Search
Close this search box.

SuaraKita.org – Ikut berpawai di sepanjang jalan-jalan di Dili, ibukota Timor Leste dengan bendera pelangi di tangannya, Natalino Guterres merasakan keharuan, mengingatkannya akan bagaimana perasaannya 15 tahun yang lalu ketika dia melihat bendera Timor Leste dikibarkan untuk pertama kalinya pada tahun 2002. “Ini adalah momen yang sangat emosional,” katanya tentang Timor Leste Pride Parade.

Natalino bersama sekitar 500 orang lainnya ikut ambil bagian di pride parade pertama yang diselenggarakan di Timor Leste. Suasananya diibaratkan sebuah karnaval, dengan para peserta yang mengibarkan bendera pelangi, bersorak –sorai sambil menabuh drum di jalanan ibukota.

Pemerhati mengatakan parade pada  bulan lalu tersebut merupakan tonggak sejarah bagi negara sebesar setengah pulau itu – negara demokrasi termuda di Asia – dan sebuah suar harapan untuk wilayah dimana tindak pelanggaran hak-hak LGBT semakin meningkat.

Hak LGBT di negara berpenduduk 1,2 juta orang tersebut belum menjadi fokus utama. Berita utama internasional tentang negara ini didominasi oleh berita tentang perlawanan selama  24 tahun terhadap pendudukan oleh negara tetangga, Indonesia, yang diakhiri oleh diproklamirkan kemerdekaan Timor Leste pada tahun 2002. Namun aktivis mengatakan stigma sosial dan diskriminasi adalah hal yang umum terjadi pada individu LGBT.

Perilaku seks sesama jenis tidak dikriminalisasi berdasarkan undang-undang Timor Leste namun pemerintah juga tidak menawarkan perlindungan terhadap diskriminasi.

Diusir dari rumah, mengalami perundungan di sekolah

Natalino Guterres, seorang konsultan pembangunan yang mengelola sekelompok pemuda yang menyelenggarakan parade tersebut, mengatakan bahwa banyak orang seperti dia tumbuh dengan perasaan “kesepian” dan tidak tahu ke mana harus berpaling saat mereka mengalami diskriminasi.

“Jika Anda berbicara dengan komunitas (LGBT), mereka telah diusir dari rumah atau merasa tidak nyaman pergi ke sekolah karena mereka mengalami perundungan. Mereka tinggal dari rumah ke rumah karena mereka tidak diterima di rumah mereka sendiri.

“Itulah sebabnya, visibilitas komunitas LGBT itu penting. Kami ingin memberdayakan orang-orang yang masih berjuang,” kata Natalino yang berusia 27 tahun tersebut kepada Thomson Reuters Foundation melalui telepon dari Dili.

Perdana Menteri Rui Maria de Araujo memberikan dorongan kepada pendukung hak LGBT saat dia merekamsebuah  pesan melalui video menjelang demonstrasi yang mendesak orang Timor untuk menciptakan sebuah negara yang inklusif, dan menerima orang-orang dengan orientasi seksual dan identitas gender yang berbeda.

Seruan tersebut merupakan “kilasan kepemimpinan yang disambut baik di tengah para pejabat di kawasan yang secara terbuka memicu kefanatikan anti-LGBT”, kata Kyle Knight, seorang peneliti hak LGBT,dari Human Rights Watch yang berbasis di New York.

Meskipun pengadilan tinggi Taiwan memutuskan untuk mendukung pernikahan sesama jenis pada bulan Mei, membuka jalan bagi negara tersebut untuk menjadi tempat pertama di Asia untuk melegalkan ikatan hubungan pasangan LGBT, laju gerakan tentang penegakan  hak LGBT di tempat lain di kawasan ini masih lamban.

Di negara tetangga, Indonesia, komunitas LGBT menghadapi serangkaian serangan sejak tahun lalu dimana pejabat senior mengatakan bahwa tidak ada ruang untuk gerakan penegakan hak LGBT, sementara pihak berwenang menahan 141 lelaki dalam penggerebekan klub gay pada bulan Mei lalu.

Pada bulan yang sama juga, dua lelaki Indonesia  dihukum cambuk dengan tuduhan melakukan hubungan seksual sesama jenis di provinsi Aceh yang sangat konservatif yang memiliki undang-undang Islam.

Di Malaysia, otoritas kesehatan memicu kegemparan publik bulan lalu karena mengadakan sebuah kontes video tentang bagaimana “mencegah” homoseksualitas, dan dipaksa untuk mengubah aturan kompetisi.

Namun Kyle Knight mengatakan Timor Leste masih dapat menawarkan lebih banyak hal kepada komunitas LGBT dengan memberlakukan undang-undang yang melarang diskriminasi berdasarkan identitas seksual.

“Kondisi hukum Timor Leste saat ini menyajikan perpaduan antara keheningan, perlindungan dan kesenjangan bagi orang-orang LGBT,” kata Kyle, mengibaratkan nama lain untuk negara Asia Tenggara.

Perjalanan panjang menuju kesetaraan

Pawai  yang didukung oleh kelompok internasional termasuk jawatan dan diplomat PBB telah meningkatkan harapan di antara komunitas LGBT di Timor Leste, dan memberikan dorongan kepada masyarakat untuk memperdebatkan topik tersebut.

“Isu LGBT telah disebunyikan selama ini, sekarang saatnya untuk membicarakannya,” kata Felix Maia, juru bicara U.N. Women untuk Timor Leste, yang ikut serta di pawai tersebut.

“Ini menciptakan polarisasi opini, tapi kita hanya bisa memulai untuk meningkatkan kesadaran saat orang-orang mulai membicarakannya,” katanya.

Natalino Guterres mengatakan masih ada perjalanan yang panjang untuk mencapai kesetaraan,  tapi dia optimis, karena dia telah melihat bagaimana sikap keluarganya telah berubah selama bertahun-tahun.

Saudara kandungnya, yang mendiamkannya selama dua tahun setelah Natalino melela sebagai gay, muncul di pride parade dengan memakai baju yang bertuliskan slogan “Anda tidak sendiri” dan naik ke atas panggung bersamanya.

“Dia memeluk saya di atas panggung dan mengatakan bahwa dia sangat bangga dengan saya,” katanya. “Kami sama-menitikkan air mata.” (R.A.W)

Sumber:

 

Reuters