Oleh : Setiawan Chogah*
Bandara Soekarno-Hatta – Cengkareng, 1 Desember 2011
Aku melangkahkan kaki setelah menuruni Daihatsu Grand Max di drop zone, kendaraan yang membawaku dari Serang tadi pagi. Beberapa bulan ini aku ditugaskan perusahaan untuk memimpin sebuah proyek di kota bandeng itu. Ah, tidak terasa waktu berlalu begitu cepat. Baru kemarin rasanya aku meninggalkan Ubud yang teduh, bahkan aroma dupa[1] masih begitu segar di penciumanku. Saat-saat perpisahanku dengan Namira, perempuan yang aku curangi perasaannya, dan bodohnya aku baru berani mengakui itu sekarang.
Namira yang menjadi cinta pertamaku, cantik dengan kejelitaannya yang alami, kerling mata yang menggoda, bibir yang senantiasa basah, alis sempurna, dan wajah yang bagaikan pahatan dewata, lalu semua itu menjadi milikku ketika aku mempersuntingnya dua tahun yang lalu. Lagi-lagi aku berpura-pura.
Tapi hari ini ada yang berbeda. Ada orang lain di sampingku, juga di ceruk hatiku. Pertemuan tidak sengaja dengannya di malam penutupan Banten Fair bulan lalu telah mengubah alur cerita cintaku dengan Namira.
Dengan jiwa berpengharapan, aku menggandengnya melangkah mantap menuju check in counter. Setelah beberapa menit menunggu security memeriksaku di X-Ray cabinet, akhirnya aku bisa bernapas lega.
“Maaf, Pak. Handphone-nya mohon dinonaktifkan.”
Aku menurut, merogoh saku celanaku. Sebuah SMS. Aku abaikan, setelah dalam posisi off, aku kembali memasukkannya ke kantong dan berlalu.
Boarding lounge masih sepi, hanya beberapa orang yang mengisi kursi deretan paling depan. Aku memang sengaja datang satu jam lebih awal sebelum waktu keberangkatan. Aku kapok, keberangkatanku pertama kali ke Banten terpaksa harus membeli tiket dua kali gara-gara aku terjebak di antrean panjang check in counter.
Aku lirik candle cine yang melingkar di pergelangan tanganku. Pukul 12.55. Masih ada waktu sekitar setengah jam lagi, itu pun kalau tidak delay.
***
Cerpen lebih lengkap klik : Kepada Namira
*Setiawan Chogah lahir di Atar-Batusangkar pada 2 Desember. Alumni SMAN Agam Cendekia angkatan ke dua, Jingga Langit Pusara (2006) adalah cerpen pertamanya yang dimuat di sisipan koran Padang Ekspres (P’Mails). Tulisannya berupa cerpen dan artikel tersebar di beberapa media lokal dan nasional, seperti majalah Annida, majalah Story, Koran Fiksi, Singgalang, Radar Banten, Tribun Jabar, tabloid Top Idol Indonesia, tabloid Gaul, majalah HAI, majalah Sabili, majalah Imut, berita99.com, dsb. Cerpen dan kisah inspirasinya pun terangkum dalam antologi Gilalova #2 bersama Gol A Gong (2010), E-Love Story (2011), Para Guru Kehidupan (2011), Fragmentasi Ciuman di Bawah Hujan (2012). Terpilih sebagai salah satu dari best Indonesian writers mystery and horror versi Universal Nikko dalam antologi Dua Sisi Susi (2011). Kisah hidupnya pun diterbitkan oleh Bentang Pustaka dalam kumpulan kisah inspirasi Berjalan Menembus Batas; bersama A. Fuadi (2012), buku ini terpilih sebagai nominasi kategori buku non fiksi terfavorit dan desain sampul buku non fiksi terfavorit di ajang Anugerah Pembaca Indonesia 2012, pengalaman menulisnya pun terekam dalam antologi A Cup Of Tea For Writer (2012); bersama Reda Gaudianmo, dkk yang diterbitkan Stiletto Book. Saat ini aktif di beberapa forum kepenulisan, di penyelesaian studi S1-nya di jurusan Teknik Industri Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, Setiawan C bekerja sebagai jurnalis dan editor lepas . Kunjungi blog pribadinya di www.setiawanchogah.blogspot.com, atau Twitter @setiawanchogah.