Search
Close this search box.
enid

Pentingnya Membangun Ruang Aman dalam Hubungan, di Tengah Hiruk Pikuk Pekerjaan

Oleh: Lena Tama*

SuaraKita.org – Baik atau buruknya budaya lingkungan kerja memengaruhi produktivitas dan kesehatan mental tiap individu, serta kehidupan berpasangan. Hal ini sangat terasa bagi kawan-kawan ragam gender & seksual yang rentan terhadap stigma dan diskriminasi di tempat kerja karena identitasnya.

Sekalipun salah satu pihak memiliki pekerjaan dengan lingkungan yang sehat dan inklusif, hal yang sama belum tentu berlaku bagi pihak lainnya dalam sebuah hubungan. Oleh karena itu, membangun ruang aman dalam sebuah hubungan di tengah hiruk pikuk dunia kerja profesional sangat penting. Hal itu bertujuan menjaga kesehatan mental satu sama lain dan kelanggengan hubungan.

Okarun (nama samaran), sosok transman berusia 31 tahun yang bekerja untuk bagian Departemen Keuangan di sebuah lembaga di Jakarta sejak tahun 2024 sangat memahami hal ini. Bersama pasangannya, Momo (nama samaran) yang bekerja sebagai guru di sektor informal, keduanya membangun ruang aman dalam menjalin hubungan sejak 2015 hingga saat ini. Dengan begitu, mereka pun dapat melalui berbagai liku kehidupan, termasuk beban profesional dan budaya kerja yang beragam.

Saat ini Okarun dan Momo menjalin hubungan jarak jauh karena lokasi pekerjaan mereka yang berbeda. Meskipun sedang terpisah jarak, keduanya tetap saling terhubung dengan selalu bercerita lewat telepon maupun pesan singkat terkait kehidupan serta kondisi pekerjaan mereka.

“Kami juga suka cari kesempatan untuk bisa bertemu langsung. Karena terkadang ada hal yang kami bisa lebih sampaikan pada satu sama lain saat bertatapan empat mata,” ucap Okarun.

Tekanan besar di lingkungan kerja yang heteronormatif, patriarki, dan diskriminatif
Momo bekerja di lingkungan kerja yang sangat kental dengan budaya patriarki, heteronormatif, dan diskriminatif. Meski banyak rekan kerjanya yang perempuan, mayoritas pekerja di sana memiliki internalisasi pandangan patriarki, konservatif, dan diskriminatif terhadap kawan-kawan minoritas.

Akibatnya, Momo kerap menerima atau mendengarkan obrolan maupun candaan seksis, porno, dan diskriminatif dari pengajar perempuan maupun laki-laki yang menyinggung dirinya, perempuan secara umum, ataupun orang lain di luar tempat kerja.

Okarun bercerita, “Momo pernah ngobrol dengan salah satu rekan pengajar yang menasihati tentang peran-peran perempuan yang harus sesuai dengan norma tradisional. Lalu, Momo jadi kesal dan murung.”

“Jiwa aktivisme Momo kuat banget. Dia tidak menoleransi nilai-nilai patriarki, heteronormatif, dan diskriminatif di mana pun. Makanya, dia sering kena tekanan berat ketika mengajar. Dan itu mengganggu kesehatan mentalnya,” lanjut Okarun.

Karena memiliki latar belakang di manajemen pariwisata, Okarun pernah bekerja di industri makanan & minuman selama beberapa tahun. Saat itu, ia pun mendapatkan pengalaman yang serupa dengan Momo.

Ia mendapati banyak pekerja laki-laki cisgender hetero di industri tersebut. Hal tersebut mengakibatkan maraknya gunjingan yang diskriminatif dan tanpa validasi terhadap kawan-kawan minoritas.

Pada satu kesempatan, Okarun bekerja di sebuah kafe yang didominasi oleh pegawai laki-laki Sunda dan Muslim. Karena identitas dirinya dan ditambah perbedaan lain antara dirinya dengan rekan kerja lain, ia sempat mendapat gunjingan dan sindiran berbentuk candaan.

“Ada satu gosip yang aneh di kafe itu. Teman-teman kerja laki-laki berasumsi aku sudah menikah dengan janda satu anak. Kalau bukan karena satu rekan kerja perempuan yang memberi tahu, aku mungkin tidak bakal tahu sama sekali. Mereka bahkan tidak tanya ke aku langsung tentang status hubunganku!” Kisah Okarun.

“Di satu sisi, aku ketawa karena gosipnya kacau banget dan aku merasa itu menjadi bukti bahwa identitasku sudah membaur dengan kawan-kawan laki-laki lainnya, alias ‘cis-passing.’ tetapi di sisi lain, aku heran kenapa mereka berasumsi seperti itu tanpa mengenal diriku,” lanjutnya.

Peran kuat kawan-kawan sekutu dalam membangun ruang aman di tempat kerja
Kini, Okarun bekerja di sebuah lembaga yang bergerak di isu anak & perempuan dengan jumlah pegawai 70% di antaranya adalah perempuan. Meski tidak banyak rekan kerja yang mengetahui identitasnya, kawan-kawan di departemen yang sama cenderung sangat menerima identitas dirinya sebagai transman.

Selain itu, Okarun tidak sendirian sebagai pekerja ragam gender & seksual di lembaga tersebut. Ada kawan-kawan gay, lesbian, dan non-biner yang bekerja sekantor dengannya, walaupun masing-masing hanya satu orang.

Terkait hal tersebut, Okarun berpendapat, “Ada pesimisme dalam batinku yang ragu apakah ini tokenisme saja atau bukan, karena kawan-kawan ragam gender & seksual di tempat kerja itu representasinya hanya satu-satu saja dan kawan trans di lembaga itu baru aku sendirian.”

“Tetapi lembaga ini juga sedang mencari pekerja transpuan. Lalu, selama mereka memberdayakan individu ragam gender & seksual tanpa membeda-bedakan, harusnya tidak masalah,” lanjutnya.

Terlebih, lembaga ini juga lebih peka terhadap identitas masing-masing pegawai. Selain kerap bertanya tentang penyebutan nama atau kata ganti yang tepat untuk kawan-kawan transgender maupun non-biner dan lainnya, mereka juga berusaha agar bisa mengakui keberadaan kawan-kawan ragam gender & seksual dari segi pemenuhan hak mereka. 

“Pernah ada diskusi dengan atasan di divisi Gender Lead. Beliau mengusahakan supaya kawan-kawan homoseksual dan/atau transgender bisa mendapat tunjangan dan hak yang setara dengan kawan-kawan cisgender hetero yang sudah menikah, terlepas apakah mereka sudah menjalin hubungan atau belum,” kisah Okarun.

Hal ini memberikan harapan yang besar bagi Okarun. Ia sadar bahwa harapan, dukungan, dan bukti nyata seperti ini muncul bukan hanya dari kawan-kawan ragam gender & seksual saja, namun dari kawan-kawan sekutu cisgender hetero juga.

Okarun mengatakan, “Kawan-kawan ragam gender & seksual tidak bisa menuntut banyak di tengah kondisi masyarakat seperti saat ini. Kami hanya berharap hal-hal paling dasar seperti bisa mendapat pekerjaan, bisa libur, dan punya gaji standar UMR. Karena itu, aksi lebih seperti ini juga butuh dukungan dari kawan-kawan sekutu yang bisa lebih bebas menciptakan kebijakan-kebijakan.”

Kuatkan ruang aman dalam hubungan dan di lingkungan kerja
Okarun dan Momo menciptakan ruang aman dalam hubungan mereka dengan harapan masing-masing dari mereka memiliki kuasa atas diri mereka dan setara tanpa adanya ketimpangan kuasa. Dengan begitu, selain bisa berbagi keluh kesah demi menjaga kesehatan mental, mereka dapat menguatkan nilai-nilai ini ketika terjun ke dunia kerja.

Ia melanjutkan, “Terkadang masih ada internalisasi nilai-nilai patriarki di dalam benak kita karena lingkungan tempat kita dibesarkan maupun di tempat kerja. Kami tidak mau hal itu terjadi, maka kami berharap bisa berdaya dan saling menguatkan satu sama lain.”

Selain itu, besar harapan mereka agar ruang kerja yang aman dan inklusif semakin meluas di Indonesia. Berkaca dari lingkungan kerjanya secara pribadi, Okarun menaruh banyak harapan kepada kawan-kawan sekutu agar bisa mendorong kebijakan serta budaya kerja yang lebih aman dan inklusif untuk kawan-kawan ragam gender & seksual.

“Di bulan pertama sampai ketiga, para pemberi kerja mungkin akan canggung dengan kawan-kawan komunitas karena banyak yang belum terlalu berpengalaman bekerja di sektor formal, mengingat latar belakang kawan-kawan dan identitas mereka. tetapi, selama kawan-kawan punya inisiatif untuk tumbuh dan para pekerja memberi kesempatan untuk menumbuhkannya juga, aku percaya kami bisa berdaya,” ujar Okarun.

“Karena itu, beri kami kesempatan yang setara untuk tumbuh.”

 

*Penulis adalah seorang penerjemah dan penulis lepas dari tahun 2016, Lena mulai mendalami dunia jurnalistik pada tahun 2020 bersama The Jakarta Post. Selain menulis, ia juga terlibat dalam pelatihan keamanan sosial dan pergerakan aktivisme untuk komunitas LGBTQ