Oleh: Wisesa Wirayuda*
SuaraKita.org – Malam-malam, kawan seperjuangan mengabarkan bahwa dirinya tengah berada dalam sebuah acara diskusi, dan terjadi perdebatan soal, “perlu atau tidak kelompok minoritas gender dan seksual bersuara di tahun politik?”
Seketika pikiran melayang jauh, bagaimana bisa pertanyaan ini muncul di saat seharusnya masyarakat berlomba-lomba menyuarakan aspirasi mereka pada paslon-paslon yang tengah mencari suara.
Kusampaikan padanya bahwa semua orang memiliki hak bersuara, hak menentukan pilihan politik yang setara, dan bisa menentukan siapa presiden pilihan mereka. Idealis memang. Atau bahkan utopis?
Aku juga katakan padanya, bahwa ketika kita tidak berani bersuara itu artinya kita sudah berhasil dibungkam, melalui cara ditakut-takuti akan adanya berita viral, atau juga mungkin melalui ancaman-ancaman di sosial media.
Kemudian, over-thinking mulai merasukiku. “Mungkin betul juga seharusnya kita tidak terlalu bersuara. Atau mungkin, ‘memilah’ apa yang kita suarakan?.”
Perkumpulan Suara Kita sudah membantu setidaknya 700-an orang Transgender untuk mendapatkan akses KTP. Itu artinya, 700-an orang tersebut akan menjadi first voter atau bisa mengikuti pemilu untuk pertama kalinya di tahun 2024. Lantas apakah suara dari 700-an orang tersebut hanya angin lalu?
Francisia Saveria Sika Ery Seda mengatakan dalam pidato upacara pengangkatan dirinya sebagai guru besar Universitas Indonesia, minoritas gender dan seksual termasuk ke dalam kelompok marginal yang dieksklusikan secara sosial, ekonomi, politik, dan budaya. Salah satu ekspektasi sebagai alternatif jalan keluar dari Kemiskinan dan Eksklusi Sosial adalah Social Well-being.
Mungkin benar, kita harus kembali pada apa permasalahan kelompok minoritas gender dan seksual alami sebenarnya. Dan sepertinya, terlalu jauh bila kita berbicara soal hak kesetaraan dalam pernikahan, sedangkan di saat yang sama masih banyak transpuan lansia tidak memiliki KTP dan tidak bisa mengakses jaminan sosial. Atau, masih banyak minoritas gender dan seksual yang kesulitan mendapatkan pekerjaan, atau kalaupun sudah memiliki pekerjaan dirinya akan kesulitan bekerja karena adanya diskriminasi di tempat kerja. Sepertinya memang, kita harus kembali ke Social Well-being-nya.
Diskusi lainnya muncul di waktu yang hampir sama dengan teman seperjuangan lain. Aku tanya, “kriteria paslon yang ideal untuk kita pilih yang seperti apa, ya?”
Dirinya menjawab, sebagai sesuatu yang terus berubah polanya, politik tidak bisa dipegang dan dijadikan acuan untuk menentukan ideal atau tidaknya paslon untuk dipilih. “Semuanya akan menyerang minoritas gender dan seksual sesuai kebutuhan mereka.”
Jika begitu, kepada siapa lagi kita bisa menitipkan harapan hidup kita?
Di tahun politik yang penuh dengan kepentingan, rasanya memang kita sendirilah yang harus bersuara dan menjadi satu-satunya yang paham akan permasalahan yang kita alami sehari-hari. Saling membantu sama lain, aktif sebagai warga, peka terhadap permasalahan di sekitar kita.
Dan tentu saja, teruslah bersuara!
*Penulis pernah terlibat di beberapa buku terbitan Suara Kita. Penulis juga adalah kontributor di website Suarakita.org sejak 2013 hingga sekarang. Beberapa pelatihan jurnalistik yang pernah ia ikuti antara lain dari Suara Kita, Jurnal Perempuan, dan Wahid Foundation.