Oleh: Jhon Gobai
SuaraKita.org – Hari terakhir pelatihan Jurnalisme Sastrawi di Jakarta Selatan, Yayasan Pantau menghadirkan seorang aktivis LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender), beragama Muslim untuk berdiskusi seputar perjuangannya. Ia adalah Hartoyo.
Hartoyo duduk di depan, di dampingi Pak Andreas Harsono, pengelola Yayasan Pantau. Peserta diskusi duduk berposisi melengkung menghadap depan dalam ruangan yang berukuran 5 meter kali 2,5 meter. Setiap peserta masing-masing memegang buku catatan dan pulpen di tangan. Saya berada di kursi barisan depan, urutan pertama dari kiri, berikutnya peserta diskusi yang datang dari Lembaga Pers Mahasiswa dari berbagai kota, dengan berbagai latar jurusannya.
Mereka sangat serius mendengar setiap pembicaraannya. Saya duduk berposisi kaki menyilang sambil menikmati kopi hitam yang baru saja saya menyajikan dari meja yang berada di belakang peserta, meja yang tersedia air panas, kopi, gula, teh, dan makanan ringan lainnya.
Ia menceritakan perjuangannya mencoba bangun dari semua perlakuan yang tidak menghargai HAM-nya hanya karena negara-bangsa ini mendiskriminasi dan sering kali mendapatkan kekerasaan hanya karena orientasi seksualnya yang dipersoalkan oleh Negara.
Saya menyaksikan keberanian yang terpancar saat Ia bercerita dengan penuh semangat, terkadang sedih di setiap alur ceritanya.
Kekerasaan dan diskriminasi yang datang, tidak hanya dari kekuasaan Negara, tapi juga dari agama-agama konservatif, juga pers yang meliput pernyataan-pernyataan yang menyudutkan mereka tanpa memahami apa yang diperjuangkan oleh kelompok minoritas ini.
Hartoyo menegaskan bahwa dalam perjuangan ini Ia temukan sebuah keberanian, menjadi manusia yang utuh, menemukan kepercayaannya, bahwa dengan jalan perjuangan ini lah, ketika berhadap-hadapan dengan segalah tantangan, konsekuensi, Ia semakin percaya bahwa perjuangan untuk mencapai negara-bangsa ini dapat menghargai mereka sebagai manusia yang punya Hak Asasi, juga memperoleh perlakuan yang sama sebagai warga negara.
Saya terbawa arus ceritanya ketika Ia berkisah melawan untuk keberaniannya dan berjuang membela kaumnya, mengadvokasi korban sesama kaumnya.
Saya teringat pengalaman terlibat dalam aksi solidaritas kepada kelompok LGBT di Jogja (2015) ketika ormas reaksioner menyerang dan sekretariatnya dibredel. Saat itu saya tak menyadarinya sejauh apa suka-dukanya seperti cerita Hartoyo. Saya bersolidaritas, selain aparat negara, ormas sedang menjadi penghambat ruang demokrasi di Jogja, saat itu.
Sejumlah pertanyaan dari peserta dilemparkan usai Hartoyo bercerita. Tak banyak yang bertanya tentang apa yang diperjuangkan dan apa suka-duka dalam perjuangannya.
Ia tarik nafas, tersenyum sebentar. “Ini pertanyaan yang saya suka.” Katanya. “Suka-duka sih. Diskriminasi, kekerasan terhadap LGBT, tambah menjadi aktivis, tentu dua kali lipat.”
Ia tarik tubuhnya ke belakang, tampak tegak, diam sejenak. Ia menoleh ke samping kiri dan kanan tanpa bersuara.
“Yo, apa yang kamu cari? tanya Pak Andreas sambil berdiri dan membatu cari sesuatu yang Andres juga tidak Ia tahu.
“Air minum, Mas” Jawabnya.
Botol berisi air Mineral itu berada di belakangnya.
Ia lanjut bercerita setelah minum beberapa mililiter.
“Intinya, Gini! Ketika hadapi suka-duka itu, melewati semua tahap itu, saya menemukan keberaniannya. Tidak hanya berani untuk berjuang, tapi inilah hidup saya, bahkan saya sampai tahap menemukan spiritualnya. Bahwa dengan jalan berjuang, menjadi aktivis, ini lah dimana saya temukan kebahagiaan.”
“Saya percaya akan hal itu” Pungkasnya.
Ia berbicara dengan penuh gembira dan saya tenang sebentar lalu mendengarkannya serius.
*
Sangat abstrak menjelaskan kenapa keyakinan saya tentang kebenaran ada di jalanan, turun ke jalan.
Suatu percakapan kawan-kawan mengenai bagaimana sebagian rakyat mencari keadilan dengan merasakan kasih-sayang, mengadu cinta di jalanan. Bersama-sama keluar dari Sekolahan, Universitas, pabrik, kantoran, tempat beribadah, turun ke jalan, melumpuhkan kota dalam kondisi kepal tangan kiri, berjalan menuju titik-titik aksi, pusat-pusat simbol penjajahan, memprotesinya demi cinta dan kasih sayang. Turun ke jalan untuk memprotes tiadanya kedamaian antara rakyat tertindas dan penindas ketika kebebasan diujung tombak M16, demokrasi di manipulasi oleh serdadu, Hak Hidup tak berarti, dipaksa tunduk dibawa segelintir orang berkuasa!
*
Suatu hari sekitar puluhan pemuda/i bertemu dalam satu pertemuan selama seminggu membicarakan kondisi Papua, Indonesia, Dunia yang diwarnai oleh pertentangan. Saya ada disana. Akhir pertemuan itu, seorang kawan Rudy Pravda namanya, Ia mengatakan “Kita bertemu karena perjuangan, berpisah karena melawan” sambil jabat tangan.
Hingga tahun 2019 ini, saya sering jumpa Pravda bersama kawan-kawan petani Galela dalam perlawanan merebut saranan ya (tanah) yang dirampas oleh kelompok manusia yang tak bertanggung jawab. Jalanan menjadi tempat perjuangan mereka. Bagaimana mereka menghadapi Tentara Indonesia yang pro pemodal, perusahaan, demi tanah, untuk masa depan anak-cucu, mereka turun ke jalan.
Begitu juga dengan perjuangan buruh untuk keadilan, penuhi jalanan merupakan kekuatan untuk sebuah kemenangan.
Atau mahasiswa, menjadi aktivis, tidak hanya cukup dengan membaca buku revolusioner, merefleksikannya dalam ruangan dengan model presentasi karya ilmiah, tetapi sesuatu yang ilmiah adalah membaca, menulis, seraya turun ke jalanan, baris berderap nan gagah bersama rakyat, dan mempeloporinya untuk sebuah keadilan.
Begitu pula rakyat Papua yang berjuang untuk bebas dari kolonisasi Imperialisme.
Jalanan menjadi tempat setiap kaum tertindas saling menerima dan merasakan penderitaan, dan mulai mengibarkan panji perlawanan untuk suatu keadilan.
Menemukan/menciptakan keadilan bagi rakyat tertindas merupakan diskursus mengenai mengapa keadilan itu harus diperjuangkan? Siapa yang memonopoli keadilan yang sesungguhnya adalah bentuk dari cinta-kasih dan damai?
Ketika akhir dari pendiskusian panjang tentang kondisi Indonesia dan Dunia, dimana manusia sedang berpetak-petak dalam kelompok-kelompok lalu saling mendefinisikan kebenaran sesuatu pandangannya masing-masing, sehingga kerap mengundang rasisme, sara, diskriminasi rasial, bahkan sangat potensi di Indonesia adalah Isu separatisme kepada Papua, anti komunisme gaya baru kepada gerakan Indonesia, dan agama.
Itu semua dibangun, peran penting dalam hal ini, oleh media. Pers yang tidak bermutu sangat mendominasi. Muatan berita yang tidak netral karena tidak independen tentu melanggengkan kondisi Indonesia hari ini tetap berada dalam rakyat terpecah, dan penindasan terus berlanjut.
Anda saksikan saja bagaimana media nasional memberitakan tentang Papua, buruh, diskriminasi terhadap kelompok LGBT, Agama Minoritas, Tani. Isu Tionghoa, Papua, Jawa, kristen, Islam, dll, itu kualitas muatan berita di Indonesia.
Papua yang berujung pada kepunahan akibat tanah dirampas oleh perkebunan sawit, perusahaan tambang emas dan tembaga, migas multinasional, oleh karena arus transmigrasi seyara membuka perkotaan baru, itu tidak diperhatikan dalam pemberitaan. Atau kondisi 40 ribu pengungsi di Nduga, 182 yang mati di perjalanan dan camp. Sementara kesehatan buruk, gizi buruk, kekurangan makan, yang dialami selama 8 bulan, satu pun pers Indonesia tak seriusi memberitakannya.
Justru tragedi kemanusiaan itu hilang dalam berita kampanye Jokowi ke Papua, bagi-bagi sertifikat, dan sebagainya. Muatan berita jauh mendominasi pers meliput aktivitas pejabat negara dan pemodal, sementara penderitaan rakyat tak dipedulikan. Artinya kesadaran rakyat sebagai elemen penting suatu negara itu dibuahi oleh amplop.
Saya menyadari akan hal ini. Bahwa Gramsci benar, media merupakan alat mencorong dan mengontrol kesadaran rakyat. Ketika Media terpusat di Jakarta (pusat kota penindas) maka sepanjang itu mampu mempengaruhi isi pemberitaannya. Siapa yang mempengaruhi?
Kuantitas muatan berita nasional tentang Papua diwarnai dengan kata separatisme, KKB, GBK. Istilah semacam itu diproduksi oleh rezim dan media menghidangkannya sesuai kemauan majikannya. Kerap pendekatan militer, pembangunan infrastruktur dan penuhi pemodal di Papua menjadi premis yang menarik ketika Jakarta lihat Papua. Itu lah titik dimana membuktikan kurangnya pengetahun tentang Papua. Naluri dan nalar kemanusiaannya tentu dibutakan oleh kekuasaan. Sehingga gagasan pembangunan jalan, otonomi khusus, pendekatan militer menjadi pembicaraan yang terus diulang-ulang untuk mempertahankan kekuasaanya.
Elit kapital-birokrat dan pemodal (industri dan bankir) menjadi dalang dibalik semua ini. Ia menguasai sistem negara, membiarkan dan memelihara koruptor sama halnya kepada para pelaku pelanggar HAM, mengontrol media, memproduksi aturan sesuai kepentingan kekuasaannya. Giliran rakyat memproteksi, Institusi Militer, Pengadilan dan penjara menjadi tempat mengurung gerakan rakyat.
Lantas apa jaminan keadilan ketika program dan apapun regulasi negara tak merubah keadaan?
Kerikil di Jalanan
Berkisah tentang gerakan mahasiswa Papua dan eksistensinya di Jalanan, turun ke jalan merupakan satu rangkaian aksi dari membaca, diskusi, menulis, rapat akbar, mobilisasi massa dan penuhi jalan-jalan seraya mengibarkan panji-panji revolusi di luar Papua, bahkan di Pusat kota Kolonial.
Saya mencatat dalam ingatan setiap peristiwa penting yang membuat keberanian perlawanan itu tetap kukuh.
Sejumlah 306 orang ditangkap dan dikurung dalam penjara Polda Metro Jaya ketika massa aksi Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) dari Jawa dan Bali penuhi Jakarta. 1 Desember 2015, Bundaran Hotel Indonesia membagi massa menjadi dua kelompok akibat tembakan gas air mata dan peluruh. Suhun, massa aksi, lelaki Papua kuliah di Bogor, dikeroyok oleh sejumlah polisi hingga mengenai otak belakang dan dibawa ke Rumah Sakit Otak Nasional Indonesia. Sementara ratusan massa yang sudah diangkut Truk Dalmas sedang melakukan pemeriksaan Polisi di Polda. Aksi peringatan hari kemerdekaan West Papua itu diwarnai oleh penangkapan semena-mena aparat kepolisian.
Perjuangan tidak berhenti disana. AMP segerah memperluas basis di kota-kota seluruh Jawa dan Bali. Bahkan di 2018-2019, melakukan perluasan di Makassar, Ambon dan Kupang. Demonstrasi, turun ke jalan menjadi budaya perlawanan Mahasiswa Papua, seperti gerakan Papua dan Indonesia lainnya yang menyatakan diri gerakan sipil.
Dua tahun kemudian, 2016 Yogyakarta sambut dengan peristiwa pengepungan asrama Papua. Tiga hari dikurung, tidak mendapatkan makanan, sementara Aparat negara (TNI/Polri) bersama ormas reaksioner lainnya mengepung asrama sembari melakukan sweeping motor, angkut motor di parkiran asrama Papua yang hingga saat ini Polrestabes Yogyakarta tidak pernah mengembalikannya. Peristiwa ini pula salah satu Mahasiswa Papua, Obby Kogoya menjadi tersangka Polisi ketika Ia hendak menyelamatkan diri dari kepungan ormas dan Polisi dari depan Asrama Papua.
Sementara kota surabaya dan Malang juga tercatat rekor kota diskriminasi secara rasial sangat masif sepanjang 2017-2019. Asrama Papua Surabaya menjadi tempat apel bagi ormas dan aparat ketika Mahasiswa Papua hendak melakukan diskusi atau sedang bersiap-siap untuk aksi. Itu akan berujung dengan represif, pembubaran diskusi, teror, dan ungkapan rasial tentu menjadi bagian dari ekspresi para pelaku pembrangus ruang demokrasi itu.
Begitu pula dengan kota-kota lain. Aksi AMP Ambon yang berujung dengan penangkapan terhadap 10 massa aksi pada 1 Juli 2019, pembubaran paksa aksi AMP Bali pada 6 Juli, juga pembubaran diskusi di Semarang oleh Intel, Polisi dan Ormas pada 6 dan 27 Juli 2019. Rangkaian pengepungan asrama Papua Makassar pada 2018-19 awal.
Hal itu telah menjadi konsekuensi yang disadari oleh para aktivis mahasiswa ini. Begitu juga KNPB, atau porsi konsekuensi bagi TPN, gerakan sipil di Papua, juga gerakan-gerakan rakyat di Indonesia ketika turun ke jalan berjuang untuk menciptakan kondisi objektif yang baru.
Rezim tak mengindahkan keinginan rakyat untuk bebas.
Tetapi satu hal yang tak pernah disadari oleh rezim ketika ruang demokrasi dibungkam, jalan-jalan dipenuhi pasukan kacang ijo dan kopi-susu, diskusi dibubarkan, dan segala macamnya, disitu keberanian untuk melawan itu makin masif membengkak, dan semakin mempercepat rakyat bangkit dan turun ke jalan-jalan untuk melawan, lantangkan teriakan merdeka, bahwa revolusi hanya akan terjadi ketika rakyat penuhi jalanan dengan kesadaran penuh.
Selain gerakan Papua, saya menyaksikan semangat perlawanan kawan-kawan LGBT saat aksi bersama ketika AMP bersolidaritas di Yogyakarta dan di Jakarta. Begitu juga Tani di Kendeng, rembang melawan, Buruh Bekasi, dan lain sebagainya.
Berkisah tentang represif, diskriminasi rasial, penangkapan, teror yang dihadapi oleh mahasiswa papua, juga rakyat pejuang, ini hanya untuk menyatakan bahwa kenyataan inilah memanifestasi semangat perlawanan itu terus tumbuh dan semakin meluas pula. Semakin dalam/sering menghadapi semakin kami menyadari bahwa ini lah konsekuensi logisnya ketika di jalanan, berjuang untuk keluar dari ketertindasan oleh kekuasaan.
*
Java, Pertengahan Agustus 2019