Search
Close this search box.

SuaraKita.org – Berita bahwa Taiwan akan menjadi yang pertama di Asia yang memberikan hak kesetaraan pernikahan menjadi viral di situs web China daratan dan media sosial. Sekali lagi, hak-hak LGBT telah menjadi topik hangat dan semakin banyak orang China bergabung dalam diskusi publik mengenai hal tersebut.

China selalu menegaskan bahwa Taiwan adalah bagian dari mereka yang tak dapat dipisahkan, dan satu alasan utama adalah bahwa orang-orang di China daratan dan Taiwan berbagi darah China yang sama dan akar budaya Konghucu yang sama. Sekarang Taiwan telah menunjukkan kepada orang-orang China daratan bahwa darah dan budaya China yang sama, walaupun dalam administrasi yang berbeda, juga dapat menerima kesetaraan pernikahan. Menghadapi kenyataan tersebut, warga China daratan tergerak untuk meninjau kembali posisi mereka tentang hak-hak LGBT.

Tidak diragukan lagi, dengan latar belakang globalisasi, China daratan juga dipengaruhi oleh tren pergerakan hak LGBT internasional, walaupun ruang lingkup, kecepatan, dan tingkat pengaruh hal tersebut dapat diperdebatkan.

Pada tahun 1997, pemerintah China menghapuskan undang-undang tentang yang mengkriminalkan homoseksualitas. Pada tahun 2001, Chinese Society of Psychiatry mendeklasifikasi homoseksualitas sebagai gangguan mental. Setelah tahun 2001, homoseksualitas tidak lagi didefinisikan sebagai kejahatan atau penyakit dalam konteks resmi, dan sejak saat itu, komunitas LGBT China telah menemukan ruang yang relatif nyaman, tempat berkumpul dan hiburan malam khusus LGBT berkembang di kota-kota besar China; Topik homoseksualitas tidak lagi menjadi tabu bagi media China. Semakin banyak penelitian yang berpusat seputar masalah LGBT di China

Dibandingkan dengan sesama LGBT di Barat, kaum LGBT China tidak perlu menghadapi tekanan dari kelompok agama yang ekstrem, dan pemerintah China cenderung permisif terhadap status mereka saat ini selama mereka tidak terus memaksa meminta bermacam-macam hak. Namun, LGBT China terus berjuang untuk mendapatkan hak yang mereka inginkan.

Pada tahun 2015, seorang mahasiswa China menggugat Kementerian Pendidikan China mengenai buku teks akademis yang menggambarkan homoseksualitas sebagai “kelainan”, ini adalah kasus pertama di negara ini. Pada tahun 2016, satu tahun setelah Mahkamah Agung Amerika Serikat melegalisasi kesetaraan pernikahan secara nasional, pasangan gay Cina menuntut hak yang sama dari pemerintah China. Mereka menuntut Kantor Catatan Sipil China karena menolak permohonan mereka untuk menikah pada bulan Desember 2015.

Meskipun akhirnya mereka kehilangan kasus mereka, 2 kasus tersebut, serta semua laporan-laporan yang berfokus pada mereka, mengilhami lebih banyak orang yang memperjuangkan hak-hak LGBT.

Banyak artikel yang berpendapat bahwa sumber tekanan terbesar pada komunitas LGBT China berasal dari keluarga mereka. Namun, sebuah kasus baru-baru ini menunjukkan bahwa nilai-nilai keluarga tradisional – bahwa anak-anak lelaki di China bertanggung jawab atas nama keluarga – juga berubah.

Baru-baru ini, banyak orangtua dari anak-anak LGBT China berkumpul di sebuah taman di kota Shanghai yang terkenal dengan “pasar jodoh”. Sama seperti orang tua anak-anak lain (heteroseksual) yang belum menikah, orang tua dari anak-anak LGBT ini memiliki tujuan untuk menemukan pasangan yang sesuai untuk anak-anak mereka di taman nasional tersebut. Seorang ibu mengatakan: “Jika orang tua dengan anak heteroseksual bisa berada di sini, orang tua dari anak LGBT juga bisa berada di sini … Saya di sini untuk mencari pasangan untuk anak saya”. Walaupun sempat ada pemberitaan bahwa mereka akhirnya diusir oleh aparat keamanan.

Bagaimanapun, diskusi nasional tentang hak LGBT dan kecenderungan opini publik tentang LGBT bergerak menuju arah yang lebih rasional dan reseptif di China, terutama setelah keputusan tentang kesetaraan pernikahan Taiwan. (R.A.W)

Sumber:

The Diplomat