Diskusi Kritis Terbatas Suara Kita: Membongkar Stigma, Menggugat Norma, Menyalakan Empati

SuaraKita.org – Seperti tahun-tahun sebelumnya, Suara Kita kembali menggelar serangkaian Diskusi Kritis Terbatas (DKT) bersama empat mahasiswa dari program Social Immersion 2025 secara bergiliran pada tanggal 8, 11, 15, dan 18 Juli 2025, yang menyuguhkan ruang reflektif yang menyentuh lapisan terdalam persoalan stigma, gender, seksualitas, dan ketidakadilan sosial. 4 Mahasiswa ini berasal dari Sekolah Tinggi Filsafat Teologi (STFT) Jakarta dan Universitas Kristen Duta Wacana (UKDW) Yogyakarta. Lewat pembacaan kritis terhadap empat karya pemikiran, peserta diajak mengkaji ulang bagaimana masyarakat memproduksi dan mempertahankan norma-norma yang menindas. Berikut sorotan dari keempat sesi yang berlangsung sepanjang Juli 2025.

Second Sex: Melampaui Kodrat dan Kekuasaan Seksualitas
Pemateri: Labora Avrina Pakpahan | Moderator: Jaqline Jeannette Theresia Hellena Layratu

Dalam DKT pertama, gagasan Simone de Beauvoir dari Second Sex menjadi pemantik pembahasan tentang identitas lesbian, maskulinitas perempuan, dan resistensi terhadap dominasi laki-laki. Diskusi menyoroti bagaimana stigma terhadap perempuan maskulin dan lesbian terus dijaga lewat narasi medis, psikoanalisis, dan norma heteronormatif. Beauvoir mengajak untuk melihat seksualitas sebagai kompleksitas yang tak bisa direduksi pada pengalaman traumatis semata. DKT ini mempertegas bahwa lesbian bukanlah penyimpangan, melainkan ekspresi kebebasan terhadap tubuh dan relasi yang setara.

Menguak Stigma ODHA: Narasi Pontianak dan Harapan Baru
Pemateri: Polma Parulian Simare Mare | Moderator: Samuel Joseph

Diskusi kedua membedah buku Menguak Stigma ODHA: Fenomena Pontianak karya Nikodemus Niko. Dengan pendekatan etnografis dan keberpihakan lokal, pemateri menyoroti bagaimana stigma terhadap Orang dengan HIV/AIDS (ODHA) tumbuh subur dari moralitas keliru, minimnya edukasi seksual, serta institusi sosial yang justru memperkuat diskriminasi. Narasi ODHA dibingkai sebagai perjuangan eksistensial yang berlapis, apalagi ketika identitas lain seperti gender, kelas, atau agama turut memperparah penindasan. Forum menyepakati pentingnya pendekatan humanis dan interseksional dalam membongkar stigma dan merebut kembali martabat ODHA.

Kritik Sastra Feminis: Membaca Dunia dari Sudut Perempuan
Pemateri: Samuel Joseph | Moderator: Polma Parulian Simare Mare

DKT ketiga membahas pembacaan Kritik Sastra Feminis karya Suharto Sugihastuti, peserta diajak melihat bagaimana representasi perempuan dalam sastra kerap dimiskinkan menjadi tokoh pasif atau pelengkap. Kisah-kisah seperti Cinderella dan Mulan dibedah secara reflektif, mempertanyakan kenapa tokoh perempuan sering kali menunggu diselamatkan dan dihukum jika keluar dari norma. Forum menyoroti ironi bahwa bahkan penulis perempuan belum tentu memiliki perspektif feminis jika tetap menulis dari sudut patriarki. Diskusi juga mengangkat perlunya membangun ruang kolaboratif antara perempuan dan laki-laki untuk membentuk narasi yang lebih adil.

Gender Trouble: Menantang Norma, Merayakan Fluiditas Identitas
Pemateri: Jaqline Jeannette Theresia Hellena Layratu | Moderator: Labora Avrina Pakpahan

Diskusi pamungkas mengangkat Gender Trouble karya Judith Butler—sebuah karya monumental yang membongkar esensi gender sebagai konstruksi sosial yang performatif. Dengan mengurai konsep “heterosexual matrix” dan kritik terhadap feminisme esensialis, forum membuka diskusi tentang bagaimana identitas gender bisa dinegosiasikan dan dipentaskan ulang. Butler tidak menawarkan solusi instan, tapi justru menghidupkan ruang untuk perlawanan melalui praktik sehari-hari seperti drag, identitas queer, dan narasi alternatif. Sesi ini menjadi pelecut untuk melihat gender sebagai lahan perjuangan yang cair dan membebaskan.

Keempat sesi Diskusi Kritis Terbatas Suara Kita bukan sekadar kegiatan akademik, melainkan sebuah laboratorium pemikiran transformatif yang menghidupkan empati dan memperluas ruang perlawanan terhadap norma-norma yang menindas. Melalui analisis teks, refleksi pengalaman hidup, dan pertukaran perspektif lintas disiplin, mahasiswa program Social Immersion tidak hanya membaca buku tetapi menggugat sistem—menantang konstruksi sosial yang melanggengkan stigma, subordinasi gender, dan ketidaksetaraan.

Dari angka ODHA Pontianak hingga tubuh queer dalam pemikiran Butler, seluruh rangkaian diskusi menegaskan pentingnya pendekatan interseksional dalam memahami marginalisasi. ODHA, perempuan, lesbian, dan individu gender non-biner bukanlah figur pinggiran dalam narasi sosial—mereka adalah pemantik perubahan dan pusat dari perjuangan keadilan. Kehadiran kritik sastra feminis dalam diskusi ini juga membuka jalan bagi pembacaan ulang budaya populer dan narasi keseharian yang selama ini mendiamkan suara perempuan.

Bahkan ketika teori-teori besar seperti performativitas atau dekonstruksi identitas terasa abstrak, forum DKT berhasil menerjemahkannya menjadi wacana yang membumi, relevan dengan konteks akar rumput dan advokasi komunitas. Diskusi tidak berhenti pada apa yang salah, tetapi mengarah pada kemungkinan baru—bagaimana membangun aliansi, membalik stigma menjadi kekuatan, dan merayakan keberagaman sebagai sumber solidaritas.

Melalui kegiatan DKT ini, Suara Kita berharap bahwa generasi baru tidak hanya siap membaca masa depan, tapi juga menuliskannya sendiri. DKT kali ini menjadi panggung pembelajaran kolektif, tempat di mana teori bertemu realitas, dan perubahan tidak hanya dibicarakan, tapi mulai diperjuangkan. (ESA)