Search
Close this search box.
enid

Gema Suara di Simpang Jalan

Oleh: Isti Toq’ah*

SuaraKita.org – Langit Jakarta pagi itu, 1 Mei 2025, sedikit mendung. Seolah ikut merasakan beban di pundak banyak orang yang bergegas memulai hari. Bagi Bintang, hari ini terasa ganjil. Di satu sisi, ada semangat samar Hari Buruh yang terasa di udara, poster-poster ajakan aksi terpasang di beberapa sudut jalan yang ia lewati menuju kantor agensi digital tempatnya bekerja. Di sisi lain, ada kecemasan personal yang menggantung. Kontrak kerjanya akan segera berakhir, dan bisik-bisik “efisiensi” di kantor yang seolah latah dengan tren yang beredar belakangan di kalangan pemerintah juga tidak disangka akan sampai ke tempatnya mencari nafkah. Ia pun bertanya-tanya, akankah identitasnya sebagai seorang transpuan kembali menjadi “faktor penyulit” yang tak terucapkan?

Bintang menyukai pekerjaannya sebagai desainer grafis. Rekan-rekannya kebanyakan cukup ramah di permukaan, tetapi ia sering menangkap tatapan ganjil mendengar namanya disebut dengan kata ganti yang salah di belakang dirinya, atau bahkan diabaikan dalam obrolan santai di pantry saat makan siang. Tak ada diskriminasi terang-terangan memang, hanya lapisan tipis ketidaknyamanan yang membuatnya selalu waspada dan berjaga-jaga. Seolah-olah menanti badai atau topan yang tak tahu kapan pun bisa menerjang. “Hak buruh itu untuk semua, kan?” Gumamnya getir sambil menatap spanduk merah di seberang jalan. “Tetapi kata ‘semua’ itu kadang terasa punya banyak sekali syarat.”

Di belahan Jakarta yang lain, Reza menatap layar komputernya di kantor firma hukum yang cukup konservatif. Email pengingat libur Hari Buruh masuk, disusul ajakan informal dari beberapa rekan senior untuk ‘turun ke jalan’ nanti siang. Lebih sebagai formalitas ikut keramaian daripada benar-benar bentuk solidaritas sungguhan dari hati, pikir Reza. Ia tersenyum tipis. Bagaimana ia bisa ikut berteriak tentang hak pekerja, jika ia bahkan tak berani meletakkan foto kekasihnya, sesama laki-laki, di atas meja kerjanya? Bagaimana ia bisa bicara solidaritas, jika setiap hari ia harus menyunting sebagian dirinya agar bisa ‘diterima’. Ya, ‘sekadar diterima’?

Sore harinya, secara tidak sengaja, Bintang dan Reza bertemu di sebuah kafe dekat kawasan Sudirman, tempat beberapa kelompok massa aksi buruh baru saja membubarkan diri. Mereka saling kenal dari sebuah acara komunitas beberapa waktu lalu.

“Za, habis dari aksi, ya?” Tanya Bintang, melihat sedikit noda debu di kemeja ungu Reza.

Reza pun menggelengkan kepalanya sambil tersenyum kecut. “Ga, Bin. Gue Cuma lewat aja tadi. Rasanya aneh, sih. Mereka itu kok bisa ya teriak-teriak soal upah, jaminan sosial. Of course, penting banget, gue juga sepakat. But, aku merasa ada suara lain yang ga kedengeran atau bahkan mereka ga mau denger, Bin. Lu ngerasa, ga? Pasti sih, gue yakin.”

Bintang hanya mengangguk. Matanya menerawang sesaat, melewati bahu Reza, tertuju pada sebuah poster sederhana yang tertempel di dinding kafe itu. Kafe ini memang unik karena menjadi sanctuary dan safe space untuk orang-orang seperti Bintang dan Reza. Ada sebuah papan berwarna pink yang terbuat dari stirofoam yang didekasikan sebagai mading (majalah dinding) seperti di sekolah-sekolah. Di sana, biasanya ada pengumuman acara komunitas atau bahkan loker. Kali ini, ada poster. Poster itu sangat sederhana. Kertasnya dicetak biru pastel dengan kutipan berwarna putih tulang dengan wajah Paus Fransiskus yang baru saja berpulang tepat di hari Kartini lalu. “Za, Za, liat deh,” gumam Bintang sambil menunjuk ke arah poster.

Reza mengikuti arah telunjuk Bintang. Terbaca jelas tulisan di bawah foto Paus Fransiskus: Who am I to judge?” (Siapalah saya untuk menghakimi?)

Reza terdiam sejenak, lalu mendengus pelan. Ada rasa yang aneh, campuran rasa getir dan geli sekaligus.

“Ironis, ya?” Sambung Bintang pelan, menarik kembali pandangannya ke Reza. “Sebuah pertanyaan dari pemimpin agama, tetapi rasanya prinsip itu sih susah banget ditemuin di tempat kerja kita, ga sih? “Siapa aku untuk menghakimi?” …. Padahal kita nih tiap hari merasa banget dihakimi hanya karena berbeda. Bahkan, ga usah diucap, dari cara mereka mandang kita aja beda banget.”

Kegetiran dalam suara Bintang terasa begitu nyata. “Suara kita tuh memang ga kedengeran sama sekali di sana tadi, Za. Makanya gue males banget ikut,” lanjutnya dengan nada sedikit lebih tegas. “Suara orang-orang yang takut banget dipecat bukan karena kinerjanya jelek, tetapi karena siapa dirinya, siapa yang dicintainya. Suara orang yang dilecehkan di kantor tetapi bingung mau lapor ke mana karena ga ada aturan jelas yang ngelindungin kita. Bahkan, mereka ngerasa harus melindungi diri dari kita. Emang kita nyerang mereka?”

Mereka terdiam lagi, namun keheningan kali ini terasa lebih berisi, dipenuhi pemahaman bersama yang baru saja diperkuat oleh kutipan tak terduga di dinding itu. Suara bising lalu lintas sore seolah menjadi saksi bisu percakapan mereka.

“Gue tadi pagi mikir gini,” Bintang memulai lagi, memecah keheningan. “Kontrak gue kan mau habis. Gue tau kerjaku sih so far bagus-bagus aja, tetapi selalu aja ada rasa was-was ini. Apa mereka akan pakai alasan ‘budaya kerja’ atau ‘chemistry inside the team’ untuk ga perpanpanjang. Padahal, intinya karena gue trans?”

Reza menatap Bintang dengan empati. “Gue ngerti perasaan lu. Di tempat gue, promosi terakhir kemarin, gue ga diajuin. Ga ada alasan jelas, tetapi gue tahu. Gue paham banget. Gosip tentang gue dan cowok gue udah nyebar banget di kantor.”

Obrolan terus mengalir. Bertukar cerita tentang mikroagresi, tatapan menghakimi, kesulitan mengakses toilet yang aman bagi Bintang, hingga tekanan untuk ‘tampil normal’ yang dirasakan Reza. Mereka menyadari, meski detailnya berbeda, inti masalahnya cukup serupa. Tempat kerja yang belum sepenuhnya aman dan adil bagi mereka yang gender atau orientasi seksualnya tak sesuai ‘standar’ mayoritas.

“Jadi…,” kata Bintang setelah hening sejenak, matanya menatap keramaian jalanan yang mulai menyala oleh lampu. “Perjuangan kita ini bagian dari perjuangan buruh juga kan, Za? Bukan sesuatu yang beda apalagi separated, kan, Za?”

Reza mengangguk pelan, kali ini ada keyakinan di matanya. “Iya, Bin. Of course! 100%! Hak untuk bisa kerja tanpa kena diskriminasi. Hak untuk ngerasa aman dan dihargai juga direspek di tempat kerja itu hak buruh. Hak pekerja yang paling basic. Foundation, I must say. Dan… Lu harus tahu, Bin. Itu juga hak kita.”

Di tengah riuh rendah sisa-sisa gema aksi May Day, sebuah kesadaran baru tumbuh di antara mereka. Perjuangan mereka bukan hanya tentang identitas, tetapi juga tentang keadilan ekonomi dan martabat di ruang kerja. Suara mereka mungkin lirih jika sendiri-sendiri. Teredam oleh bisingnya tuntutan yang lebih ‘umum’.

“Kita ga sendirian, kan, Bin?” Tanya Reza, lebih sebagai penegasan daripada pertanyaan.

“Ga sama sekali, Za,” jawab Bintang, senyum tipis terukir di bibirnya. “Ada banyak ‘kita’ di luar sana, Za. Mungkin kita cuman perlu saling mengutamakan satu sama lain, saling nguatin. Bikin gema buat suara kita kedengeran lebih keras, Za.”

Mereka menghabiskan cappuccino dalam keheningan yang nyaman. Beban di pundak terasa sedikit lebih ringan. Jalan pulang mungkin masih sama, tantangan di tempat kerja juga pastinya belum hilang dalam sekejap mata. Namun sore itu, di simpang jalan Jakarta, di bawah langit yang mulai menggelap setelah peringatan Hari Buruh, Bintang dan Reza menemukan sercercah harapan dalam solidaritas yang baru mereka sadari kekuatannya. Perjuangan memang masih panjang, tetapi mereka tidak lagi merasa berjalan sendirian.

 

Catatan:
Cerpen ini, aku dedikasikan untuk semua pekerja hebat, pejuang hebat dengan ragam gender dan seksualitas yang terus berjuang untuk hak dan martabatnya di tempat kerja mereka, di tempat mereka berkarya, di tempat mereka mencari sesuap nasi atau sepotong roti. Semoga semangat solidaritas May Day selalu menyertai langkah kita semua.

 

*Penulis berasal dari Balikpapan, Kaltim, namun kini berdomisili di sekitar Jakarta Selatan. Ia aktif di beberapa media sosial terutama Instagram: @buildingpeace dan LinkedIn: Isti Toq’ah.