SuaraKita.org – Dekriminalisasi tindakan homoseksual disambut baik oleh industri hiburan India tetapi tantangan tetap ada sebelum karakter dan alur cerita yang lebih beragam muncul di layar.
Pada 6 September 2018 lalu , Mahkamah Agung India dengan suara bulat memutuskan bahwa Pasal 377, sebuah hukum pidana era kolonial yang mengkriminalisasi hubungan sesama jenis di negara itu dan membuat mereka dihukum hingga 10 tahun penjara, tidak konstitusional dan melanggar hak-hak dasar warga negara India.
Dengan putusan itu, pengadilan tertinggi India telah secara efektif mendekriminalisasi homoseksualitas di negara ini. Keputusan bersejarah itu disambut dengan curahan sukacita dan antusiasme dari tokoh-tokoh paling menonjol di industri hiburan India. Bollywood kelas berat seperti Priyanka Chopra, Deepika Padukone, Aamir Khan, Karan Johar, Anil Kapoor dan banyak lagi men-tweet dukungan mereka untuk komunitas LGBT India dan kebahagiaan mereka atas keputusan Mahkamah Agung.
Meski begitu, industri film India hanya memiliki sedikit waktu untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan hukum yang baru. Hasil pengamatan suasana di antara para pembuat film India di Festival Film Mumbai ke-20 dan konsensus yang berlaku adalah bahwa perubahan dalam hukum akan memberikan peluang untuk cerita yang lebih beragam tetapi hambatan budaya dan struktural yang signifikan tetap ada.
“Para “penjaga gawang”, mereka diperintah oleh kearifan tradisional, dan kebanyakan dari mereka hanya mencari alasan untuk mengatakan tidak. Hukum lama memberi mereka alasan untuk itu,” kata sutradara Sudhanshu Saria yang mengacu pada studio dan produser yang menjalankan industri film India. “Saya pikir ini adalah langkah ke arah yang benar. Secara profesional, saya merasa itu adalah satu alasan buruk bagi seorang produser atau investor yang sebelumnya menghindari proyek Anda, menghindar untuk memilih Anda ketika Anda datang dengan sesuatu yang diatur dalam lingkungan homoseksual. Saya tidak mengatakan bahwa mereka akan terburu-buru melakukannya dengan tangan terbuka; saya masih merasa semua orang seperti biasa menginginkan romansa boy-meets-girl. Tapi, sekarang ada satu alasan hukum yang menghambat mereka untuk mengatakan tidak,” kata Sudhanshu Saria.
Film karya Sudhanshu Saria tahun 2015, “Loev” , yang disambut hangat di festival internasional dan pemutaran perdana India di Festival Film Mumbai pada 2016, adalah film India langka yang menampilkan hubungan homoseksual sebagai elemen kunci dari cerita. Dibintangi Shiv Pandit dan almarhum Dhruv Ganesh, Loev mengambil pendekatan yang lebih bernuansa cinta sesama jenis dan juga menangani masalah perkosaan homoseksual.
Bahkan sebelum putusan Mahkamah Agung, adegan sinema independen India jauh lebih terbuka dalam merangkul tema dan karakter LGBT. Film “Fire” tahun 1996 karya Deepa Mehta, yang menggambarkan hubungan lesbian antara dua perempuan yang terjebak dalam pernikahan tanpa cinta, adalah salah satu film LGBT independen paling awal dan paling signifikan di sinema India.
Pada Festival Film Mumbai tahun ini, film karya Rima Das berjudul “Bulbul Can Sing” menampilkan karakter yang dapat ditafsirkan sebagai gay meskipun tidak dinyatakan secara eksplisit. Rima Das mengatakan bahwa dia ingin menunjukkan karakter ini, karena terlepas dari keputusan Mahkamah Agung, di desa-desa, orang-orang bahkan tidak menyadari seperti apa rasanya menjadi gay.”
“Mereka bingung tentang seksualitas dan mereka bahkan tidak tahu bahwa hal ini ada, yang merupakan alasan saya ingin memperkenalkan karakter ini dan menginginkannya untuk dihormati,” tambahnya.
Fokus Rima Das pada perubahan sikap sosial yang berlaku senada dengan pandangan Sudhanshu Saria sendiri, dan dia melihat sikap-sikap itu sebagai rintangan untuk melihat sinema yang lebih beragam di India. “Jika Anda memberi saya pilihan antara mengubah hukum dan mengubah sikap sosial, saya akan selalu memilih sikap sosial. Saya tidak berpikir itu adalah sesuatu yang bisa hilang dalam semalam. Anda tidak akan memiliki orang-orang yang mengatakan ‘Oh sekarang hukumnya sudah dihapus. saya akan berhenti menjadi bigot’” jelas Sudhanshu Saria.
Setiap perubahan dalam merangkul lebih banyak cerita dan karakter LGBT yang terfokus akan datang dari sinema independen dibandingkan dengan dari Bollywood, kata Vinay Mishra, salah satu pendiri HumaraMovie, sebuah perusahaan yang berfokus pada para pembuat film muda. “Saya pikir tidak mungkin kita akan melihat sesuatu yang keluar dari pemain yang lebih besar atau studio yang lebih besar,” kata Mishra, yang perusahaannya memproduksi feature bertema gay berjudul Lala & Poppy yang disutradarai oleh Kaizad Gustad.
Vinay Mishra yakin perubahan dalam hukum akan membuat perbedaan, tetapi dia yakin bahwa pasokan akan mendikte permintaan daripada sebaliknya. “Tentu saja orang-orang membicarakan hal ini , tetapi di sisi permintaan akankah orang-orang benar-benar menerima konten semacam ini? Banyak yang bergantung pada siapa yang menciptakan jenis konten LGBT ini dengan kepekaan dan kecerdikan yang tepat. Tapi saya yakin pasokan akan meningkat. Itulah yang akan mendorong hal ini, saya pikir akan jauh lebih besar dari permintaan untuk jenis konten ini,” kata Vinay Mishra.
Meskipun enggan untuk membelok terlalu jauh dari formula boy-meets-girl, Bollywood dalam beberapa tahun terakhir, telah mengambil langkah kecil untuk memperkenalkan karakter LGBT. Dua contoh terbaru termasuk “Aligarh” karya Hansal Mehta , sebuah drama berdasarkan kisah nyata dan dibintangi oleh Manoj Bajpayee sebagai seorang akademisi yang dipecat dari jabatannya karena menjadi gay, dan “Kapoor & Sons” dari Fox India , sebuah komedi yang menampilkan seorang putra gay yang coming out kepada keluarganya.
Pada akhirnya, baik Sudhanshu Saria dan Vinay Mishra setuju pada perangkulan cerita-cerita bertema LGBT di Bollywood tetap mengarah pada apakah film-film ini dapat menguntungkan. “Ini semua hanya mengenai uang. Saat film bertema LGBT menghasilkan uang, 10 judul film bertema yang sama akan diluncurkan dan semua akan senang,” kata Sudhanshu Saria.
Sudhanshu Saria menambahkan: “Ini semua benar-benar positif, tapi saya hanya ingin memastikan bahwa kita tidak melebih-lebihkan perubahan hukum, bahwa kita tidak melebih-lebihkan efeknya pada keengganan atau keinginan industri untuk membuat lebih banyak film tentang subjek-subjek ini.
“Saya pikir industri film di sini,” tambahnya, “sama seperti di sebagian besar Hollywood , hanya memikirkan uang.” (R.A.W)
Sumber: