Search
Close this search box.

Kongres Perempuan Dan Ideologi Pakaian

Oleh: Hartoyo

SuaraKita.org – Waktu Kongres Perempuan I, 22-25 Desember 1928 yang kemudian oleh otak orde baru disebut sebagai hari ibu (bermakna domestifikasi perempuan). 

Saya suka tertarik mengamati gaya pakaian para pesertanya saat itu.  Mereka umumnya bersanggul,  berkebaya dengan sebagian kelihatan “bra” nya.  Perlu dicatat,  bahwa tahun 1928, Islam sudah menjadi agama mayoritas di Indonesia.  

Memang ada yang menggunakan penutup kepala,  tapi umumnya selendang panjang dengan tetap kelihatan rambut. 

Jika Kongres Perempuan itu berulang saat sekarang,  tahun 2020. Dipastikan pesertanya akan berubah gaya penampilannya.  

Mungkin sudah sangat sulit ada peserta bersanggul, berkain jarik, atau berkebaya transparan. Walau menggunakan kain tradisional tetap akan ada.  

Dipastikan terjadi pergeseran penampilan dalam soal pakaian yang dipakai peserta.  

Pakaian memang salah satu produk budaya,  yang sangat biasa terjadi pergeseran atau berubah model dari tahun ke tahun atau dari generasi ke generasi.  

Dan pergantian pakaian secara filosofis pada model pakaian seseorang atau komunal bisa juga dilatarbelakangi oleh satu ideologi atau nilai tertentu. 

Disitulah menariknya membahas soal pakaian,  karena bukan hanya soal penutup tubuh, dalam artian tujuan kesehatan atau mode semata. 

Tetapi ada satu kemungkinan nilai,  ideologi atau hegemoni yang bekerja di dalamnya. Dan makin menariknya, sebagian dari kita tanpa sadar bahwa ada sistem yang bekerja pada tubuh kita melalui “selembar” kain tersebut. 

Semua seolah-olah “terberi” begitu saja sebagai sebuah nilai kebenaran yang harus diikuti. Segala rasionalitas diberikan untuk mengukuhkan ideologi/hegemoni itu bekerja. Karena kita memang dididik,  diajarkan nilai itu sejak kecil di rumah,  sekolah atau lingkungan.  Sampai akhirnya kita meyakini itulah “kebenaran” esensial.  

Ini yang menarik sekali dikaji dan dibahas mendalam dalam soal ini.  Dan situasi ini juga berlaku pada jenis kelamin manapun. 

Termasuk lelaki sekarang, mengapa sudah mulai  senang pakai “daster” daripada bercelana atau bersarung?   

Selamat Hari Perjuangan Perempuan Indonesia!