Oleh: Lena Tama*
SuaraKita.org – Revisi RUU Penyiaran yang akan disahkan bulan September 2024 nanti menuai banyak kontroversi untuk seluruh golongan masyarakat karena berpotensi mengekang kebebasan pers dan menuai diskriminasi.
Namun dari seluruh golongan masyarakat, komunitas minoritas gender dan seksual yang akan paling terdampak oleh RUU Penyiaran ini sehingga mengancam kebebasan teman-teman dalam bersuara di ranah media alternatif.
Dalam acara Pendidikan Seksualitas Kita pada tanggal 29 Juni 2024 kemarin, Bhena Geerushtia dari Remotivi memberikan materi kepada para peserta acara mengenai edukasi revisi RUU Penyiaran, isi aturan-aturan tersebut, dan mengapa RUU ini bermasalah untuk semua pihak. Hal ini dikarenakan revisi ini bukan hanya menuai kontroversi dari segi kontennya namun juga dari segi penggarapan serta tahapan menuju pengesahannya.
Awal penetapan revisi RUU Penyiaran
Revisi RUU Penyiaran yang dilakukan oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) mereka garap secara kilat dan diam-diam tanpa adanya transparansi dalam proses pembuatannya. Selain itu, tidak ada keterlibatan stakeholder dalam penggarapannya, baik itu pihak korporat swasta maupun kelompok-kelompok masyarakat.
Yang lebih penting, KPI ingin menerapkan logika yang sama dalam mengatur segala bentuk konten digital di internet seperti halnya mereka mengatur siaran konten media konvensional selama ini.
Hal ini tercerminkan dari revisi Undang-Undang Penyiaran Nomor 32 Pasal 1 Ayat 2 Tahun 2024 yang mereka tetapkan bulan Maret lalu, yang mengubah definisi ‘Penyiaran’ menjadi “[…] kegiatan atau tindakan mentransmisikan sinyal Siaran dengan menggunakan bagian dari spektrum frekuensi radio melalui transmisi terestrial, kabel, satelit, internet, atau sistem transmisi lainnya […],” dan “[…] dapat diterima secara bersamaan dan/atau dapat diakses kembali.”
Meski begitu, KPI sendiri tidak mendefinisikan jenis siaran digital apa yang akan mereka regulasikan. Menurut Bhena, “Tidak ada kejelasan dalam RUU Penyiaran ini, apakah jenis siaran tersebut termasuk layanan over the top seperti Netflix atau layanan user-generated content yang mencakup media alternatif seperti YouTube, media sosial pada umumnya, serta situs-situs komunitas.”
Bhena melanjutkan bahwa kerancuan inilah yang menjadi awal masalah revisi RUU Penyiaran karena KPI bisa menjadikannya pasal karet serta masalah-masalah lainnya yang terkandung di dalamnya.
Keinginan KPI untuk mengendalikan semua konten digital di internet
Dalam revisi RUU Penyiaran ini, KPI ingin mengendalikan semua konten yang akan masyarakat Indonesia salurkan ke internet. Hal ini diatur dalam Pasal 34C huruf b yang menyatakan bahwa setiap penyelenggara platform digital wajib melakukan verifikasi konten siaran ke KPI. Kemudian, KPI akan mengenai sanksi untuk segala pelanggaran konten siaran.
Aturan ini KPI lanjuti dengan Pasal 50 yang menyatakan pihak mereka bisa memverifikasi dan menindaklanjuti aduan setiap orang, lembaga, atau kelompok masyarakat. Bhena berpendapat bahwa, “Hal ini cukup ironis dalam berbagai sisi karena kualitas siaran televisi lokal saat ini terbilang kurang memuaskan bagi masyarakat dan segala bentuk aduan terhadap konten-konten di media tersebut terbukti tidak efektif.”
Namun yang lebih penting, aturan tersebut mengindikasikan bahwa KPI akan bertindak layaknya Dewan Pers. Pasal 8A, 42, dan 50B revisi RUU Penyiaran semakin mengukuhkan argumen ini karena KPI akan berwenang menyelesaikan sengketa jurnalistik di bidang penyiaran, mengatur konten jurnalistik, dan melarang penayangan eksklusif jurnalistik investigasi sesuai Standar Isi Siaran (SIS).
Penyelewengan KPI melalui SIS
SIS sendiri memuat beragam larangan isi siaran konten yang bersifat mengekang kreativitas dan kebebasan bersuara, serta sangat diskriminatif terhadap kelompok minoritas, terutama kelompok minoritas gender dan seksual. Dan yang paling penting, Pasal 50A ayat 5 revisi RUU Penyiaran mewajibkan semua pengisi siaran untuk mematuhi SIS tanpa kecuali.
Berdasarkan Pasal 50B Nomor 2, larangan-larangan tersebut mencakup isi siaran eksklusif jurnalistik investigasi, aksi kekerasan dan/atau korban kekerasan, konten mistik, profesi atau tokoh yang memiliki perilaku atau gaya hidup negatif yang berpotensi ditiru oleh masyarakat, berita bohong, fitnah, penghinaan, pencemaran nama baik, penodaan agama, kekerasan, radikalisme-terorisme, serta perilaku lesbian homoseksual, biseksual, dan transgender.
Bahkan, revisi RUU Penyiaran ini menyebutkan larangan konten yang berkaitan dengan minoritas gender dan seksual lebih dari sekali. Pasal 28A dan 46A melarang penayangan isi siaran yang mengandung “perilaku” lesbian, homoseksual, biseksual, dan transgender, serta melarang model iklan maupun konten iklan yang berkaitan. Hal ini diperkuat oleh Pasal 10 yang juga mengekang jabatan calon anggota KPI dan KPI Daerah dengan melarang calon anggota mengalami penyimpangan orientasi dan/atau perilaku seksual.
Semua ini berlawanan dengan isi Pasal 2 yang menjamin kualitas moralitas dan etika, kebebasan berekspresi, kreativitas, tanggung jawab, netralitas, keberagaman, dan adaptasi teknologi. Selain itu, Pasal 50B juga bermaksud memberi perlindungan terhadap hak remaja, perempuan, dan kelompok masyarakat minoritas.
Harapan untuk revisi RUU Penyiaran
Revisi RUU Penyiaran sebenarnya bisa mencapai tujuan dan praktik yang baik untuk segala pihak, namun sayangnya aturan-aturan di dalamnya sangat diskriminatif serta mengekang kebebasan berpendapat dan kreativitas.
“Pasal-pasal tadi yang mendiskriminasikan minoritas gender dan seksual pun sangat berlawanan pada Pasal 281 ayat 2 dari UUD 1945 yang menyatakan bahwa setiap orang bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif. Jadi, seharusnya RUU ini tidak bisa melawan balik UUD 1945,” ujar Bhena.
Pada tanggal 29 Mei 2024, masyarakat berhasil menunda pembahasan RUU Penyiaran oleh DPR. Akan tetapi, hal ini masih menjadi risiko karena peluang RUU Penyiaran ini diloloskan pada bulan September nanti masih ada, terutama mengingat isu minoritas gender dan seksual akan menjadi sulutan api untuk kalangan konservatif agar mendukung pengesahannya.
Oleh karena itu, pemerintah harus menggagalkan pemberlakuan revisi RUU Penyiaran, atau paling tidak memperbaiki isinya agar menghilangkan aturan-aturan yang bersifat mengekang dan mendiskriminasi semua pihak, baik itu pembuat konten digital maupun orang-orang yang mengonsumsinya. Selain itu, masyarakat dan teman-teman minoritas gender dan seksual harus terus menolak pemberlakuan revisi RUU Penyiaran ini tanpa henti.
“Jangan sampai topik ini mati diam-diam dan DPR berhasil mengesahkannya. Melalui advokasi di media sosial, media alternatif, dan demonstrasi damai, kita semua harus tunjukkan bahwa media Indonesia bisa menjadi lebih baik tanpa harus mengekang kebebasan dan kreativitas, apalagi menyebabkan diskriminasi,” pesan Bhena.
*Penulis adalah seorang penerjemah dan penulis lepas dari tahun 2016, Lena mulai mendalami dunia jurnalistik pada tahun 2020 bersama The Jakarta Post. Selain menulis, ia juga terlibat dalam pelatihan keamanan sosial dan pergerakan aktivisme untuk komunitas LGBTQ.