Search
Close this search box.

Seorang Perempuan Fiji Berbagi Kisah Ketika Melela Pada Keluarga Katoliknya

SuaraKita.org – Bula (salam dalam bahasa Fiji), namaku Elizabeth Koroivulaono. Saya berumur 29 tahun dan berasal dari pulau indah bernama Matuku, Fiji.

Saya berasal dari keluarga besar Fiji dan memiliki tiga saudara lelaki dan dua saudara perempuan. Sekarang saya tinggal di Auckland, Selandia Baru selama delapan tahun 

Jujur, saya membutuhkan waktu enam bulan di tahun 2008, dalam pertempuran batin dalam memutuskan untuk akhirnya menerima ketertarikan saya pada sesama 

Saya banyak berdiskusi dengan teman tentang hal itu, di mana kami membicarakan implikasi yang akan ditimbulkan pada anggota keluarga saya.

Saya berasal dari keluarga Katolik dan keluarga tradisional yang kuat – dan seperti yang kita semua tahu, pernyataan untuk tertarik pada jenis kelamin yang sama bukanlah pertanda baik dengan gereja atau budaya.

Saya adalah orang yang suka membuat ‘daftar’, jadi wajar bila dihadapkan dengan persimpangan jalan, saya menulis sebuah daftar. Daftar Pro dan Kontra mengapa saya harus menjadi ‘diri saya yang sebenarnya’.

Saya merenungkan daftar itu dan seiring berjalannya waktu, saya mendapati diri saya sedang bermimpi tentang masa depan dengan seorang perempuan. Semakin hari semakin saya mengenang, semakin saya tersenyum, semakin saya tersenyum, saya sadar inilah saya, inilah saya.

Inilah yang saya inginkan, dan saya tidak malu karenanya.

Menjelang akhir tahun 2008, saya terbangun pada suatu pagi di kamar asrama saya, masih di tempat tidur, dan berkata dengan suara keras ‘Saya suka perempuan’.

Tidak ada lagi penyangkalan atas ketertarikan yang saya rasakan kepada sesama perempuan.

Dan begitulah – sebuah beban besar yang baru saja diangkat dari saya dan saya tahu kelanjutannya, saya harus memberi tahu keluarga saya dan memberi mereka waktu untuk memproses informasi baru tersebut.


Memberitahu keluarga saya

Berlanjut ke tahun 2009, dengan kebebasan yang baru tentang siapa diri saya yang sebenarnya. Tapi entah bagaimana itu masih merupakan kebebasan rahasia karena saya belum pernah berbicara dengan keluarga saya.

Saya rasa waktu adalah segalanya – jadi menurut saya itu harus menjadi saat yang tepat. Waktu yang tepat datang kemudian di tahun 2009.

Setelah berkencan dengan pacar pertama saya selama beberapa bulan, saya sadar bahwa saya tidak ingin merahasiakannya.

Ditambah lagi saya terus digiring oleh beberapa anggota keluarga saya tentang berkencan dengan ‘atlet rugby ganteng’ dan ‘Kenapa saya belum punya pacar?’. Padahal saya berada di Selandia Baru – menurut mereka.

Akhirnya saya memutuskan untuk mulai bercerita kepada keluarga saya satu per satu, dimulai dengan saudara perempuan saya. Mereka menerimanya dengan sangat baik; mereka mencintai saya (Saya bangga dengan siapa saya dan ada rasa percaya diri di dalamnya, dan bahkan jika hasilnya tidak positif, saya tahu dan saya sangat percaya bahwa keluarga saya mencintai saya dan hanya menginginkan saya bahagia).

Selanjutnya adalah orangtua saya. Saya ingin mengatakannya secara langsung, jadi saya menunggu waktunya saya pulang kampung pada bulan Desember.

Namun, saudara perempuan saya memberi tahu Ibu saya terlebih dahulu – alasan mereka, memberi dia waktu untuk memproses informasi sebelum saya pulang. Saya kesal karena itu adalah cerita saya yang harus saya bagi, bukan milik mereka, tapi ketika melihat ke belakang saat sekarang – saya mengerti mengapa mereka melakukannya.

Tapi mungkin mereka juga bisa memberi tahu ayah saya dan menyelamatkan saya dari kegelisahan.

Mengetahui bahwa pacar saya sedang menunggu di Selandia Baru, memberi saya keyakinan kuat bahwa semuanya akan baik-baik saja – jadi saya terus berlatih mengucapkan kata-kata.

 

Memberitahu ayah

Saya ingat ketika saya memberi tahu ayah saya, saya sangat khawatir dengan reaksinya.

Ibu dan saudara kandung saya duduk di ruang duduk sementara saya masuk ke kamar orang tua untuk mengobrol dengan ayah. Saya membiarkan pintu terbuka untuk mengantisipasi jika harus lari keluar.

Ayah saya suka pijat, jadi saya menawarkan untuk memijat kakinya sementara kami mengobrol tentang tahun kedua saya sekolah di Selandia Baru.

Butuh waktu sekitar 40 menit untuk akhirnya melela dan mengucapkan kata-kata:

‘Ayah, saya suka perempuan dan saya punya pacar di Selandia Baru’.

Pada titik ini saya memperhatikan rute pelarian saya dan berharap kepada Tuhan bahwa refleks saya lebih cepat dari pada tangan ayah saya.

Saya merasa tubuhnya tegang dan kemudian bahunya terjatuh – dia kemudian bertanya kepada saya:

‘Apakah kamu bahagia noqu lewa (gadisku)?’

Saya menjawab:

“Ya, ayah.”

Dan begitulah – dia bilang ‘hanya itu yang penting’ – titik.

Saya bangkit dan meninggalkan ruangan itu kembali ke ruang tengah – di mana saya memutar ulang apa yang baru saja terjadi pada ibu dan saudara kandung saya, yang sama terkejutnya dengan saya, atas reaksi ayah.

Saya rasa orang tidak boleh berasumsi. Meskipun Anda berasal dari keluarga katolik dan tradisional yang kuat – pada akhirnya, walaupun kedengarannya klise  – cinta memang mengalahkan semua.

Cintai diri sendiri

Saya pikir melela kepada keluarga saya akan menjadi bagian yang paling sulit dan paling menantang dalam perjalanan hidup saya, tapi saya salah.

Bagi saya, itu tentang penerimaan diri karena berbeda dari semua hal yang saya ketahui dan itu menantang banyak pemikiran dari diri saya.

Beberapa tahun kemudian, saya jauh lebih bahagia dan terus didukung oleh keluarga dan teman dekat saya.

Selandia Baru menyediakan tempat yang aman bagi saya untuk menjadi diri saya sendiri – sesuatu yang membuat saya akan selalu menghargai negara ini.

Hal paling keren saat telah melela dan bangga kepada diri sendiri hari ini adalah kebebasan untuk mencintai tanpa diskriminasi, berjalan-jalan bersama pasangan, untuk sekadar merayakan siapa diri Anda. (R.A.W)

Sumber:

Coconet TV

GSN