Search
Close this search box.

SK Goes to Festival Film Human Rights

SuaraKita.org – Perkumpulan Suara Kita (PSK) mengisi diskusi usai pemutaran film bertemakan Hak Asasi Manusia (HAM) yang bertempat di Auditorium Institut Francais Indonesia (IFI) pada Festival Film 100% manusia yang dikelola oleh Yayasan Bhinneka Cipta Setara sebagai penyelenggara pada Rabu, (2/11).

©100% Manusia Film Festival

Kedatangan Suara Kita memenuhi undangan pada malam pemutaran film bertajuk Eismayer (2022) disambut hangat oleh Rain Cuaca selaku Direktur Festival perhelatan film 100% manusia dan menjelaskan kepada Direktur Perkumpulan Suara Kita, Yudi seputar perhelatan film festival 100% manusia 2022.

“Untuk tahun ini kami juga menyelenggarakan secara hybrid dan untuk jadwal serta lokasi pemutaran film di Jakarta dari tanggal 28 Oktober – 6 November ada di beberapa tempat selain IFI, seperti Erasmus Huis, GoetheHaus, dan KeKini. Kemudian di Yogyakarta akan diselenggarakan pada tanggal 9 – 12 November 2022,” katanya.

Film bertajuk Eismayer dengan durasi sekitar 87 menit, diangkat dari kisah nyata yang menarik isu dari kesetaraan gender dan seksualitas dalam institusi militer di Austria, Eropa Tengah, dengan happy ending. Film besutan sutradara David Wagner ini telah memenangkan sejumlah nominasi festival film internasional seperti Venice Internasional Film Festival 2022 dan sekaligus menjadi film pembukaan pada festival 100% manusia 2022 di Jakarta pada Jumat (28/10).

Seperti dijelaskan pada pengantar diskusi oleh Meninaputri Wismurti, selaku moderator sekaligus Film Program Director pada perhelatan Festival Film 100% Manusia 2022  dan juga salah satu pendiri pihak penyelenggara. Film Eismayer digunakan sebagai terobosan baru menampilkan film toxic masculinity dengan happy ending untuk mengangkat isu gender dan seksualitas dewasa ini.

“Film Eismayer minggu lalu baru saja tayang di bioskop Austria dan banyak orang kagum usai pemutaran premiere di Venice International Film Festival 2022 September lalu dan mendapatkan sepanjang 5 menit standing applause untuk film yang mengangkat isu kesetaraan Hak Asasi Manusia atas gender dan seksualitas yang jarang berakhir dengan happy ending, yang hampir tidak pernah diangkat, sehingga film dari kisah nyata pada 2014 ini bisa menjadi terobosan baru di tengah situasi saat ini dan juga kebanyakan yang diangkat dalam film endingnya dark,” ujarnya.

Konservatisme dalam institusi aparat penegak hukum 

Putri melanjutkan, sebagian orang berkomentar positif mengenai pernikahan pasangan Charles dan Mario dengan seragam militer mereka yang kebetulan berwarna putih yang menjadi sesuai dengan “white wedding”. Sementara sebagian lain kemudian berkomentar bahwa hal itu menodai kehormatan institusi militer, walaupun mereka di negara yang inklusif untuk seksualitas dan gender.

Sebagai pembuka dari diskusi bersama Suara Kita, Putri menyoroti perbedaan yang sangat tajam dengan kondisi dari komunitas dengan gender dan seksualitas yang berbeda di Indonesia yang pada beberapa waktu lalu sempat diramaikan dengan kasus pemecatan tidak terhormat pada salah satu anggota dari institusi kepolisian yang berprestasi karena orientasi seksualnya diketahui dan saat ini kasus hukum tersebut masih berada dalam proses banding pada Mahkamah Agung.

Menurut  Yudi, “Menanggapi kasus tersebut, yang saat ini kami dapat lakukan sebagai teman adalah dengan memberikan support kepada polis tersebut, selain menunggu keputusan dari proses hukumnya. Satu hal yang perlu kita sadari bersama bahwa selama identitas dan orientasi seksual tidak dipublikasikan maka tidak bermasalah, tetapi kalau teman-teman memperhatikan bahwa isu ini di institusi kepolisian atau militer akhir-akhir ini sangat sensitif. Terutama pada pemecatan anggota institusi polisi atau tentara yang bisa dipecat secara tidak adil meskipun berprestasi dan dilakukan hanya karena orientasi seksualnya,” tuturnya.

Yudi melanjutkan bahwa Suara Kita juga menerima beberapa aduan tentang sidang komisi kode etik lembaga yang digunakan untuk mengadili teman-teman atau individu yang berbeda pada institusi aparat hukum negara, selain itu pemaksaan menikah juga sering dialami karena sebagian besar masyarakat masih menganggap pernikahan menjadi jalan untuk individu bisa “disembuhkan”.

Selain itu, Yudi juga menyoroti perkembangan dampak lebih jauh dari wajah konservatisme terutama di tengah publik dan institusi aparat penegak hukum yang menimbulkan kekuatiran bahwa sidang komisi etik dapat semakin sering terjadi seiring dengan semakin tingginya “kesadaran” institusi terhadap kecurigaan berdasarkan tanda-tanda tertentu terhadap individu yang menjadi anggotanya. Yang ini malah akan menimbulkan prasangka dan bias.  Sehingga sulit untuk menjangkau anggota atau individu yang membutuhkan dukungan dari perkumpulan Suara Kita selama yang bersangkutan tidak mau mengungkap jati dirinya.

Posisi perempuan, istri yang ditinggalkan dalam pernikahan pasangan gay

Pertanyaan pertama dari salah satu tamu undangan sekaligus penonton film Eismayer, menyinggung posisi perempuan sebagai istri dari pernikahan pertama Charles sebelum menikah kedua kali dengan Mario.

“Adakah ditemukan kasus dimana pihak perempuan dari  pasangannya gay yang terpaksa menikah mendapatkan pendampingan pasca menerima coming out dari pasangannya tersebut dan berpisah dengan baik-baik saja?”

Yudi menjawab pertanyaan tersebut dengan menyampaikan bahwa meskipun belum ditemukan kondisi baik dalam proses perpisahan pernikahan pasangan hetero karena salah satu pasangan membuka identitas seksualnya, tetapi berangkat dari hal itu kami selalu menegaskan kepada teman-teman gay dampak dari pernikahan yang dipaksakan akan merugikan pasangan perempuannya dan akan lebih rumit jika memiliki anak. Sebab persetujuan (consent) dari kedua pasangan sangat penting dalam pernikahan, dan kami selalu menekankan bahwa proses coming in atau nyaman dengan diri sendiri bagi teman-teman gay mestinya mendapat perhatian dengan jujur.

“Harus sejujur-jujurnya dengan diri sendiri dan proses ini seperti mengupas kulit bawang hingga ke intinya dan biasanya dalam proses tersebut orang tersebut banyak berpikir tentang dampaknya . Ada kekhawatiran seperti  apa nanti  kata teman-temannya, keluarga, tetangga  jika dia jujur . Sungguh proses yang berat dan melelahkan tetapi begitu melawati coming in akan menjadi lebih mudah ,” tuturnya.

Dukungan dan peran komunitas sebagai ruang aman bagi keragaman gender dan seksualitas

Pertanyaan kedua menyinggung tentang peran komunitas sebagai dukungan terkait sulitnya beban individu dengan keragaman gender dan seksualitas pada institusi aparat penegak hukum.

“Apakah ada layanan konseling atau seperti teman sebaya bagi teman – teman yang sedang berkasus atau tertuduh dalam kasus, karena tidak semua beruntung punya circle yang aman, baik karena mereka menutup diri atau tidak ada teman sebaya?”

Yudi dan moderator turut menyampaikan hal yang senada bahwa pentingnya teman atau circle yang dapat menjadi ruang aman untuk dukungan terhadap individu dengan keragaman gender dan seksual terutama ketika menghadapi kasus tertentu.

“Kalau tidak ada teman atau circle itu sangat bahaya karena kita bisa merasa makin sendirian, pikiran bisa kemana-mana dan cenderung sampai berpikir untuk suicide, dari pengalaman pribadi saya. Kami teman-teman komunitas menyediakan support system yang dinamakan Sahabat Kita, yang akan menjadi sahabat jika ada ada individu yang bermasalah.

Sahabat Kita tidak hanya bagian dari komunitas saja tetapi sebagian besar adalah allies yang mendukung sesama kami juga senang jika ada teman-teman hetero yang mau bergabung sebagai allies. Dan Suara Kita juga dapat merekomendasikan misalnya untuk kebutuhan konseling psikologis ada Yayasan Pulih atau lembaga lain, untuk bantuan hukum ada Lembaga APIK atau LBH Masyarakat atau LBH lainya yang ramah komunitas” ujarnya.

Sementara Putri menyampaikan bahwa salah satu tujuan dari festival film ini untuk menciptakan ruang aman dan nyaman. Hal ini bisa dilihat dengan disampaikan sebelum pemutaran film juga bahwa penonton dapat keluar dari ruangan jika ada adegan yang tidak dirasa nyaman. “Di program 100% Heart to Heart, kami juga menyediakan psikolog gratis untuk teman-teman yang membutuhkan dan selain itu juga dapat membantu teman-teman yang membutuhkan bantuan lain dari LBH APIK,” tuturnya.

Pertanyaan ketiga yang mengundang tawa dari pengunjung auditorium yang diisi sekitar belasan hingga puluhan datang dari seorang penonton yang menanyakan langsung kepada Yudi “Saya penasaran apakah mas Yudi berani untuk speak up seperti dalam film seperti ini?”

Yudi sembari tersenyum dan menahan tawa menjawab langsung, “saya belum ada pasangan,” katanya.

Prospek untuk industri film bertema keragaman gender dan seksualitas di Indonesia  

Pertanyaan selanjutnya datang dari penonton yang menyoroti bahwa berbeda dengan industri film di Eropa, Indonesia seringkali menghadapi berbagai tantangan untuk tema sensitif. “Bagaimana untuk prospek film Indonesia ke depan, menjanjikan atau tidak? Karena saya pribadi ingin lebih banyak melihat tema queer diangkat dalam film Indonesia.”

Putri menyampaikan bahwa untuk saat ini potensi untuk pasar atau industri film tema queer di Indonesia dapat menggunakan platform online seperti netflix dan amazon yang menyediakan slot tersendiri untuk tema tertentu.

Yudi juga menyampaikan bahwa Suara Kita pernah membuat film yang memenangkan nominasi film dokumenter panjang terbaik dalam  FFI yang mendapat piala Citra  pada 2017 yang mengangkat kisah transpuan di Aceh, “saya sedikit flashback karena pada 2016 kami pernah mengadakan pemutaran film tersebut di IFI dan salah satu narasumber yang kami hadirkan  adalah hakim Qanun Jinayah  Aceh yang tidak percaya dan menolak bahwa film tersebut dari Aceh dan bagi teman-teman yang membutuhkan film tersebut silahkan menghubungi kami,” tuturnya.

Kesetaraan atas hak asasi warga negara yang masih perlu terus diperjuangkan. 

Pernyataan sekaligus pengantar penutup diskusi datang dari seorang penonton yang menyampaikan apresiasi atas sorotan pada perempuan atau istri seperti dalam film Eismayer, “Menurut saya tidak harus menikah, ada alternatif lain,” ujarnya.

Yudi menanggapi bahwa pernikahan yang mengadopsi nilai heteronormatif sebaiknya dilihat secara kritis seperti yang terjadi pada film ini dimana kemudian ada posisi istri yang ditinggalkan. Yudi juga menegaskan bahwa Suara Kita pada saat ini tidak sedang memperjuangkan pernikahan same sex bagi komunitas yang terepresi atas gender dan seksualitasnya yang berbeda, namun memperjuangkan pemenuhan hak-hak dasar ekonomi, sosial dan budaya (Ekosob) bagi teman-teman komunitas.

Kemudian disambung oleh Putri sekaligus sebagai penutup diskusi. “Pendapat semua orang akan berbeda dan pesan dari sini adalah teman-teman punya jalan yang berbeda dalam membuat perubahan atau menjadi changemakers. Mungkin untuk seseorang, perjuangan untuk pernikahan same sex merupakan milestone. Namun kita perlu menyadari sebelum sampai kesana, ada teman-teman transgender yang E-KTP saja belum punya, seperti pada saat ini juga sedang dilakukan oleh Suara Kita yang membantu teman – teman untuk kepemilikan E-KTP dan jaminan kesehatan serta jaminan sosial,” ujarnya.

Acara ditutup dengan memberikan applause buat Pemutaran Film dan Diskusi.  Semoga Suara Kita bisa hadir di lain kesempatan. (Fio)