Oleh: Khoirul A*
SuaraKita.org – Berbicara soal pentingnya Pride Month bagi kelompok Ragam Gender dan Seksual di Indonesia, Suara Kita telah terhubung dengan Ade Kusumaningrum, salah satu tokoh aktivis Ragam Gender dan Seksualitas yang sudah malang melintang dalam memperjuangkan hak-hak Ragam Gender dan Seksualitas untuk berkumpul bersama dan memperoleh perlindungan hukum.
Ade bersama teman-temannya mendirikan Lesbian Indonesia Forum yang dulu aktif di Yahoo. Bahkan, komunitasnya tersebut sering mengadakan private party untuk merayakan Pride Month. Mereka berkumpul untuk menikmati acara BBQ dan merayakan kehidupan serta menjadi wadah yang aman bagi teman-teman lesbian untuk menjadi dirinya sendiri.
“Kalau dulu saya merayakan dengan buat acara dengan teman-teman seperti BBQ-an di rumah. Justru, dulu banget, kita bikin Private Lesbian Party. Dulu pasanganku sempat bikin semacam thread di Yahoo. Lesbian Indonesia Forum jadi sebuah safe space yang aman. Jadi awalnya pasanganku dulu bikin ama temannya. Heboh sampai ada penarinya,” tuturnya saat diwawancarai Suara Kita.
Meski kini Ade tidak lagi aktif merayakan Pride Month bersama teman-teman seperti dulu dengan alasan kesehatannya dan anak, namun baginya, Pride Month tetap menjadi sebuah event yang sangat penting untuk dilakukan kawan-kawan Ragam Gender dan Seksualitas.
Menurutnya, Pride Month merupakan momentum bagi Ragam Gender dan Seksualitas untuk memperjuangkan perlindungan hukum. Mencintai seseorang memang ranah privasi, namun dalam kehidupan bermasyarakat, kita masih membutuhkan kepastian dari perlindungan hukum. Tanpa adanya kepastian ini, maka akan sangat susah. Merayakan Pride Month adalah membagikan kesadaran akan hak-hak asasi dari Ragam Gender dan Seksualitas.
“Pride Month itu penting banget. Karena dari awal aku menerima diriku, adalah karena aku membaca. Aku membaca tentang Stonewall, itu kan benar-benar akarnya Pride Month. Di situlah perjalananku dimulai. Berdasarkan sejarah di Stonewall, supaya orang tidak sembarangan melecehkan, merendahkan. Dalam film If These Walls Could Talk 2, kisah-kisah Lesbian di Amerika, ada pasangan lesbian yang hidup lama sampai tua, tiba-tiba pasangan meninggal, yang hidup keluar pakai keresek doang karena rumah yang dibeli atas nama yang meninggal. Hubungan kita mencintai siapa dengan siapa sangat pribadi. Tapi kaitannya jika hidup bersama, kan dengan hukum. Pasangan kita ingin dioperasi saja kita tidak punya hak. Kalau tidak punya anak, ponakan? Padahal ponakan saja tahu kita hidup atau enggak. Pride Month adalah kesadaran tentang human rights.”
Ade menambahkan, Pride Month yang berakar dari Stonewall di Amerika memiliki suatu masalah yang sama seperti di Indonesia, yakni kepastian hukum. Ia menjelaskan bahwa menurutnya, Eropa yang punya karakter individualisme yang kuat tidak punya tradisi pergerakan dan perjuangan seperti Stonewall di Amerika. Hal ini karena Eropa sudah begitu mapan perlindungan hukumnya. Bahkan seseorang bisa saja mewariskan hartanya kepada binatang peliharaan. Dengan demikian, ada celah bagi Ragam Gender dan Seksualitas di Eropa untuk lebih dapat perlindungan hukum daripada di Amerika saat itu.
“Dari sejarah aku juga belajar bahwa itu fenomena yang terjadi di Amerika, di Eropa tidak karena sangat individualis. Belanda negara pertama yang recognize same sex marriage. Aku juga belajar, karena dulunya aku ambil Sastra Perancis, Perancis pun tidak gimana-gimana soal isu Ragam Gender dan Seksual. Karena di Perancis bahkan orang bisa mewariskan hartanya ke anjing. Urusannya kan legal.”
Selain momentum untuk memperjuangkan perlindungan hukum, bagi Ade, Pride Month juga merupakan wadah bagi teman-teman Ragam Gender dan Seksualitas baik yang sudah coming out maupun belum untuk mengekspresikan diri. Baginya yang terpenting adalah penerimaan diri sendiri. Kedua hal ini hanya bisa dilakukan jika seseorang punya keberanian.
“Paling penting dari Pride Month kan sebenarnya kita coming out atau in. Kita bisa gak come out ke keluarga, tapi di Pride Month, kita bisa come out di public space misal dengan memakai mask. Yang terpenting come out to yourself, dan accept yourself. Jika tidak melakukan dua hal ini, hidupmu akan berantakan karena kamu akan pusing dan ribet bahkan kena mental health issue karena kamu terlalu peduli pada pendapat orang. Untuk melakukan kedua hal itu, butuh courage, Oleh karena itu, have a courage.”
Ade juga menambahkan, penting bagi seseorang untuk menerima diri sendiri. Karena jika kita sudah menerima diri sendiri, maka kita akan dipertemukan dengan teman-teman yang sefrekuensi dan satu frekuensi dengan diri kita. Hal ini akan mempermudah kita dalam menjalani hidup dan menyadari bahwa kita tidak pernah sendirian.
“Ketika kamu come out, kamu bisa kenal dengan komunitas yang satu vibrasi. Kamu bisa menemukan orang-orang yang satu frekuensi.”
Dalam perjalanannya selama ini, Ade juga mengaku tidak pernah mendapatkan pengalaman buruk saat merayakan Pride Month. Hal ini karena mereka yang datang dalam private party selalu merupakan teman-teman yang direkomendasikan oleh teman-teman lainnya. Hal ini menjadi filter keamanan sosial tersendiri sehingga mereka yang berkumpul tetap merasa aman dan nyaman.
Selain itu, dalam menjawab kritik terhadap Pride Month yang sering dipandang sebagai kegiatan vulgar, Ade pun dengan tegas menjawab bahwa tidak ada yang masalah dengan ekspresi tersebut. Baginya, yang sering mempermasalahkan kegiatan Pride Month adalah cis-hetero yang memiliki rasa ketakutan irasional terhadap orang-orang yang sudah menerima dirinya sendiri.
“Vulgar itu di mata siapa? Itu kan di mata cis-hetero. Itu kan hanya ekspresi. Pride Month biasanya yang sangat ekspresif kan teman-teman transpuan. Yang terganggu cis-hetero. Atau teman gay, yang memamerkan lekuk tubuh. Sedangkan yang lesbian, ada tapi jarang. Cuma yang terganggu kan cis-hetero yang takut. Itu ekspresi orang, tidak masalah.”
Oleh karena itu, merayakan Pride Month merupakan hal yang penting untuk dilakukan dan kita tidak perlu takut menjadi diri kita sendiri. Pada akhirnya, Pride Month menyatukan semua kawan-kawan Ragam Gender dan Seksualitas yang satu rasa dan satu penanggungan untuk menuntut perlindungan hukum yang lebih baik, serta menginspirasi mereka yang masih takut menerima diri mereka sendiri untuk keluar dan merayakan kehidupan.
*Penulis adalah relawan jurnalis di Suara Kita. Penulis pernah berkontribusi konten di Pelangi Dharma dan Yayasan Rumah Jahe.