Oleh: Wisesa Wirayuda*
SuaraKita.org – Beberapa hari yang lalu, saya sempat membuat status Facebook yang kurang lebih isinya begini;
“Sebenernya, #kaburajadulu itu bisa dilakukan dengan versi yang lebih sederhana lho…
“Bisa dengan cara #kaburajadulu dari rumah/keluarga toxic yang tidak bisa menerima dirimu. Pindah dan ngekos aja sendiri di kota lain yang dekat dengan komunitas yang bisa menerima kehadiranmu. Tentunya jangan lupa bawa surat2 berharga, untuk proses cari kerja, ya.
“Kalau mau lebih politis lagi, kamu bisa #kaburajadulu dengan cara gak bayar pajak atau sekalian golput pada pemerintahan yang jelas2 gak bisa memenuhi hak kamu sebagai warga negaranya. Ekstrim sih memang bagi sebagain orang.
“Menurutku, #kaburajadulu itu bukan persoalan ke negara mana kamu akan pergi atau visa jenis apa yang kamu harus siapkan. Tapi lebih dari itu, hastag #kaburajadulu itu soal sikapmu atas pemenuhan hakmu sebagai warga negara.”
Status tersebut tentu dipicu oleh viralnya hastag #KaburAjaDulu di media sosial, apalagi melihat salah satu teman menjadi narasumber sebuah artikel. Selain itu, status di atas juga dibarengi dengan rasa lelah dan khawatir akan kondisi negara ini.
Kabur dari rumah, bagi kelompok Ragam Gender dan Seksualitas, bukan hal yang baru. Obrolan terkait negara mana yang lebih ramah terhadap Ragam Gender dan Seksualitas hingga bermacam-macam bentuk visa mana yang bisa dengan mudah diakses untuk bisa kabur dari negara ini. Atau obrolan seperti “mencari gadun bule” agar ia bisa membawa kita pergi dari sini. Atau juga kesempatan beasiswa mana yang bisa diambil agar bisa “sementara” pergi dari negara ini.
Obrolan-obrolan tersebut nampaknya menjadi lumrah dan, mungkin, lebih realistis untuk dilakukan ketimbang mengadvokasi hak diri di negara kelahiran. Namun pada akhirnya, tentu tidak semua bisa melakukannya. Saya akan mencoba mengemukakan beberapa kendalanya.
Akses Adminduk yang Tak Setara
Banyak individu dari Ragam Gender dan Seksualitas yang menjadi korban pengusiran dari rumah. Hal itu mengakibatkan terhambatnya akses adminduk, seperti sulit mengakses Kartu Keluarga, atau tidak adanya dokumen pendukung lainnya dalam pembuatan kartu identitas.
Sederhananya, KTP saja tidak ada, bagaimana caranya membuat paspor untuk bisa kabur ke luar negeri?
Tingkat Pendidikan Rendah
Pendidikan sepertinya masih menjadi barang mewah bagi sebagian warga negara Indonesia. Namun alih-alih dilakukannya penyempurnaan, pemerintah malah memotong anggaran Pendidikan kita.
Rintangan secara struktural seperti itu mengakibatkan tidak banyak individu dari Ragam Gender dan Seksualitas yang bisa mengakses Pendidikan tinggi, apalagi mengambil Pendidikan di luar negeri.
Skill Bekerja
Banyak pelaku #kaburajadulu menggunakan visa kerja agar bisa keluar dari Indonesia. Bagi Ragam Gender dan Seksualitas, memiliki skill bekerja menjadi cukup sulit bila dikaitkan dengan syarat Pendidikan saat proses pelamaran kerja. Akibatnya, tidak banyak yang memiliki skillset bekerja misalnya di Perusahaan-perusahaan atau kantoran.
Tiga alasan di atas barulah beberapa saja dari sekelumit permasalahaan soal keimigrasian yang menjadikan #kaburajadulu menjadi tidak terlalu praktikal bila tujuannya harus keluar dari Indonesia.
Selain membutuhkan biaya yang tak sedikit, untuk bisa kabur ke luar negeri kita membutuhkan juga belajar, minimal, berbahasa Inggris, itu pun harus dengan skor IELTS yang tinggi dan kemampuan berkomunikasi yang juga baik. Belum lagi jika kita bicara soal etos kerja dan bagaimana kita harus beradaptasi di lingkungan yang sangat asing dengan kita. Tantangan secara psikis juga muncul seperti bagaimana cara kita mengatasi rasa kesepian atau rasa rindu pada teman dan kerabat di Indonesia.
Tentu kita bisa mempelajari itu semua, namun kembali pada persoalan kelompok termajinalkan, tidak semudah itu untuk #kaburajadulu ketika kondisi diri pun sedang tidak baik-baik saja.
Persoalan-persoalan di atas akhirnya menginspirasi #kaburajadulu versi saya sendiri. Kabur dari keluarga yang toxic dan tak bisa menerima diri kita, apalagi kalau sudah mendapatkan kekerasan, tunggu apa lagi? Atau #kaburajadulu dari hubungan yang abusive, atau #kaburajadulu dari pekerjaan yang tidak memanusiakanmu.
Pilihan ada pada dirimu sendiri. Kalau kata RuPaul, “If you don’t love yourself, how in the hell you gonna love somebody else?”
Amen.
*Penulis pernah terlibat di beberapa buku terbitan Suara Kita. Penulis juga adalah kontributor di website Suarakita.org sejak 2013 hingga sekarang. Beberapa pelatihan jurnalistik yang pernah ia ikuti antara lain dari Suara Kita, Jurnal Perempuan, Tempo Institute, dan Wahid Foundation.