Search
Close this search box.

[Liputan] Akhirnya Dapat KTP, Ratusan Transgender Indonesia bisa Nyoblos untuk Pertama Kali

 

[toggle title=”English Version”]

Long-sought IDs give trans Indonesians the right to vote

by Yosef Riadi and Leo Galuh

SuaraKita.org – Hundreds of trans women will be able to vote for the first time in Indonesia’s Feb. 14 election after getting KTP identity cards.

At 53, Mak Luké, a transgender woman, will go to the polls for the first time when Indonesia holds an election on Feb. 14 after finally obtaining a government identity card.

Like many trans Indonesians, Mak Luké left her family as a teenager and ended up living on the streets, making it difficult for her to apply for an ID card. That meant she could not access public services, open a bank account – or vote. Even going to the doctor was “very difficult” without the document, known as the KTP, Mak Luké told Openly.

She finally got her KTP in 2021 with support from Jakarta-based LGBTQ+ rights group Suara Kita, which has helped obtain ID cards for hundreds of trans women – who tend to face more stigma and marginalisation than trans men or other LGBTQ+ Indonesians.

She said it has been life-changing – even if the document still carries her male birth name and gender assigned at birth.

Trans people in many countries are fighting for their gender identity to be recognised on official documents, but trans Indonesians can only change their legal gender if they have had gender reassignment surgery.

Despite the many challenges trans Indonesians face today, gender-fluid communities have historically been accepted in the country. The Bugis ethnic group on Sulawesi island, for instance, traditionally recognises five genders, including one that is said to “transcend”, or combine, female and male.

Trans women prepare before a Trans Super Heroes fashion show at a traditional market in Jakarta, Indonesia, December 17, 2023. REUTERS/Ajeng Dinar Ulfiana

Still, a rising tide of conservative Islam in the world’s largest Muslim-majority country has fuelled anti-LGBTQ+ persecution.

Although same-sex relations are not criminalised across Indonesia, except in the provinces of Aceh and South Sumatra, 92% of Indonesians surveyed by the Pew Research Center in 2023 oppose same-sex marriage.

But there are some signs of change, including recognition by the government in 2021 of the particular difficulties trans women face in securing KTPs.

“The problems to get an ID card for trans women is a reflection of the problem that people living below the poverty line face,” said Hartoyo, a 46-year-old LGBTQ+ activist who goes by one name and is one of Suara Kita’s founders.

Embracing Gender Differences
As one of 20 Suara Kita volunteers working to get ID cards for trans women, Mak Eci has helped with everything from small changes like new photos to acting as a guarantor for those who do not have their biometric information in the system, which all Indonesians are required to do when they reach the age of 17.

“Finally, I see the government gradually embracing gender differences,” said Mak Eci, a 50-year-old trans woman based in West Jakarta, who helped Mak Luké get her ID card.

A memorandum of understanding (MOU) was drawn up in 2021 by Indonesia’s federal Ministry of Home Affairs to resolve issues such as missing legal identity documents at the local administrative level, rather than cases being sent to Jakarta.

The MOU has drastically decreased the time it takes to process these complex cases, from three months to a week, and sometimes an ID card is processed within hours.

“We at the civil administration office must serve all Indonesian citizens with no exception,” said Zudan Arif Fakrulloh, former director-general of the Civil Registry Service Office who signed the MOU.

That followed 10 years of lobbying by Suara Kita, said Hartoyo, who first started working to support trans women to get ID cards in 2011.

Since then, Hartoyo said Suara Kita has helped 650 trans women get new cards nationwide – a process that is ongoing.

“Every week there are new ID cards issued,” said Hartoyo, who is based in the capital, Jakarta.

Everything Becomes Easier
Victoria Sintara, 36, first arrived in Jakarta 12 years ago from a village in West Kalimantan, where she said she endured years of bullying and abuse.

Her ID card from home expired and she did not have the money to travel back to renew it.

That meant Sintara was without a KTP for three years, until she got a new one with help from Suara Kita.

“Even finding a job (was) difficult for me, despite having a decent education,” Sintara said. “I even resorted to busking.”

Sintara still busks part-time, but she also has a job as a finance officer for a theatre group.

“Everything becomes easier; every task, every place is accessible,” she said.

Besides making day-to-day life easier, ensuring trans women have ID cards was a step towards giving them “a political voice”, said Irwan Hidayana, a professor of gender and sexuality studies at the University of Indonesia.

“Trans women’s participation in elections is an acknowledgment that they are citizens just like other Indonesians,” Hidayana said.

 

This story is part of a series supported by HIVOS’s Free To Be Me programme.

Reporting by Yosef Riadi and Leo Galuh in Jakarta; Editing by Sadiya Ansari and Helen Popper. Please credit Openly, the LGBTQ+ news website from the Thomson Reuters Foundation, the charitable arm of Thomson Reuters. Visit https://www.openlynews.com. Openly is an initiative of the Thomson Reuters Foundation dedicated to impartial coverage of LGBT+ issues from around the world.

[/toggle]

Oleh: Yosef Riadi dan Leo Galuh*

SuaraKita.org – Ratusan transgender dapat nyoblos untuk pertama kalinya dalam pemilu pada 14 Februari setelah mendapatkan KTP dari pemerintah. Transpuan berusia 53, Mak Luké, akan memberikan suara untuk pertama kalinya ketika Indonesia mengadakan pemilihan pada 14 Februari setelah akhirnya mendapatkan kartu identitas dari pemerintah.

Seperti banyak warga transgender Indonesia lainnya, Mak Luké meninggalkan rumah keluarganya saat remaja dan akhirnya tinggal di jalanan, membuatnya sulit untuk mengajukan kartu identitas. Hal tersebut membuat dirinya tidak dapat mengakses layanan publik, membuka rekening bank, atau memberikan suara.

Bahkan pergi ke dokter menjadi “sangat sulit” tanpa dokumen yang disebut sebagai KTP, kata Mak Luké kepada Openly.

Dia akhirnya mendapatkan KTP-nya pada tahun 2021 dibantu Perkumpulan Suara Kita yang sebelumnya telah membantu ratusan transpuan mendapatkan kartu identitas. Transgender cenderung menghadapi lebih banyak stigma dan marginalisasi dibandingkan dengan minoritas gender dan seksual lainnya.

Dia mengatakan, memiliki KTP telah mengubah hidupnya – meskipun dokumen tersebut masih mencantumkan nama dan jenis kelamin pria yang diberikan saat lahir.

Orang transgender di banyak negara berjuang agar identitas gender mereka diakui dalam dokumen resmi, tetapi orang transgender Indonesia hanya dapat mengubah jenis kelamin hukum mereka jika mereka menjalani operasi penggantian jenis kelamin.

Meskipun banyak tantangan yang dihadapi oleh orang transgender Indonesia saat ini, minoritas gender dan seksual secara historis diterima di negara ini. Kelompok etnis Bugis di pulau Sulawesi misalnya, secara tradisional mengakui lima jenis kelamin, termasuk salah satu yang dikatakan “transenden”, atau menggabungkan, perempuan dan laki-laki.

Namun, gelombang konservatisme yang meningkat di negara dengan mayoritas Muslim terbesar di dunia telah memicu penindasan terhadap kelompok minoritas gender dan seksual.

Meskipun hubungan sesama jenis tidak dianggap sebagai kejahatan di Indonesia, kecuali di provinsi Aceh dan Sumatra Selatan, 92% dari orang Indonesia yang disurvei oleh Pew Research Center pada tahun 2023 menentang pernikahan sesama jenis.

Namun ada beberapa tanda perubahan, termasuk pengakuan oleh pemerintah pada tahun 2021 terhadap kesulitan khusus yang dihadapi oleh transgender dalam mendapatkan KTP.

“Masalah untuk mendapatkan KTP bagi transpuan adalah cerminan dari masalah yang dihadapi oleh orang yang hidup di bawah garis kemiskinan,” kata Hartoyo, 46 tahun, seorang aktivis minoritas gender dan seksual, dan salah satu pendiri Suara Kita.

Sebagai salah satu dari 20 relawan Suara Kita yang bekerja untuk mendapatkan KTP bagi transpuan (focal poin), Mak Eci telah membantu dengan segala hal mulai dari perubahan kecil seperti foto baru hingga bertindak sebagai penjamin bagi mereka yang tidak memiliki informasi biometrik dalam sistem, yang harus dilakukan semua orang Indonesia saat mencapai usia 17 tahun.

“Akhirnya, saya melihat pemerintah perlahan-lahan merangkul perbedaan gender,” kata Mak Eci, seorang transpuan, 50 tahun, yang berbasis di Jakarta Barat, yang membantu Mak Luké mendapatkan KTP-nya.

Sebuah nota kesepahaman (MOU) disusun pada tahun 2021 oleh Kementerian Dalam Negeri Indonesia untuk menyelesaikan masalah seperti dokumen identitas hukum yang hilang di tingkat administratif lokal, bukan kasus yang dikirimkan ke Jakarta.

MOU itu telah secara drastis mengurangi waktu pemrosesan kasus-kasus yang kompleks ini, dari tiga bulan menjadi seminggu, dan kadang-kadang kartu identitas diproses dalam hitungan jam.

“Kami di kantor administrasi sipil harus melayani semua warga negara Indonesia tanpa pengecualian,” kata Zudan Arif Fakrulloh, mantan direktur jenderal Kantor Layanan Catatan Sipil yang menandatangani MOU tersebut.

Setelah 10 tahun lobi oleh Suara Kita, Hartoyo yang pertama kali mulai bekerja untuk mendukung transgender mendapatkan KTP pada tahun 2011 mengatakan, sejak itu, dirinya mengatakan Suara Kita telah membantu 650 transgender mendapatkan kartu baru secara nasional – sebuah proses yang masih berlangsung.

“Setiap minggu ada KTP baru yang diterbitkan,” kata Hartoyo, yang berbasis di ibu kota, Jakarta.

Victoria Sintara, 36 tahun, pertama kali tiba di Jakarta 12 tahun lalu dari desa di Kalimantan Barat, di mana katanya dia mendapat intimidasi dan pelecehan bertahun-tahun. Kartu identitasnya dari kampung halaman kadaluwarsa dan dia tidak memiliki uang untuk pergi kembali memperbarui. Itu berarti Sintara tidak memiliki KTP selama tiga tahun, sampai dia mendapatkan yang baru dengan bantuan dari Suara Kita.

“Menemukan pekerjaan (sulit) bagi saya, meskipun memiliki pendidikan yang baik,” kata Sintara. “Saya bahkan sampai harus mengamen.”

Sintara kadang-kadang masih mengamen, tetapi dia juga memiliki pekerjaan sebagai staff keuangan untuk kelompok teater.

“Semuanya menjadi lebih mudah; setiap tugas, setiap tempat dapat diakses,” katanya.

Selain membuat kehidupan sehari-hari lebih mudah, memastikan tiap transgender memiliki KTP adalah langkah menuju memberikan mereka “suara politik,” kata Irwan Hidayana, seorang profesor studi gender dan seksualitas di Universitas Indonesia.

“Partisipasi transpuan dalam pemilihan adalah pengakuan bahwa mereka adalah warga negara seperti warga Indonesia lainnya,” kata Hidayana.

 

*Liputan ini didukung oleh program Free To Be Me dari HIVOS. Jurnalis: Yosef Riadi dan Leo Galuh in Jakarta; Editing: Sadiya Ansari and Helen Popper. Please credit Openly, the LGBTQ+ news website from the Thomson Reuters Foundation, the charitable arm of Thomson Reuters.

Openly diinisiasi oleh the Thomson Reuters Foundation yang didedikasikan untuk meliput kisah-kisah Minoritas Gender dan Seksual di seluruh dunia. Kunjungi website Openly di https://www.openlynews.com. Baca Artikel aslinya di sini.