Search
Close this search box.

“Pandangan Purba Sangka Melahirkan Kekerasan”

Oleh: Hartoyo*

SuaraKita.org – Kasus perundungan (bullying) sekaligus kekerasan seksual di KPI, yang dilakukan para pelaku pada korban, jika membaca kronologis yang beredar, menunjukkan bahwa;

Pertama, ini satu contoh kekerasan berbasis gender yang korbannya tidak selalu perempuan. lelaki juga dapat menjadi korban kekerasan seksual karena ekspresi/identitas gender tidak diinginkan oleh para pelaku. 

Kedua, para pelaku melakukan tindakan kekerasan seksual itu didasari atas pikiran dan sikap “purba sangka” pada seseorang. 

Korban dianggap “aneh, berbeda”, maka ketika dianggap berbeda muncul pandangan ‘purba sangka’. 

Kemudian sikap purba itu dituangkan pada aksi/tindakan kekerasan kepada korban.

Dalam kasus ini, pandangan “purba sangka” itu berbasis pada gender, bisa ekspresi atau identitas. Dalam kasus lain, pikiran “purba sangka” bisa berbasis ras, adat istiadat, keyakinan, fisik, warna kulit, dst. 

Selama ini pelaku berpikir secara purba, bahwa seorang lelaki mestinya macho, kuat, berani dengan segala imajinasi prasangka “purbanya”. 

Maka ketika ada manusia yang tidak sesuai dengan itu, maka layak diperlakukan tidak manusiawi dan direndahkan martabat kemanusiaannya. 

Cara para pelaku melakukan kekerasan juga sangat khas pada kekerasan berbasis gender;.menyerang identitas seksualnya. Menelanjangi, dan mencoret-mencoret kelaminnya, menyebut banci. Mungkin dicap sebagai homoseksual. 

Kalau pada kasus lain, jika korbannya perempuan, akan dilakukan pemerkosaan atau menelanjangi. 

Ketiga, pikiran penuh “purba sangka” itu, kemudian didukung dengan ketimpangan relasi kuasa. Menjadi klop. Para pelaku semakin merasa punya kuasa penuh atas seluruh tubuh dan kehidupan korban. 

Kita tahu, khas dari kekerasan berbasis gender atau seksual terjadi karena ada ketimpangan relasi kuasa. 

Yang mengerikan sekali, dalam kasus ini para pelaku “berkomplotan” melakukan perundungan dan kekerasan seksual dalam waktu yang lama.

Dan terjadi pula di lembaga negara yang tugasnya menjadi penjaga “moral” publik melalui siaran media publik. 

Dugaan saya kenapa korban sulit mendapatkan keadilan dan kejahatan ini terus terjadi, karena apa yang dialami korban dianggap “wajar”. 

Bahkan pada beberapa kasus kekerasan berbasis gender dilanggengkan dan jadi bahan tertawaan. 

Semoga melalui kasus ini, lembaga KPI, pemerintah kita, dan publik mulai menyadari dan berempati, bagaimana kekerasan berbasis gender dan seksualitas terjadi. 

Baik pelaku, maupun korban bisa terjadi pada jenis kelamin dan gender apapun. Waspada dan hilangkan pandangan purba sangka Anda pada siapapun.

*Hartoyo adalah pendiri Perkumpulan Suara Kita