SuaraKita.org – Menempuh perjalanan panjang menggunakan transportasi kereta commuter line dan dilanjutkan dengan sewa mobil online ditempuh Suara Kita untuk sampai ke Institut Pertanian Bogor (IPB) yang terletak di daerah Dramaga, Bogor. Pada hari Senin (29/07), SuaraKita mendapat undangan dari mahasiswi program Doktoral, Sarah Nila untuk menghadiri sidang terbuka dikampusnya.
Sarah Nila adalah salah satu mahasiswi program doktoral jurusan Biosains Hewan yang akan mempertahankan disertasinya di Sidang Terbuka pagi itu. Penelitian yang dikerjakan Sarah berjudul Karakteristik Biologi dari Lelaki Penyuka Sesama Jenis di Indonesia. Sarah, yang lahir pada 30 April 1988 di Jakarta, telah mengerjakan penelitian ini secara mandiri selama 3 tahun dan telah berhasil mempertahankan disertasinya pada Sidang Tertutup yang diadakan pada 15 Juli 2019 yang lalu.
Dr Bambang Suryobroto, Ketua Dewan Promosi yang membimbing penulisan disertasi Sarah, yang memimpin jalannya Sidang pun memperkenalkan para anggota Dewan Promosi, Dekan, Kepala Program Studi dan Dosen Penguji yang akan bertugas pagi itu. Adapun Dosen Penguji yang bertugas adalah Dr Wolly Candramila dari Universitas Tanjungpura dan Dr Agyo Demartoto dari Universitas Sebelas Maret. Sedangkan para anggota Dewan Promosi, yang juga membimbing proses penulisan, adalah Prof. Michel Raymond, Dr Puji Rianti dan Dr Berry Juliandi.
Judul besar yang diangkat oleh Sarah dalam disertasinya dinilai berbeda dan berani di tengah masyarakat yang saat ini kurang menerima isu LGBT. Berulang kali Dr Bambang mengingatkan para hadirin sidang, bahwa penelitian yang dilakukan mengatasnamakan ilmu pengetahuan berdasarkan ilmu biologi, sehingga hal ini pun harus disikapi secara bijak. Oleh karena itu, Sarah, yang juga sempat mengunjungi kantor SuaraKita untuk mendapatkan informasi mengenai LGBT, pun dengan sangat baik menjelaskan fenomena ini dari sudut pandang Biologi.
Dalam sidang ini Sarah menjelaskan bahwa fenomena preferensi homoseksual lelaki telah menjadi teka teki yang sampai saat ini belum bisa terpecahkan. Apabila lelaki dengan preferensi homoseksual, yang dapat diturunkan secara genetik, itu menikah dengan sesama jenis, maka logikanya populasi preferensi homoseksual diekspektasikan menurun di populasi. Namun, keberadaan preferensi homoseksual lelaki sudah ada sejak awal sejarah manusia hingga hari ini di tengah masyarakat. Sehingga bermunculan hipotesis baru untuk menyelidiki apa penyebab dari fenomena ini.
Ada yang namanya hipotesis seleksi kin, yaitu ketika lelaki homoseksual yang tidak bereproduksi secara langsung, dapat meningkatkan kesuksesan reproduksinya secara tidak langsung melalui kesuksesan reproduksi saudara kandungnya. Maksudnya adalah komposisi gen-gen yang sama yang dimiliki oleh lelaki homoseksual juga dapat menurun kepada generasi selanjutnya karena sharing komposisi gen-gen yang sama dengan saudara kandung lelaki tersebut. Namun hingga saat ini, hipotesis seleksi kin ini tidak bekerja sendirian untuk menjelaskan keberadaan lelaki homoseksual di masyarakat berdasarkan hasil yang Sarah dapatkan.
Studi lain di masyarakat barat menemukan bahwa lelaki homoseksual terlihat lebih feminin dan memiliki lebih banyak kakak lelaki apabila dibandingkan dengan lelaki heteroseksual. Oleh karena itu penelitian ini juga mencoba menampilkan dan memberikan perbandingan wajah antara lelaki homoseksual dan lelaki heteroseksual, yang mana yang lebih maskulin atau feminin. Berdasarkan hasil penilaian masyarakat, wajah lelaki homoseksual terlihat lebih feminim dibandingkan lelaki heteroseksual. Menariknya, hasil analisis morfologi wajah yang dilakukan oleh Sarah menunjukkan tidak ada perbedaan yang signifikan antara bentuk wajah lelaki homoseksual dan heteroseksual.
Selain itu, lelaki homoseksual di Indonesia ditemukan memiliki jumlah kakak lelaki yang lebih banyak dibanding lelaki heteroseksual yang menunjukkan efek dari kakak lelaki ini ada dalam populasi Indonesia.
Namun demikian, terlepas dari orientasi seksual yang mereka miliki, lelaki yang tidak memiliki kakak lelaki terlihat lebih feminin. Hal ini berkaitan dengan mekanisme sistem imun ibu. Beberapa ibu membuat antibodi untuk melawan benda-benda yang berkaitan dengan kromosom Y ketika Ibu tersebut mengandung anak lelaki. Mekanisme ini ternyata memengaruhi produksi kadar prenatal testosterone yang memengaruhi perkembangan struktur otak yang berkaitan dengan preferensi seksual. Sistem imun ini juga memengaruhi kadar prenatal testosterone yang menyebabkan perbedaan morfologi anak lelaki yang dikandungnya.
Setelah mempresentasikan materi disertasinya, ada beberapa pertanyaan yang menghujani Sarah pada pagi itu. Yang paling menarik perhatian adalah, apakah preferensi homoseksual ini memiliki pola dalam urutan kelahiran dan apakah ada efek dari kakak perempuan dalam preferensi homoseksual lelaki. Sarah menjawab hal ini dengan bijak bahwasanya tidak ada pola yang pasti untuk mengetahui anak keberapa yang akan menjadi homoseksual, namun feminisasi pada lelaki yang disebabkan oleh faktor ibu tadi mungkin bisa sedikit menjelaskan. Menurut Sarah, penelitian lebih lanjut perlu dilakukan untuk memahami mengapa urutan lahir lelaki mempengaruhi orientasi seksual pada lelaki. Sedangkan efek saudara perempuan tidak memberi pengaruh terhadap orientasi seksual hasil mekanisme system imun ibu ini; beberapa studi juga menyatakan hal yang serupa. Hal ini dikarenakan ibu tidak membuat antibodi ketika mengandung anak perempuan, karena walaupun embryo adalah benda asing bagi ibu, namun mereka memiliki kromosom yang sama (yaitu kromosom X).
Satu hal yang perlu digaris bawahi bahwa ada dua hal yang harus kita cermati. Perilaku homoseksual dan preferensi homoseksual. Perilaku homoseksual dapat dilakukan oleh siapa saja, bahkan oleh yang heteroseksual sekalipun. Perilaku ini pun dapat terjadi apabila di keadaan dan di tempat-tempat tertentu, contohnya seperti orang-orang di dalam penjara. Namun preferensi homoseksual merupakan sebuah variasi preferensi seksual layaknya heteroseksual; tidak terjadi pada semua insan manusia dan tidak semua orang memiliki preferensi homoseksual. Sarah pun turut menegaskan, bahwa preferensi homoseksual sama sekali tidak menular karena itu sudah bawaan sejak lahir (sama halnya seperti preferensi heteroseksual) dan belum ada studi yang membuktikan bahwa preferensi homoseksual menular.
Akhirnya sidang ditutup dan para Dosen Penguji dan Dewan Promosi melakukan rapat singkat mengenai hasil Sidang Terbuka tersebut. Sarah pun dinyatakan lulus dengan sangat layak untuk mendapatkan gelar tertinggi yang diberikan oleh suatu lembaga pendidikan tinggi, yaitu Doktor. Kita doakan semoga rencananya untuk melanjutkan studi Post-Doctoral di luar negeri dapat berjalan dengan baik dan yang terbaik bisa diberikannya. Proficiat, Doktor Sarah Nila! (K.O)
Jurnal penelitian dapat diunduh pada tautan berikut:
[gview file=”http://suarakita.org/wp-content/uploads/2019/08/Kin-Selection-and-Male-Homosexual-Preference-in-Indonesia.pdf”]