Oleh: Nanda*
SuaraKita.org – Euforia perayaan Hari Buruh pada 1 Mei 2025 di sebagian besar daerah Indonesia kembali berlangsung secara sporadis. Ribuan buruh dari berbagai latar belakang turun dan menyesaki hampir seluruh ruas jalan, menggemakan berbagai tuntutan aktual hingga isu lama yang belum terealisasikan.
Namun, di tengah riuhnya demonstrasi tersebut, ada satu isu krusial yang nyaris tenggelam dari perhatian, yaitu hak atas ruang kerja yang aman, inklusif, dan ramah terhadap semua gender, utamanya buruh perempuan.
Dalam kobaran orasi dan lautan poster, tuntutan akan ruang kerja yang bebas dari kekerasan seksual, diskriminasi, dan eksploitasi tampak tak terlalu begitu banyak mencuat ke permukaan. Padahal, bagi jutaan buruh perempuan di Indonesia, ruang kerja tidak serta-merta soal penghasilan, melainkan juga perihal martabat, keselamatan, serta hak fundamental atas perlakuan yang manusiawi.
Catatan Komnas Perempuan 2023 mengungkapkan bahwa dari 1.956 bentuk kasus kekerasan di ranah publik, sekitar 57,6% atau 1.127 kasus merupakan kekerasan seksual termasuk di ekosistem ketenagakerjaan dan lembaga pendidikan. Senada dengan hal itu, Data Catatan Tahunan Kekerasan terhadap Perempuan (CATAHU) 2024 memperlihatkan bahwa kekerasan seksual terhadap perempuan pekerja masih menjadi persoalan kompleks yang memerlukan pembenahan dan sikap serius. Sepanjang tahun itu, tercatat sekitar 2.702 kasus yang menimpa perempuan di dunia kerja.
Sementara, survei Gajimu.com bersama serikat buruh di sektor tekstil, garmen, sepat dan kulit (TGSL) yang juga turut dimuat dalam CATAHU menunjukan temuan yang cukup mengkhawatirkan. Terdapat 1 dari 23 perempuan pekerja pernah mengalami pelecehan seksual di tempat kerja. Selain itu, sebanyak 52% perempuan tidak memperoleh hak atas cuti haid, sementara 22,6% lainnya tidak memperoleh upah penuh sepanjang cuti melahirkan. Berdasarkan data-data tersebut, ketidakadilan dalam pemenuhan hak-hak dasar buruh perempuan menjadi terungkap secara nyata.
Tak selesai sampai disitu, sebagian buruh perempuan juga mengalami kekerasan berbasis gender dalam bentuk diskriminasi upah dan pemutusan hubungan kerja (PHK) usai mereka menuntut hak-hak normatifnya. Data ini semakin mempertegas bahwa kekerasan terhadap perempuan di ruang kerja tidak semata berbentuk kekerasan fisik atau seksual, tetapi juga kekerasan struktural yang mengakar dalam sistem ketenagakerjaan yang timpang.
Menyikapi kondisi yang terjadi, euforia Hari Buruh semestinya menjadi momentum untuk menjangkau permasalahan yang lebih luas. Tidak hanya soal kesejahteraan ekonomi, tetapi juga soal jaminan rasa aman dan penghormatan terhadap hak asasi pekerja tanpa terkecuali.
Membongkar Akar Kekerasan Berbasis Gender di Ruang Kerja
Kekerasan berbasis gender di ruang kerja tidak lahir dari ruang hampa. Fenomena ini merupakan wujud dari berbagai faktor struktural, budaya, dan hukum yang saling berkelindan. Ketimpangan relasi kuasa antara laki-laki dan perempuan menjadi salah satu akar utama. Pasalnya, tak sedikit perusahaan yang disadari atau tidak mempertahankan struktur hierarkis maskulin. Pengambil keputusan didominasi laki-laki, sementara perempuan tidak dilibatkan bahkan kerap terperangkap dalam posisi subordinat.
Lebih riskan lagi, dalam sejumlah lingkungan kerja, candaan seksis, komentar merendahkan, atau stereotip berbasis gender masih dianggap kebiasaan yang wajar. Tanpa disadari, siklus budaya ini menciptakan iklim kerja yang tidak aman. Hal tersebut juga memaksa perempuan untuk beradaptasi agar tetap bertahan di dalam dunia kerja yang sarat tekanan.
Laporan Amnesty International Indonesia turut memperlihatkan dimensi lain dari persoalan ini. Di sejumlah negara, termasuk Indonesia, hak-hak perempuan kerap diabaikan berdasarkan orientasi seksual, identitas gender, atau karakteristik seks mereka. Kelompok LGBT, maupun mereka yang tidak mengonfirmasi norma gender, menghadapi beragam bentuk kekerasan, pengucilan, pelecehan hingga diskriminasi. Bentuk kekerasan ekstrim serupa “pemerkosaan korektif” masih terjadi, selain pelanggaran terhadap hak atas pendidikan, kesehatan dan kesejahteraan.
Dampak Ketiadaan Inklusivitas Ruang Kerja, Dimana Peran Negara?
Menurut Yayasan Pulih, kekerasan berbasis gender diakibatkan dari ketidakadilan gender dan penyalahgunaan kewenangan. Konstruksi sosial tentang peran gender turut andil dalam memengaruhi pola kekerasan, termasuk cara publik menanggapinya. Dengan iklim seperti ini, setiap orang dapat menjadi korban, termasuk laki-laki dan kelompok minoritas seksual. Meski begitu, dalam realitasnya, perempuan dan kelompok LGBT tetap menjadi korban terbesar, utamanya dalam kasus kekerasan fisik maupun seksual.
Secara fisik, kekerasan berbasis gender dapat mengakibatkan luka serius bahkan berujung pada kematian. Selain itu, kekerasan seksual di tempat kerja juga berpeluang menimbulkan dampak kesehatan seperti penularan penyakit menular seksual, kehamilan yang tidak diinginkan, aborsi tidak aman, hingga keguguran.
Namun, dampak kekerasan berbasis gender tidak berhenti pada luka fisik. Trauma psikologis kerap membekas dalam diri korban. Kecemasan, depresi, gangguan stres pasca-trauma, hingga pikiran untuk menyakiti diri sendiri atau bunuh diri merupakan sejumlah resiko nyata yang dihadapi penyintas.
Selain beban personal, korban juga seringkali menghadapi konsekuensi sosial dan ekonomi. Stigma dari lingkungan sekitar, cancel culture, penolakan keluarga hingga pemaksaan untuk menikah dengan pelaku kekerasan semakin memperparah penderitaan yang dialami korban.
Dalam lanskap institusional, kekerasan di ruang kerja juga berdampak pada menurunnya moral karyawan, terciptanya iklim kerja yang toxic, dan memperkeruh reputasi perusahaan. Akibatnya, ketika perusahaan gagal menangani kasus kekerasan secara serius, mereka akan beresiko kehilangan tenaga kerja berkualitas, menghadapi tekanan dari publik, hingga berkonsekuensi hukum. Dalam jangka panjang, ketidakamanan di ruang kerja memperluas ketimpangan gender, menghambat partisipasi perempuan secara penuh dalam kehidupan ekonomi dan sosial.
Dalam konteks ini, negara memikul tanggung jawab konstitusional untuk melindungi seluruh warga negara tanpa terkecuali. Mulai dari segala bentuk kekerasan, baik yang terjadi di ruang publik, di ruang kerja, hingga dalam lingkup domestik. Perlindungan hukum yang efektif, sistem dukungan yang berpihak pada korban, serta akses literasi yang demokrasi bagi publik dalam mendorong kesetaraan gender menjadi prasyarat absolut untuk memutus siklus kekerasan ini.
Bagaimanapun, kekerasan terhadap perempuan bukanlah persoalan sektoral yang mampu diselesaikan hanya dengan solusi parsial. Ia mendesak perubahan struktural yang melibatkan semua elemen mulai dari institusi negara, perusahaan swasta, lembaga swadaya masyarakat hingga publik luas. Dengan memperkuat perlindungan hukum, membangun budaya kerja yang demokratis dan inklusif, serta membangun kesadaran kolektif, kita dapat menciptakan ruang kerja yang menghormati martabat setiap individu.
Dengan demikian, euforia Hari Buruh yang dirayakan saat ini hendaknya dibarengi dengan sebuah refleksi. Perjuangan buruh sejati adalah perjuangan yang tidak meninggalkan satupun pihak di belakang, terutama bagi mereka yang selama ini termarjinalkan, dan suaranya yang kerap pudar dan tak terdengar oleh kekuasaan.
*Penulis adalah Advokat Intern, berdomisili di Tasikmalaya, Kontributor Politik dan Kebijakan Publik di media massa, Kolumnis di Hukum Online dan Kompas.com.