Oleh: Samuel Joseph & Labora Avrina Pakpahan*
SuaraKita.org – Suara Kita menggelar kegiatan bertajuk Partnership Building: Membangun Masa Depan – Kolaborasi Strategis untuk Advokasi Berkelanjutan. Kegiatan berlangsung selama dua hari, pada 24–25 Juni 2025 di Hotel Swiss-Bel Kalibata, Jakarta Selatan. Acara ini menghadirkan puluhan peserta dari berbagai organisasi masyarakat sipil, termasuk dari wilayah Lampung dan JABODETABEK, dengan fokus pada penguatan jejaring dan advokasi isu keragaman gender dan seksualitas.
Kegiatan yang mendapat dukungan dari Global Affairs Canada (GAC) dan APCOM Bangkok ini dibuka secara resmi oleh Direktur Suara Kita, Bambang Prayudi. Dalam sambutannya, ia menekankan pentingnya membangun kolaborasi yang solid antarorganisasi untuk menciptakan ruang yang setara dan berkelanjutan bagi komunitas marjinal.
Penguatan Kapasitas Organisasi Sipil
Sesi pertama menghadirkan pembicara Sawitri yang memaparkan struktur dan jenis pengorganisasian. Ia menjelaskan perbedaan organisasi berbadan hukum dan tidak berbadan hukum serta mengajak peserta untuk mengidentifikasi sumber daya internal seperti jaringan, pendanaan, dan SDM. Materi dilanjutkan dengan pengenalan teori Tuckman tentang pengembangan tim kerja serta konsep komunikasi efektif menurut Stewart L. Tubbs & Sylvia Moss.
Dalam sesi lanjutan, Carlo menyoroti lima elemen fundamental dalam organisasi: kepemimpinan, tujuan, strategi, jejaring, dan partisipasi. Ia menekankan bahwa keberhasilan organisasi bertumpu pada kepemimpinan yang visioner dan keterlibatan aktif seluruh anggota.
Sesi hari pertama ditutup oleh Veronica, anggota Suara Kita yang bergerak di bidang hukum. Ia menjelaskan bahwa advokasi harus memiliki sasaran dan strategi yang terukur dan realistis, serta menyesuaikan dengan kapasitas dan akses yang dimiliki organisasi.
Simulasi Kasus dan Isu Kesejahteraan Organisasi
Pada hari kedua, peserta dibagi ke dalam kelompok untuk menyusun dan menampilkan simulasi kasus nyata yang pernah terjadi, seperti kekerasan terhadap transpuan, penangkapan pelajar karena narkoba, dan kasus kekerasan seksual di Lampung. Veronica memberikan penjelasan hukum terkait masing-masing kasus, dengan penekanan pada kronologi, fakta hukum, dan peraturan yang berlaku.
Diskusi berlanjut pada isu kesejahteraan kerja. Bambang Prayudi membuka percakapan mengenai burnout yang dialami oleh para pekerja organisasi. Ia mendorong pentingnya ruang istirahat dan dukungan psikososial dalam menjaga keberlanjutan kerja advokasi.
Suara Peserta: Harapan akan Ruang Aman
Farhan, perwakilan dari Faith Indonesian Rescue Education (Fire INA), menyampaikan refleksi atas kegiatan ini. Fire INA merupakan organisasi yang fokus pada edukasi hak kesehatan seksual dan reproduksi bagi kelompok muda yang terpinggirkan. Ia menggarisbawahi pentingnya lintas-organisasi dalam advokasi, dan bagaimana nilai dari lembaga lain dapat memperkuat pendekatan di organisasinya.
Data Community Led Monitoring (CLM) menunjukkan penurunan kasus diskriminasi terhadap kelompok ragam gender dan seksualitas di Bogor dari 2021 hingga 2024. Meski tidak berfokus pada bidang hukum, Fire INA turut menangani laporan hukum melalui kerja sama dengan LSM lain dan pembentukan grup District Fosfor (DTF).
Farhan berharap komunitas ragam gender dan seksualitas memiliki ruang aman, baik secara online maupun offline, untuk memenuhi kebutuhan edukasi, kesehatan, dan ekspresi diri. Fire INA, menurutnya, berkomitmen untuk menjadi wadah awal yang inklusif bagi komunitas tersebut.
*Para Penulis adalah mahasiswa STFT Jakarta yang tengah menjalani program Social Immersion di Suara Kita.