Search
Close this search box.

Menelusuri Ruang Queer Sebagai Transgender Muslim Dari Kalangan Menengah Bawah

Oleh: Jamal Siddiqui*

SuaraKita.org – Saya berasal dari keluarga Muslim dengan tingkat ekonomi kelas menengah kebawah. Menelusuri ruang Queer menjadi tantangan hidup saya, karena agama saya dan juga karena lingkungan saya. Ada beberapa orang yang mengakui tentang hak istimewa mereka dan beberapa orang bahkan tidak mempedulikan untuk mengakuinya. Dan bagi orang-orang seperti saya yang tidak memiliki banyak hak istimewa, kami berjuang untuk menemukan jalan di ruang-ruang ini. Hal ini bukan hanya karena saya ingin cerita saya atau pengalaman saya didengarkan orang tetapi juga karena saya mencari rasa hormat dan penerimaan untuk saya. dalam cara saya.

Ayah saya berasal dari keluarga dalit miskin di Kolkata, India di mana rumah-rumah kami sangat sempit. Ada 8-10 orang yang tinggal di satu ruangan. Anak-anak mulai bekerja bahkan sebelum mencapai pubertas. Ayah saya bahkan mengubah nama belakangnya pada dokumen untuk meninggalkan kastanya. Karena kasta menunjukkan dari mana seseorang berasal, sistem kasta di India sangat kejam. Sehingga ayah saya memilih gelar kasta atas dan begitu juga saudara-saudaranya. Semuanya memiliki nama keluarga kasta atas yang berbeda. Kemudian Ayah saya bergabung dengan Angkatan Udara dan mulai hidup di barak-barak Angkatan Udara. Saya lahir di rumah sakit tentara. Karena pekerjaan Ayah, kami sering berpindah rumah sehingga saya telah tinggal di banyak kota di India.

Ketika saya memasuki usia 20 tahun, saya diperkenalkan ke dunia Queer. Menjadi seorang pemula pada waktu itu, saya melihat ada banyak kelompok namun hanya ada sedikit orang yang benar-benar ingin berinteraksi dengan seorang pemula. Akhirnya, setelah beberapa waktu, saya diperkenalkan ke komunitas transgender, kemudian saya memulai transisi saya. Saya tidak pernah malu menjadi seorang Muslim dan juga seorang lelaki dari kelas menengah ke bawah. Setelah itu, saya mulai berkencan dengan perempuan kelas atas yang juga seorang aktivis dan saat itulah banyak hal mulai berubah. Saya ingat ketika saya ditambahkan ke grup Whatsapp yang berisi kelompok transgender lelaki. Dalam kelompok informal ini, seorang lelaki mulai mengirim pesan dalam kelompok tentang Islam menjadi buruk dan konservatif. Kemudian ada yang mulai bertanya kepada saya pertanyaan tentang agama saya. Yah, itu bukan pertama kalinya saya harus membela diri sebagai seorang Muslim, namun itu adalah permbelaan pertama saya pada komunitas berbeda. Insiden semacam itu telah menjadi hal yang biasa bagi saya. Namun pada komunitas ini ada juga beberapa orang yang mendukung anggota kelompok seorang Muslim. Maksud saya ialah, kita semua sama, saya sama seperti orang lain dan orang lain juga sama seperti saya. Saya makan, saya minum dan saya buang kotoran. Terkadang saya juga menjadi tanda bagi orang untuk menilai apakah diri mereka seorang sekuler. Karena disini berteman dengan seseorang Muslim akan membuat Anda menjadi seorang sekuler. Tapi itu tidak semua, hal yang menarik dari semuanya adalah ada banyak orang mengubah nama mereka menjadi nama yang terdengar Muslim.

Jika Anda berpikir agama adalah subjek yang rumit, maka tunggulah “kelas”. Kelas dalam komunitas queer adalah sesuatu yang menarik sekaligus membuat frustrasi. Pengelompokan diukur dengan seberapa lancar dan fasihnya bahasa Inggris Anda. Saya bisa sedikit menulis, berbicara dan mengerti bahasa Inggris. Namun saya tidak begitu mahir dalam bahasa Inggris yang baik dan benar karena saya hanya belajar melalui pembelajaran jarak jauh. Kendala lain, saya benar-benar tidak bisa mengerti banyak kata yang diucapkan di kalangan aktivis. Kalau saja mereka memiliki kursus kilat tentang bagaimana menjadi aktivis dan bagaimana artikulasi dalam bahasa aktivis.

Orang-orang seperti saya mencoba mengenakan pakaian mahal dan barang mewah sehingga kami tidak terlihat orang dari kelas menengah atau bawah. Karena orang-orang di komunitas ini juga memiliki kebiasaan meremehkan orang-orang yang tidak memiliki kelas yang sama dengan mereka. Nah ada banyak orang yang menyadari privilese (hak istimewa) kelas ini. Tapi mengapa orang-orang seperti itu tidak berteman dengan seseorang yang berasal dari kelas bawah?

Saya jarang menemukan orang dari kelas bawah sebagai aktivis. Pertama-tama, kami tidak mampu menggunakan bahasa Inggis yang baik dan karena kami tidak tahu “bahasa aktivis”, sangat sulit untuk menarik perhatian orang dan membuat mereka mendengarkan apa yang ingin kami katakan. Jika Anda tidak tahu bahasa ‘aktivis’, Anda tidak cocok di kalangan aktivis. Apalagi saya tidak punya uang dan waktu luang untuk melakukan aktivisme. Saya menghabiskan sebagian besar waktu saya bekerja keras untuk mendapatkan roti dan mentega dan karena saya berasal dari keluarga kelas menengah bawah, saya tidak dapat mengharapkan ayah saya untuk mendukung saya secara finansial juga. (D.Ibrani)

*Jamal Siddiqui adalah seorang Muslim yang sekarang sedang mengikuti kursus di Media Digital dan komunikasi. Dia adalah anggota kelompok Nazariya yang bernama Soch dan sangat tertarik dengan isu-isu transgender lelaki. Di waktu luangnya, ia suka membaca buku-buku rohani dan menonton film sci-fi. Dia juga suka bermain dengan kucing miliknya dan pasangannya.

Sumber:

galaxy