menyuruh kita untuk berfikir bukan sekedar menelan mentah-mentah arti dan tafsiran, karena jaman dulu ilmu psikolog dan genetik belum semaju saat ini. Oleh sebab itu, orientasi, gender dan perilaku menjadi hampir mirip dan tidak dibeda-bedakan. Dalam ayat ini, tidak juga ada pembahasan secara merinci tentang larangan hubungan seksual antara laki-laki dengan laki-laki, laki-laki dengan perempuan atau perempuan dan perempuan.

Kebejatan kaum Luth, seperti juga yang dapat kita aplikasikan pada konteks masa sekarang, bukan hanya kebejatan dalam perilaku dan tindakan seksual. Kebejatan yang dimaksud juga berlaku untuk nafsu dan keserakahan manusia pada harta dan kekuasaan. Dari kisah Nabi Luth ini, nissa bisa diartikan kaum lemah, sedangkan rijaal  berarti kaum berkuasa. Maka dengan mengacu pada Qur’an mengikuti zaman, bisa ditafsirkan kaum luth (pria-wanita) yang meninggalkan kaum lemah dan mendatangi kaum penguasa. Bisa kita lihat implikasinya pada zaman ini dimana orang yang tidak memiliki kekuasaan, dianggap lemah. Mereka ini akan ditinggalkan dan diabaikan dan memilikih untuk mendatangi kaum penguasa (istilahnya kaum yang menjilat pada penguasa).

Kesimpulan

Dengan tulisan ini, kami ingin mengajak pembaca untuk berfikir, benarkan kisah Nabi Luth hanya bercerita mengenai dosa kaum homoseksual semata? Bukankah Allah menyuruh kita berfikir? Sementara ilmu di jaman nabi hingga sebelum abad 21 masih kuno dan penuh dengan takhayul. Haruskah kita abaikan ilmu pengetahuan, padahal Allah sudah mengatakan ayat-ayat Ku tidak hanya ada didalam Qur’an. Ayat-ayatku berada dalam alam, dimana beberapa hewan juga melakukan hubungan seksual, antar lelaki, antar perempuan dan antara perempuan dan lelaki. Kami tidak bermaksud untuk menolak penafsiran ulama agama terdahulu terhadap Qur’an. Namun, bukankah Qur’an merupakan kitab yang diwariskan nabi untuk umatnya dan bukan hanya ulama agamanya saja.

Dengan kemajuan ilmu pengetahuan sudah saatnya umat Allah menggunakan akal dan nurani untuk berfikir. Sekali lagi, kebenaran mutlak hanyalah milik Allah semata. Oleh sebab itu, tidak menutup kemungkinan bahwa saya sebagai penulis dapat melakukan kesalahan. Namun ijtihad diperlukan untuk masalah ini, karena menyangkut kebenaran. Sehingga tidak menjadikan pernikahan hetero untuk menutupi kebenaran bagi kaum gay yang sebenarnya tidak bisa mencintai perempuan secara romantis dan seksual.

Artikel ini ditulis, didiskusikan dan dituliskembali oleh tim :

-Parjo Hariyadi pengasuh Gay Islam Indonesia (GII)

-Kelompok diskusi yang diselenggarakan oleh Gay Islam Indonesia

-Tanti Noor Said (Kontributor Our Voice)

-Gosh Love dan Alex Raka Barmooda