Oleh: Josua*
SuaraKita.org – Tuhan memang satu, tangan kita yang judgemental1. Begitulah sabda saya dalam sebuah tulisan sebelumnya mengenai generasi muda yang hidup di era ini. Generasi muda era ini adalah generasi yang sebenarnya tangguh dalam banyak hal. Namun, mereka menutupi kelebihan mereka dengan menonjolkan kekurangan mereka. Mari sebut hal ini sebagai “twister”—digunakan untuk mendistraksi lawan dan memenangkan pertempuran hidup— playing victim, kata mereka. Ini adalah masalah sekaligus nilai tambah.
Tulisan ini tidak bermaksud mencari cara agar masalah tersebut menjadi nilai tambah atau sebaliknya. Tetapi, seandainya memang ada hal absurd yang menjadi realita, itu berarti sudah ada sedari dahulu. Tujuan tulisan ini adalah menimbang kembali pengalaman masalah dan nilai tambah dalam kehidupan media sosial di era digital bagi para pekerja dalam bidang pendidikan. Fokus utamanya adalah para pendidik queer yang memberi edukasi tentang queerness dan/atau para pendidik yang memberikan edukasi tentang queerness di lingkungan pendidikan formal seperti perguruan tinggi dan non-formal dalam media sosial.
Era ini adalah era Homo sapiens yang sudah bertransformasi menjadi Homo digitalis. Rene Descartes— “Aku berpikir maka aku ada”—I think kini berubah menjadi I browse. Manusia berpikir lewat internet. Pada akhirnya, pemahaman tentang berpikir diganti menjadi ‘aku klik’. “Aku klik maka aku ada.” Manusia bukan hanya sekadar pengguna gawai. Ia kini hadir secara eksistensi melalui gawai.2 Manusia memanfaatkan teknologi sebagai tempat mereka berdiam— rumah nyaman untuk pulang.
Penggunaan gawai di Indonesia termasuk salah satu yang paling lama di dunia, dengan rata-rata waktu di atas enam jam per hari.3 Namun, data itu hanyalah data penggunaan. Jika ditanya, berapa lama manusia era ini bersama gawai mereka? Jawabnya adalah sepanjang hari. Artinya, sahabat sejati manusia saat ini adalah gawai mereka. Di mana pun tempatnya atau bersama siapa mereka, manusia akan selalu melihat gawai mereka. Sebuah notifikasi muncul, manusia akan secepatnya menatap kembali layar gawai mereka. Inilah persahabatan sejati yang tidak pernah saling melepas. Namun, belum tentu saling melengkapi.
Media sosial sebagai tempat berpulang itu adalah rumah yang tertata rapi oleh algoritma sekaligus berantakan oleh komentar manusia yang berselancar di dalamnya. Manusia tidak peduli dengan komentar apa pun yang mereka lontarkan karena, toh, mereka tidak bertatapan langsung dengan orang yang menerima komentar itu. Oleh karena itu manusia meninggalkan apa yang selama ini kita sebut sebagai moralitas yang menghadirkan etika dan etiket manusia.
Hujatan dan cacian tersebar di banyak platform media sosial. Sebagai contoh, pekerja laki-laki yang memiliki sisi feminin atau disebut ngondek adalah orang yang kekanak-kanakan dan tidak memiliki ciri yang mencerminkan dirinya dapat bertanggung jawab.4
Manusia meninggalkan dan menanggalkan identitas moral mereka sejenak dalam kehidupan nyata dan melemparkan identitas baru mereka dalam kehidupan maya— walaupun tak sepenuhnya baru, karena mereka juga pasti terpengaruh oleh kehidupan nyata ke dalam lemparan dunia maya. Sebut saja, identitas mereka kini adalah identitas para-maya. Mereka tidak peduli. Di media sosial, mereka tidak pernah diketahui oleh orang lain di dunia nyata.
Inilah twister pertama. Inilah ruang pertama manusia memainkan permainan mereka dan menjadi korban. Kalau salah, ya, nanti hamya perlu klarifikasi. Toh, tak ada yang kenal saya secara nyata.
Perkembangan di era digital juga membantu memperluas makna bidang pendidikan untuk menjangkau siapa saja dalam memberi edukasi. Terutama, bagi para pendidik bidang non-formal di media sosial.
Mereka adalah para content creator generasi ini. Mereka terus-menerus membagikan edukasi tentang pengalaman queer dalam kehidupannya atau pengalaman mereka sebagai individu queer untuk tetap bertahan di era manusia yang memainkan peran mereka sebagai korban.
Namun, dari sana, bisa juga hadir pendidik atau individu queer yang justru memainkan peran yang sama sebagai korban. Karena tentu saja, sama seperti manusia lain generasi ini, mereka juga hidup di era digital yang sama.
Inilah twister kedua. Manusia akan melanggengkan berbagai upaya untuk membenarkan ideologi mereka sehingga tidak ada kebenaran yang tunggal. Kebenaran bisa saja jamak atau kebenaran yang jamak itu hanya berisi sesuatu yang ingin didengar telinga saja.
Banyak sekali content creator muda yang memberikan dengan sukarela pengetahuan tentang queerness. Namun, saya hanya akan membahas salah satu yang saya pandang cukup objektif dalam memberikan pemahaman mereka tanpa embel-embel, “semua orang harus mengerti kami (queer).”
Misalnya edukasi oleh individu queer terhadap penanggulangan HIV bagi generasi muda dan masyarakat secara umum. 5 Hal ini jika ditinjau lebih jauh dapat membuka peluang baru bagi banyak orang untuk melepas stigma tentang individu queer sebagai penyebab utama penyebaran HIV. Dari sana, manusia era ini akan belajar bahwa ternyata memang ada faktor-faktor lain yang menyebabkan terjadinya HIV dengan memaparkan data aktual dan faktual.
Bahkan, hal ini juga dapat menyentuh ruang pendidikan dalam kehidupan beragama.6 Mengingat Indonesia adalah tempat beragam agama terbentang dari berbagai tradisi yang ada. Manusia era ini bisa belajar melepas stigma yang oknum agama berikan. Perlahan, mencoba kembali menafsirkan tradisi-tradisi dari berbagai kitab suci menjadi sesuatu yang lebih terbuka bagi semua orang.
Bagi pendidik yang berada di lingkungan formal, terutama perguruan tinggi. Tentu, baik bagi pendidikan tinggi untuk mendukung dan memberikan pemahaman tentang ragam gender dan seksualitas secara nyata. Ruang pendidikan formal adalah ruang aman bagi semua orang sejauh dapat memberikan argumentasi yang kuat dan ilmiah, tentunya.
Namun, banyak sekali perguruan tinggi menarasikan sesuatu yang negatif tentang individu queer. Jika kita kembali pada tahun 2015-2016, banyak perguruan tinggi yang dengan keras menghujat atau menganggap salah keberadaan ragam gender dan seksualitas.7 Padahal, sudah banyak data dan argumen ilmiah yang kian menjelaskan keberadaan ragam gender dan seksualitas adalah bagian integral dari kehidupan. Tantangan para queer muda di perguruan tinggi kian rumit karena banyak narasi negatif yang membuat mereka harus bersembunyi dari identitas mereka.
Dari sini, muncul twister ketiga, yaitu “identitas pribadi saya secara privasi telah diretas. Kini, ruang privat saya menjadi sesuatu yang ingin dijadikan milik publik.” Sederhananya, “perkara cinta dan perkara ranjang saya, juga urusan orang lain.” Semua orang menjadi oposisi, tidak ada yang mencoba mengerti.
Dalam bidang pendidikan formal, setidaknya, saya mengetahui satu perguruan tinggi di Yogyakarta yang menyediakan mata kuliah di satu program studi yang terkait dengan seksualitas manusia.8 Selain itu, dahulu juga pernah ada perguruan tinggi di Jakarta yang menyediakan ruang untuk mengadakan event yang bertemakan ragam gender dan seksualitas. Namun entah mengapa, “sepertinya” kegiatan ini sudah dihentikan.
Kini para pendidik, terutama di perguruan tinggi, tidak perlu takut lagi untuk memberikan pemahaman bagi siapa saja dalam memaknai seksualitas manusia. Memberikan pemahaman dan pengajaran di pendidikan yang ditempuh secara formal adalah suatu gerakan yang sangat baik. Ruang kelas dapat menjadi tempat semua orang saling bertukar pendapat dan memberikan argumentasi dari berbagai perspektif yang nantinya akan memunculkan sebuah kebenaran, yaitu autentisitas.
Para queer muda memiliki tempat mereka berpulang selain rumah nyaman dalam gawai. Gawai mereka kini dapat menjadi rumah aman bagi siapa saja. Dari sana, akan lahir pemahaman. Michael P Lynch— “Kebenaran itu kurang seperti uang daripada cinta; ia objektif dalam keberadaannya, subjektif dalam penilaiannya, dan dapat berada dalam lebih dari satu wujud. Namun, kebenaran juga dapat berbahaya, sukar untuk ditemukan, dan membuat frustrasi untuk dihayati.” 9
Dengan demikian, inilah twister keempat yang sekaligus menjadi penutup dan kesimpulan dari tiga twister sebelumnya. Lempar melempar identitas dalam kehidupan dari kehidupan nyata ke kehidupan maya. Dari ruang privat ke ruang publik. Reza A Wattimena— “Hidup seseorang amat tergantung pada cara pandangnya. Cara pandang seseorang amat tergantung pada identitasnya. Jika Identitasnya sempit, maka cara pandangnya sempit. Hidupnya pun juga sempit. Sebaliknya, manusia spiritual adalah manusia semesta. Identitasnya seluas semesta. Cara pandangnya seluas semesta. Hidupnya pun, dengan demikian seluas semesta.”10
Yogyakarta, 8 Januari 2025
A lonely wanderer with a bohemian soul
Catatan Kaki
1 Esa, “Tuhan Memang Satu, Tangan Kita Yang Judge ‘Mental,’” SuaraKita (blog), 1 Oktober 2024, https://suarakita.org/2024/10/tuhan-memang-satu-tangan-kita-yang-judge-mental/.
2 F. Budi Hardiman, Aku klik maka aku ada: manusia dalam revolusi digital (Daerah Istimewa Yogyakarta: PT Kanisius, 2021), 39.
3 “Riset: Orang Indonesia Rata-rata Main HP 6 Jam Sehari,” diakses 8 Januari 2025, https://tekno.kompas.com/read/2024/01/12/07010037/riset–orang-indonesia-rata-rata-main-hp-6-j am-sehari; “Orang Indonesia Rata-rata Main HP 6 Jam Sehari, Paling Lama di Dunia,” diakses 8 Januari 2025, https://www.detik.com/bali/berita/d-7138203/orang-indonesia-rata-rata-main-hp-6-jam-sehari-pali ng-lama-di-dunia.
4 “ProgreSIP | Media Kelas Pekerja on Instagram: ‘Pemenuhan Kerja Layak Bagi Pekerja Minoritas Gender Di Indonesia Masih Menjadi Tantangan Tersendiri. Tak Terkecuali, Di Industri Media Dan Kreatif. Berbagai Diskriminasi Secara Verbal Maupun Nonverbal Seringkali Dialami Oleh Mereka. Pada 2022, International Labour Organization (ILO) Indonesia Dan Never Okay Project Menerbitkan Laporan Kekerasan Dan Pelecehan Di Dunia Kerja Yang Diberi Judul Semua Bisa Kena. Dalam Laporan Itu, Ditemukan Fakta Bahwa Kelompok Nonbiner Atau Queer Menempati Posisi Pertama Sebagai Pihak Yang Rentan Terkena Kekerasan Dan Pelecehan Di Dunia Kerja (95,45%). ProgreSIP Mengulik Cerita Mendalam Terkait Situasi Pelik Ini Dari Kacamata Nurdiyansah Dalidjo, Seorang Aktivis Sekaligus Pekerja Queer Di Project Multatuli, Dan Jelita Yang Merupakan Pekerja Transpuan Di Magdalene. Kedua Media Tersebut, Saat Ini Telah Mengupayakan Ekosistem Kerja Inklusif Bagi Kelompok Ragam Gender. Seperti Apa Cerita Lengkapnya? Simak Liputan Berikut Ini! -——— Liputan Ini Bagian Dari Program Free to Be Me Yang Didukung Oleh Yayasan Humanis Dengan Tetap Mempertahankan Independensi Editorial Progresip.Id ———— – TikTok: @progresip_ – X: @progresip_ – Instagram: @progresip_ – YouTube: Podcast ProgreSIP – Website: Www.Progresip.Id,’” Instagram, 4 November 2024, https://www.instagram.com/reel/DB88HDtyglp/.
5 “Instagram,” diakses 8 Januari 2025, https://www.instagram.com/p/DC3efEIv7aM/?utm_source=ig_web_copy_link&igsh=MzRlODBi NWFlZA%3D%3D.
6 “CCA Consultation Calls for Faith Communities to Intensify Voices of PLHIV, Advocate for Awareness and Acceptance | CCA,” diakses 8 Januari 2025, https://www.cca.org.hk/news/cca-consultation-calls-faith-communities-intensify-voices-plhiv-advo cate-awareness-and.
7 Vania Sharleen Setyono, Firdhan Aria Wijaya, dan Devina Widiningsih, Draf: Pedagogi dan Pengalaman Queer Muda di Indonesia (YIFoS Indonesia, 2024), 24–25.
8 “BINA TEOLOGI ‘Merajut Seksualitas & Spiritualitas dalam Kehidupan Personal & Komunal’ – YouTube,” diakses 8 Januari 2025, https://www.youtube.com/watch?v=cfk2QlGdv3Y.
9 Hardiman, Aku klik maka aku ada, 125.
10 Reza A. A. Wattimena, Untuk Semua yang Beragama: Agama dalam Pelukan Filsafat, Politik, dan Spiritualitas (Daerah Istimewa Yogyakarta: PT Kanisius, 2020), 122.
Daftar Pustaka
“BINA TEOLOGI ‘Merajut Seksualitas & Spiritualitas dalam Kehidupan Personal & Komunal’ – YouTube.” Diakses 8 Januari 2025. https://www.youtube.com/watch?v=cfk2QlGdv3Y.
“CCA Consultation Calls for Faith Communities to Intensify Voices of PLHIV, Advocate for Awareness and Acceptance | CCA.” Diakses 8 Januari 2025. https://www.cca.org.hk/news/cca-consultation-calls-faith-communities-int ensify-voices-plhiv-advocate-awareness-and.
Esa. “Tuhan Memang Satu, Tangan Kita Yang Judge ‘Mental.’” SuaraKita (blog),
1 Oktober 2024.
https://suarakita.org/2024/10/tuhan-memang-satu-tangan-kita-yang-judge- mental/.
Hardiman, F. Budi. Aku klik maka aku ada: manusia dalam revolusi digital.
Daerah Istimewa Yogyakarta: PT Kanisius, 2021.
“Instagram.” Diakses 8 Januari 2025.
https://www.instagram.com/p/DC3efEIv7aM/?utm_source=ig_web_copy_ link&igsh=MzRlODBiNWFlZA%3D%3D.
Instagram. “ProgreSIP | Media Kelas Pekerja on Instagram: ‘Pemenuhan Kerja Layak Bagi Pekerja Minoritas Gender Di Indonesia Masih Menjadi Tantangan Tersendiri. Tak Terkecuali, Di Industri Media Dan Kreatif. Berbagai Diskriminasi Secara Verbal Maupun Nonverbal Seringkali Dialami Oleh Mereka. Pada 2022, International Labour Organization (ILO) Indonesia Dan Never Okay Project Menerbitkan Laporan Kekerasan Dan Pelecehan Di Dunia Kerja Yang Diberi Judul Semua Bisa Kena. Dalam Laporan Itu, Ditemukan Fakta Bahwa Kelompok Nonbiner Atau Queer Menempati Posisi Pertama Sebagai Pihak Yang Rentan Terkena Kekerasan Dan Pelecehan Di Dunia Kerja (95,45%). ProgreSIP Mengulik Cerita Mendalam Terkait Situasi Pelik Ini Dari Kacamata Nurdiyansah Dalidjo, Seorang Aktivis Sekaligus Pekerja Queer Di Project Multatuli, Dan Jelita Yang Merupakan Pekerja Transpuan Di Magdalene. Kedua Media Tersebut, Saat Ini Telah Mengupayakan Ekosistem Kerja Inklusif Bagi Kelompok Ragam Gender. Seperti Apa Cerita Lengkapnya? Simak Liputan Berikut Ini! -——— Liputan Ini Bagian Dari Program Free to Be Me Yang Didukung Oleh Yayasan Humanis Dengan Tetap Mempertahankan Independensi Editorial Progresip.Id ———— – TikTok: @progresip_ – X: @progresip_ – Instagram: @progresip_ – YouTube: Podcast ProgreSIP – Website: Www.Progresip.Id,’” 4 November 2024. https://www.instagram.com/reel/DB88HDtyglp/.
“Orang Indonesia Rata-rata Main HP 6 Jam Sehari, Paling Lama di Dunia.” Diakses 8 Januari 2025.
https://www.detik.com/bali/berita/d-7138203/orang-indonesia-rata-rata-ma
in-hp-6-jam-sehari-paling-lama-di-dunia.
“Riset: Orang Indonesia Rata-rata Main HP 6 Jam Sehari.” Diakses 8 Januari 2025.
https://tekno.kompas.com/read/2024/01/12/07010037/riset–orang-indones ia-rata-rata-main-hp-6-jam-sehari.
Setyono, Vania Sharleen, Firdhan Aria Wijaya, dan Devina Widiningsih. Draf: Pedagogi dan Pengalaman Queer Muda di Indonesia. YIFoS Indonesia, 2024.
Wattimena, Reza A. A. Untuk Semua yang Beragama: Agama dalam Pelukan Filsafat, Politik, dan Spiritualitas. Daerah Istimewa Yogyakarta: PT Kanisius, 2020.
*Penulis adalah lonely wanderer with a bohemian soul yang berdomisili di Yogyakarta, penulis bisa dihubungi melalui akun instagramnya di @josuaest