Oleh: Lena Tama*
SuaraKita.org – Di tengah menyempitnya ruang bekerja dan berekspresi di Indonesia, industri seni menjadi salah satu wadah yang aman bagi kawan-kawan transgender untuk mengekspresikan diri dan menyambung hidup dengan berprofesi sebagai penari, pelukis, koreografer, dan lainnya.
Acara Indonesian Dance Festival (IDF) 2024 yang berlangsung dari tanggal 2 sampai 6 November di Taman Ismail Marzuki dan Komunitas Salihara pun menjadi salah satu ruang aman dalam industri seni kontemporer bagi komunitas transgender di tengah peliknya industri seni komersial & hiburan seperti siaran televisi nasional yang masih membatasi ruang bagi kawan-kawan ragam gender dan seksual.
Pada acara tersebut, sosok transpuan Ishvara Devati (27) dan Asya Azia (35) sebagai koreografer dan penari mempresentasikan karya tari work in progress berjudul The Synthetics of Hybrid Beings yang menggambarkan proses transformasi transpuan ketika menjalani proses terapi hormon.
Tubuh transpuan bukan lagi entitas biotik, melainkan simbol evolusi identitas manusia
Di adegan pertama, Ishvara dan Asya memulai tarian dengan pelan dan abstrak. Di tengah panggung yang gelap, mereka menari dan mengelilingi sebuah proyeksi video yang menggambarkan pergerakan serta produksi sperma transpuan yang kualitas dan kuantitasnya menurun dan pergerakannya yang melambat sejak memulai terapi hormon.
Adegan pertama ini merupakan manifestasi hasil penelitian Ishvara dan Angelissa Melissa melalui uji laboratorium menggunakan mikroskop dengan hasil temuan bahwa sperma yang dihasilkan oleh seorang transpuan sering kali sudah mengalami penurunan kualitas bahkan sebelum memulai terapi hormon (HRT), yang kemudian mempercepat proses penurunan tersebut. Penurunan kualitas sperma ini umumnya terkait dengan kondisi fisiologis dan psikologis yang dialami sebelum serta selama masa transisi.
Kemudian, Ishvara dan Asya mengundang penonton untuk turun ke panggung dan menyaksikan langsung presentasi tentang sperma ini, menciptakan pengalaman yang lebih intim dan mendalam bagi penonton. Alih-alih hanya menyampaikan informasi secara formal atau dari jarak jauh, ajakan ini bertujuan untuk memfasilitasi keterlibatan langsung, memungkinkan penonton untuk merasakan koneksi emosional yang lebih kuat. Dengan mendekatkan penonton ke pusat presentasi, Ishvara seolah ingin membongkar batas antara penampil dan penonton, mengajak mereka menjadi bagian dari eksplorasi yang mungkin dianggap tabu atau jarang diperbincangkan di ruang publik.
Pendekatan ini juga bertujuan untuk membangun empati yang lebih mendalam—sebuah langkah yang jarang terjadi dalam konteks ilmiah atau medis. Ishvara memahami bahwa informasi tentang tubuh dan identitas seringkali hanya dikonsumsi secara intelektual, sehingga mengalami keterputusan dari konteks emosional dan sosialnya. Dengan mendekatkan penonton ke ‘intimasi tubuh’ ini, ia berharap agar mereka tidak hanya memahami secara rasional, tetapi juga dapat menghayati makna yang lebih mendalam dari pengalaman hidup dan perjuangan identitas yang kompleks, terutama dalam kaitannya dengan identitas gender dan persepsi tubuh.
Kemudian, setelah Ishvara dan Asya menjelaskan temuannya melalui sperma trans, panggung yang tadinya gelap mulai menyala, lalu tarian Ishvara dan Asya beralih menjadi gaya kultur ballroom seiring dengan dimainkannya musik house atau salah satu genre dari electronic dance music (EDM) dimulai. Mereka mengajak para penonton untuk ikut menari gaya vouging ballroom sambil diiringi oleh suara lantang seorang komentator yang menyerukan jati diri mereka sebagai sosok perempuan.
“I’m feeling like a woman! A real woman! I’m feeling sexy! (Aku merasa seperti seorang perempuan! Perempuan asli! Aku merasa seksi!)”
Menjelang sesi akhir, Ishvara dan Asya mengenakan sabuk magnet dan mengaitkan diri dengan satu sama lain. Mereka pun perlahan menjauh dari penonton dan mengenakan kacamata renang di depan tirai merah sebelum akhirnya menutup pentas tari ini.
Usai penampilan tersebut, Ishvara menjelaskan bahwa pentas tari ini adalah hasil peleburan pengalaman hidupnya dengan hasil riset timnya di laboratorium Universitas Indonesia dan Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN) untuk melakukan pendekatan sains dan medis terkait identitas gender dan karakteristik seks dalam pemahaman SOGIESC (sexual orientation, gender identity & expression, sex characteristic).
Melalui karya ini, Ishvara percaya bahwa pendekatan sains, identitas, dan teknologi tentang tubuh transgender ini dapat memantik diskusi baru terkait isu-isu transpuan di era post-human, termasuk sebagai agen transformasi gairah yang mengubah persepsi dari internalisasi rasa bersalah atas raga seorang transpuan menjadi rasa syukur atas dirinya serta bentuk perjuangan untuk penerimaan ragam gender dan seksual di lingkungan masyarakat.
“Reaksi HRT (hormone replacement therapy) itu bagaikan reaksi fusi nuklir: Bagaimana nuklir ini melepaskan atom intinya dan menggabungkan atom yang lain menjadi satu entitas yang lebih kompleks. Karena itu, saya ingin penampilan ini menjadi bentuk legitimasi terapi hormon dan mendobrak ilmu anatomi kontemporer yang hanya mengakui tubuh cisgender laki-laki & perempuan,” ujar Ishvara.
Para penonton menunjukkan respons positif dan rasa kagum atas penampilan Ishvara dan Asya. Pada sesi tanya-jawab, salah seorang penonton pun berkata,
“Saya menghargai pentas ini, khususnya di bagian pertunjukan sperma itu. Saya sangat berharap lebih banyak orang yang mengetahui pentas ini, terlebih untuk mendobrak ketakutan masyarakat awam yang sebenarnya itu tidak nyata terhadap transpuan.”
Seni tari sebagai landasan karir sekaligus ruang kritis dan berekspresi
Indonesian Dance Festival bukan satu-satunya ruang bagi Ishvara maupun Asya untuk berkarir dan berekspresi. Ishvara menari sebagai pekerjaan tetap/profesional sejak tahun 2017 di berbagai festival nasional dan internasional, begitu pula dengan Asya yang aktif menari sambil bekerja di Yayasan Srikandi Sejati (YSS).
Ishvara dan Asya memilih berkarir di industri seni kontemporer atas dasar keterbukaan lingkungan dan pemahaman terhadap ragam identitas gender dan seksual, khususnya kawan-kawan transgender, dengan memberikan ruang aman dan penerimaan yang baik.
Faktor-faktor ini mendorong kawan-kawan transgender agar bisa menunjukkan kemampuan mereka dan ikut menumbuhkan pola pikir dan ketajaman intelektual mereka melalui tari. Ishvara dan kawan-kawan lainnya pun berinisiatif untuk membuka ruang seni mereka sendiri sebagai wadah diskusi dan berekspresi.
Menurut Ishvara, “Seni menjadi ruang diskusi intelektual dengan kawan-kawan lainnya sambil merawat ekosistem tari yang diproduksi dari kelompok trans. Dengan percakapan dua arah ini, sebuah tarian bisa menjadi wadah untuk berpikir kritis.”
Keterbatasan ruang gerak seni secara luas
Namun, meski seni kontemporer sangat terbuka untuk kawan-kawan ragam gender dan seksual, kenyataannya ruang gerak seni secara luas masih sangat terbatas. Industri hiburan dan komersial seperti acara televisi dan perfilman masih sangat membatasi ruang gerak, begitu halnya kesenian tari mereka di luar dari lingkungan kontemporer tersebut.
Atas keterbatasan tersebut, Asya berpendapat bahwa ini semua membatasi kreativitas mereka. Menurutnya, “Banyak batasan yang membuat kami semua terhenti. Apa yang kami imajinasikan terkadang tidak bisa kami realisasikan, bukan karena ketidakmampuan melainkan karena ruang-ruang itu terbatas.”
Terlebih, kawan-kawan transgender cenderung lebih rentan menghadapi diskriminasi verbal begitu mereka melangkahkan kaki ke panggung serta terbentur oleh ideologi-ideologi seperti gender biner. Hal ini semakin terasa bagi kawan-kawan yang sudah menjalani proses terapi hormon dan mengalami transisi fisik.
Asya dan Ishvara sering melihat para koreografer kebingungan ketika harus menempatkan penari transpuan dalam peran laki-laki atau perempuan di atas panggung. Pandangan yang masih terbatas pada konsep gender biner ini sering kali menciptakan pembatasan akses, yang pada akhirnya menyulitkan teman-teman transgender untuk berkarir dan mencari nafkah di industri seni.
“Kebanyakan penari di Indonesia, terutama para koreografer itu berpatokan pada paham ‘laki-laki itu harus menari seperti laki-laki dan perempuan harus menari selayaknya perempuan.’ Mereka belum bisa mengakomodasikan kawan-kawan trans dan queer untuk bisa tergabung dalam ruang tersebut,” lanjut Asya.
Mendobrak industri seni dan mendorong kesetaraan di lingkungan seni
Di tengah pembatasan ekspresi seni yang kerap terjadi, industri seni yang bebas selayaknya dapat lebih inklusif dan mengakomodasi kawan-kawan ragam gender dan seksual, baik itu dalam aspek seni kontemporer maupun aspek seni lainnya.
Ishvara, Asya, dan komunitas queer secara keseluruhan terus berkarir dan unjuk diri di atas panggung dengan membawa harapan besar agar orang-orang yang terlibat dalam industri seni, baik pelakon pelaku seni maupun para penonton dapat lebih mendukung kesejahteraan kawan-kawan selaku sesama pelakon seni.
“Saya berharap industri seni bisa lebih inklusif dan teman-teman bisa mengembangkan potensi diri mereka melalui seni,” ucap Ishvara.
Selain itu, mereka juga berharap batasan-batasan yang mengekang kawan-kawan ragam gender dan seksual bisa runtuh. Dengan begitu, masyarakat juga mampu lebih menerima keberagaman gender dan seksualitas, baik dalam industri seni maupun kehidupan sehari-hari.
Terkait itu, Asya berharap, “Dengan kita bisa bebas berekspresi, orang lain bisa lebih mengerti kita, teman-teman trans dan queer bisa terus berjalan. Hal ini juga berlaku bukan hanya untuk masyarakat awam, namun juga untuk komunitas kita sendiri.”
*Penulis adalah seorang penerjemah dan penulis lepas dari tahun 2016, Lena mulai mendalami dunia jurnalistik pada tahun 2020 bersama The Jakarta Post. Selain menulis, ia juga terlibat dalam pelatihan keamanan sosial dan pergerakan aktivisme untuk komunitas LGBTQ. Penulis juga adalah Top 10 finalist Transchool 2024.