Search
Close this search box.

Pancasila Untuk Yang Marginal

SuaraKita.org – Beberapa hari lalu, ikuti diskusi secara online dengan narasumber Julia Suryakusuma yang topiknya “Pancasila Dan Feminisme”. Diskusi ini diadakan oleh komunitas Estorika yang dikelola oleh Budhy Munawar Rachman .

Dalam diskusi itu, Julia memaparkan konsep berpikir Soekarno dalam konteks rumusan Pancasila. 

Julia memetakan logika pikir Soekarno tentang perempuan dan bangsa sampai pada prilaku Soekarno pasca demokrasi terpimpin.

Kira-kira Julia menyimpulkan, sebelum demokrasi terpimpin (dibawah tahun 60an), pemikiran Soekarno cukup jelas dan sangat besar bagaimana perempuan harus terlibat dalam pembangunan. 

Julia banyak terinspirasi dari buku yang berjudul Sarinah, karya Soekarno selain beberapa artikel yang ditulis pihak lain tentang sang Proklamator tersebut. 

Dalam konteks itu, Julia sepertinya cukup mengagumi pemikiran Soekarno perihal pemajuan perempuan Indonesia, sekali lagi sebelum demokrasi terpimpin. 

Memasuki demokrasi terpimpin, perilaku Soekarno mulai berubah. Kekuasaan yang dimiliki Soekarno sebagai Presiden, membuat perilakunya terhadap perempuan  khususnya soal poligami, mulai sangat kacau. Itu penegasan yang disampaikan oleh Julia. 

Bahkan, Julia membuat tabel, perempuan-perempuan yang dinikahi Soekarno, saat Soekarno belum punya kuasa sampai memiliki kuasa besar.  

Umur para perempuan yang dinikahi Soekarno bukan hanya seperti hubungan ayah dan anak, tetapi pautan umurnya seperti hubungan kakek dan cucu perempuannya. 

Kembali ke topik utama, Pancasila dan Feminisme, secara tegas Julia menyampaikan tanpa keterlibatan perempuan secara aktif, seperti burung yang patah sayap sebelah, itu analogi yang diungkapkan oleh Julia membaca pemikiran Soekarno dalam buku Sarinah.

Julia kemudian bertanya, jika Soekano sekarang masih hidup bagaimana Soekarno melihat komunitas marginal lainnya dalam konteks Pancasila? Misalnya bagaimana posisi kelompok d

gender dan orientasi seksual yang berbeda dipahami oleh Soekarno ? 

Untuk mengetahui lebih jauh pandangan Julia terhadap pemikiran Soekarno dalam konteks isu feminis, dapat dilihat dalam YouTube; 

Diskusi berkembang, dalam kesempatan itu, aku menanyakan bagaimana Pancasila dapat dirasakan oleh kelompok marginal lainnya? Karena warga negara beragam, tidak monolitik, sangat heterogen. 

Karena warga negara bukan hanya soal laki-laki dan perempuan, tetapi ada beragam identitas lainnya, salah satunya soal keberagaman gender dan orientasi seksual. Bahkan siapa laki-laki dan perempuan sendiri beragam. 

Bagaimana nilai-nilai Pancasila dapat dirasakan atau dimaknai sesuatu yang sangat membantu/menolong untuk setiap warga?

Pertanyaan sederhananya, jika Pancasila dinilai sebagai falsafah bangsa yang ideal, mengapa masih ada jutaan warga negara mengalami peminggiran karena identitas yang melekat pada dirinya? 

Kelompok-kelompok marginal itu tersisi atau tersingkir karena kemiskinan, identitas gendernya, fisiknya, status kesehatannya, keyakinan agamanya, lokasinya, status pekerjaan, maupun karena identitas lainnya.

Kelompok-kelompok itu sama sekali tidak dapat merasakan kemanfaatan Pancasila dalam kehidupan sehari-harinya sebagai warga maupun manusia. 

Bahkan komunitas transgender saja, untuk diakui sebagai warga negara masih terus berjuang akses adminduk. Apalagi pada program pembangunan lainnya.

Dalam konteks dan situasi itu, bagaimana Pancasila dilihat? 

Apakah badan yang khusus membedah dan memaknai Pancasila yang diketuai oleh Megawati Soekarno Putri mampu membongkar itu semua? 

Apakah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) pernah mendengarkan dan melibatkan secara aktif komunitas marginal tersebu untuk merumuskan sesuatu yang sangat strategis dalam konteks pemaknaan Pancasila? 

Pernahkah BPIP berpikir secara kritis, mengapa masih banyak warga negara tidak mendapatkan keadilan, kesejahteraan, pelibatan yang setara, seperti mimpi ideal dari konsep Pancasila? Mengapa itu bisa terjadi? 

Apakah BPIP pernah mendata kelompok-kelompok mana saja yang paling terpinggirkan dalam pembangunan? 

Dalam konteks hukum, konsep ini pernah dituliskan oleh Bivitri Susanti di Koran Kompas dengan judul “Memenangkan Orang Kalah” di 2 Februari 2023.

Bivitri memaparkan bahwa ada realitas sosial,ekonomi,politik yang membuat tidak semua warga dapat setara dihadapan hukum. 

Karena beragam faktor itu, seseorang atau kelompok tertentu sering sekali tidak mendapatkan akses keadilan yang setara ketika berhadapan dengan hukum. Realitas ini seharusnya dilihat oleh pemerintah, para pengambil kebijakan maupun penegak hukum, bahwa ada masalah soal kesetaraan di depan hukum bagi setiap warga. 

Tentunya ini bukan hanya soal hukum dalam konteks peradilan saja tetapi juga sistem hukum yang lebih luas dalam konteks pembangunan. 

Kemudian, bagaimana Pancasila melihat itu semua?

Jika Pancasila dimaknai sebagai sesuatu yang ideal dan sakral tetapi tidak pernah melihat, merasakan, dan melakukan sesuatu untuk mereka yang termarginal. Maka sampai kapanpun Pancasila hanya jadi “Jargon” penguasa untuk menguasai rakyatnya. 

Tetapi kemiskinan dan ketertindasan akan terus dialami oleh mereka yang terpinggir karena rendahnya akses ekonomi, sosial, budaya maupun politik. 

Maka saat itulah, Pancasila akan janji “Surga” yang terus dikumandangkan oleh para politisi dan mereka yang punya kuasa. 

 

Jakarta, 3 Maret 2023

Hartoyo (087738849584), 

Pendamping komunitas transgender untuk adminduk dan jaminan sosial di Indonesia. 

*Tulisan Ini Kupersembahkan Untuk Diriku Sendiri Dihari Ulang Tahunku.