Oleh: Teguh Iman Affandi
Suarakita.org- Lelah diteror pertanyaan, “Kapan nikah?”, membuat Susi Suketi (bukan nama sebenarnya – red), waria asal Tangerang memutuskan untuk menikah dengan perempuan.
Susi berusia 25 tahun ketika bertemu dengan calon mempelai perempuannya. Saat itu, dia sedang menjelajahi jagad Facebook. Kemudian, bertemulah dia dengan teman masa kecilnya, Nia, yang juga masih ada hubungan keluarga. Susi pun mulai berpikir. Bagaimanapun, dia tetap dilihat sebagai laki-laki dalam keluarganya. Setelah dia matang berpikir, dia pun memutuskan untuk menikahi Nia. “Daripada gue ditanyain ‘Kapan nikah?’ mulu, mumpung ada cewek yang mau juga, ya udah gue nikahin aja,” ungkap Susi.
Lalu, Susi pun mengutarakan niatnya itu kepada kedua orang tuanya. Bukan main senangnya Ayah dan Ibu mendengar niatan Susi itu. Mereka pun langsung menyiapkan pesta pernikahan untuk Susi. Semua keperluan pesta, dibiayai oleh orang tuanya. Susi cukup duduk manis dan menyaksikan saja. “Namanya orang tua ngelihat anaknya nikah, siapa yang enggak seneng,” kata Susi.
Namun ada hal yang terlupakan oleh Susi ketika dia memutuskan menikah. Susi lupa bahwa menikah bukan hanya sekedar akad di hadapan penghulu. Akan tetapi ada segudang tanggung jawab yang mengikutinya setelah akad. Setelah pesta usai. Lalu para tamu, satu per satu pulang, Susi mulai sadar. “Mau dibawa ke mana ini (pernikahan – red)?” pikir Susi.
Saat malam pertama, sang istri mencoba untuk melakukan kontak fisik. Namun yang terjadi, Susi merasa sakit. Dadanya sesak. Badannya demam. Batinnya tersiksa. “Tubuhku ini bukan untuk Kamu”, jerit batin Susi. Sekelibat rasa sesal merasuk hati Susi. Ya Tuhan, kalau tidak berjodoh kenapa dipertemukan, kalau tidak berjodoh kenapa tidak digagalkan. Begitulah raungan pikiran Susi. Akhirnya, tidak ada malam pertama bagi sang istri. Keesokannya, Susi jatuh sakit selama seminggu.
“Enggak bisa ya? Enggak usah bohong. Enggak usah pura-pura, jujur aja.” kata Nia, sang istri, ketika Susi tidak mau berhubungan seks. Susi tidak bisa berkelit lagi. Setelah satu minggu sakit, Susi mencoba melakukan kontak fisik. Dia pun berimajinasi bahwa yang ada dihadapannya bukanlah sosok istrinya, melainkan orang lain. Tidak ada kecupan. Tidak ada kata-kata rayuan. Susi langsung mempenetrasinya.
Dua bulan setelah menikah, sang istri bilang kalau dirinya hamil. Betapa gembiranya keluarga Nia dan Susi. Nia adalah anak pertama di keluarganya, sementara Susi di mata keluarga adalah anak lelaki satu-satunya. Jadi, kehadiran cucu amat dinanti oleh kedua keluarga. Namun bagi Susi sendiri, kaget dan bingung, itulah yang pertama kali ada dalam pikirannya. “Bagaimana bisa, aku kan pernah terapi hormon, hubungan seks juga jarang.” kata Susi.
Susi Kalut. Ketika masa kehamilan Nia memasuki usia 3 bulan, Susi memilih tidak pulang ke rumahnya. Dia lebih memilih tinggal di rumah kedua orang tuanya. Cukup lama dia tidak pulang, hingga sang Ibu menyuruh Kakak perempuan Susi untuk bicara padanya. Rapat keluarga pun dilakukan. Susi pun disidang di hadapan keluarga intinya. Dalam pertemuan keluarga itu, Susi mengaku bahwa pernikahan yang dia lakukan hanyalah formalitas belaka. Orang tuanya pun marah. Namun Susi berontak. “Kan kalian udah tahu, kalo aku mah bencong.” teriaknya.
Kakak perempuan Susi mulai menenangkan. “Sekarang terserah Susi saja”. Keluarga pun mengikhlaskan jika Susi ingin bercerai, tetapi lakukan setelah si jabang bayi lahir. Enam bulan kemudian, Susi pun bercerai dari Nia, baik secara agama maupun negara.
Kini, si jabang bayi sudah berusia lima tahun. Sudah masuk sekolah Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD). Hubungan Susi dengan Istrinya sudah biasa saja. Mereka kini berteman baik. Susi tetap memenuhi kebutuhan sang anak, baik itu baju, uang saku, ataupun pendidikan. Susi pun konsisten berdandan seperti biasa.
“Jangan pernah bohongi perasaan, jadilah diri sendiri,” itulah prinsip Susi saat ini.