SuaraKita.org – Saya melela kepada diri sendiri sebagai transgender ketika saya berumur 30 tahun dan merasakan keinginan kuat untuk mendapatkan terapi hormon dan menjalani operasi pada tubuh bagian atas.
Rasanya seperti mendapatkan rasa bahagia dan nyaman di tubuh saya. Saya tidak sabar untuk merasakan sesuatu yang saya inginkan. Sebuah kecocokan antara tubuh dan pikiran saya.
Sebelum transisi, saya terlihat sebagai perempuan feminin. Gemar memakai gaun mewah. Saya mencintai tas tas dan kosmetik mahal.
Saya mencintai semuanya, dan ibu saya mencintai itu semua. Tapi yang paling penting, saya sangat menyayangi ibu saya.
Kami memiliki hubungan ibu dan anak perempuan yang dinamis. Kami melakukan segalanya bersama-sama. Hubungan kami berpusat di sekitar melakukan hal-hal feminin bersama-sama.
Akhirnya, sebuah kenyataan datang kepada saya bahwa semua tindakan feminin ini tidak lebih dari sebuah pertunjukan semata.
Perasaan tersebut seakan menjadi lebih jelas bahwa meskipun saya telah berbagi segala sesuatu dengan ibu saya sampai sekarang, ada sesuatuyang besar yang akan terjadi.
Saya tidak bertemu ibu saya selama beberapa bula, karena dia merawat nenek saya yang sedang sakit keras. Mereka juga sangat dekat.
Saya bertanya-tanya, apakah akan lebih baik menunggu sampai nenek saya meninggal dan ibu saya telah melewati masa berduka.
Pada saat itu, saya mulai mengikat dada saya dan hidup sebagai lelaki. Saya takut untuk menceritakannya kepada ibu saya, mengetahui hal tersebut bisa mengubah segalanya – hanya dengan satu kata.
Saya menyukai semua waktu yang kami habiskan bersama-sama, tapi apakah dia masih mau melakukan hal-hal tersebut dengan seorang anak lelaki?
Bisakah kita berbelanja bersama? Saya masih ingin melakukan pedikur, tapi bisakah ibu saya pergi dengan saya di acara pertemuan kecil kami? Seorang transgender lelaki?
Pemakaman nenek
Ibu dan saya berbagi kamar hotel pada malam sebelum pemakaman. Begitu banyak yang telah terjadi sejak terakhir kali saya bertemu dengannya. Hal ini menimbulkan ketegangan antara kami.
Dia mengenal saya dengan baik, dan dia selalu bisa tahu jika ada sesuatu yang tidak saya ceritakan padanya. Pagi itu ibu berada di depan cermin sambil merias dirinya dan saya sedang menyetrika sebuah kemeja hitam. Beberapa bulan yang lalu saya pernah berada di kamar di sampingnya, kami mengenakan gaun sambil sibuk merias diri di depan cermin
Saya merasakan sebuah perasaan tidak nyaman dalam diri saya, saya merasa sedih tidak dapat mengikat dada. Saya takut jika saya harus berpura-pura menjadi orang yang saya tidak inginkan.
Ibu saya terus melihat ke arah saya, dan saya tahu dia ingin mengatakan sesuatu.
Akhirnya, ia meletakkan pensil eye liner, berpaling kepada saya dan bertanya: ‘Amy, kenapa kau berpakaian begitu maskulin?’.
Kecemasan menyelimuti tubuh saya dan tiba-tiba serangkaian kalimat meluncur begitu saja dari mulut saya.
Awalnya memang sulit
Di sinilah kami, tiga puluh menit sebelum pemakaman nenek saya dan saya melela ke ibu saya.
Saya mengatakan kepadanya bahwa saya sedang menjalani proses transisi, mendapatkan terapi hormon, bahkan sekarang saya sedang dalam proses perubahan nama saya.
Ibu masih belum sepenuhnya percaya kepada saya, ‘ayolah Amy. Itu tidak benar ‘dia berkata kepada saya. Ini hanya sebuah fase! Kamu suka melakukan peraatan kuku dan berbelanja ‘.
Tapi jawaban saya sangat sederhana:
‘Tentu saja, saya masih suka melakukan hal itu. Saya seorang lelaki gay ‘!.
Aku kadang masih merasa bersalah karena melela di saat yang tidak tepat, tapi saya merasa lega untuk melepaskan perasaan sesak di dada.
Butuh beberapa waktu bagi ibu saya agar membiasakan diri memanggil saya Ames dan menggunakan kata ganti laki-laki, tapi saya tahu dia berusaha keras untuk melakukan hal yang terbaik.
Saya selalu melibatkan dirinya di setiap aspek dalam proses transisi saya dan terus membuka pintu untuk pertanyaan dan percakapan.
Ini adalah proses transisi bagi kami berdua. (R.A.W)
*Ames Beckerman adalah seorang fotografer dan komedian yang bermukim di Brooklyn, Amerika Serikat.
Sumber: