Suarakita.org – Lia Darjes, seorang fotografer berbasis di Berlin, mengaku bahwa dia mengerjakan proyek foto terbarunya dengan satu kesan yang salah. Dapatkah Anda benar-benar nyaman mengidentifikasi diri baik sebagai Muslim dan LGBTQ? Dia tidak begitu yakin.
“Pada titik ketika saya mulai mengerjakan proyek ini, saya sendiri tidak berpikir bahwa ada queer Muslim yang berhasil mendamaikan dua bagian dari identitas mereka,” katanya. Lia mendapat sebuah pelajaran dari kesalahannya.
Di seri foto karyanya yang berjudul, “Being Queer. Feeling Muslim” yang dikerjakan antara tahun 2013 sampai 2015 menangkap wajah dan cerita tentang Muslim LGBTQ yang tinggal di Eropa dan Amerika Utara.
Queer Muslim – sebuah kelompok sering kurang terwakili dan disalahpahami – keberagaman mereka layak untuk membuka mata dengan cerita-cerita mereka, untuk didengar oleh dunia yang sering gagal untuk mendengarkan.
- Ludovic, dari Paris, mengatakan menjadi gay dan Muslim membuka matanya tentang ketidakadilan yang dihadapi oleh banyak kelompok tertindas.
“Pada 2012, setelah saya tidak menemukan satu pun imam di Perancis yang bersedia untuk mengubur seorang transeksual Muslim, saya mendirikan sebuah masjid yang inklusif dan terbuka untuk semua di Paris. Reaksi yang diterima cukup keras. Menjadi Muslim, Arab dan gay sampai ada anggota dari beberapa kelompok minoritas membuka mata saya. minoritas sedang didiskriminasi terutama di saat krisis ekonomi. Kita harus belajar lebih banyak tentang Islam, dan kita harus memahami siapa kita sebenarnya dalam rangka untuk melawan homofobia”.
2. Samira, dari Toronto, tidak mengerti mengapa orang lain tidak bisa melihat bahwa umat Islam sama beragamnya dengan umat Kristen.
“Saya berasal dari negara di mana menjadi gay akan berhadapan dengan hukuman mati. 1979, ketika Revolusi Islam dimulai, keluarga saya berimigrasi ke Kanada, di mana saya dibesarkan dengan paham yang cukup sekuler; mungkin itu sebabnya saya tidak pernah memiliki momen melela kepada orang tua saya, saya pikir mereka selalu tahu bahwa saya lesbian. Ketika peristiwa 9/11 terjadi, tiba-tiba saya menjadi Muslim – bukan karena saya berperilaku berbeda tetapi karena orang melihat saya berbeda. Hanya dengan melihat nama saya dan orang-orang akan bertindak berbeda. Mengapa mereka tidak mengerti bahwa ada begitu banyak paham yang berbeda dalam Islam di berbagai negara, tradisi yang berbeda, bentuk yang berbeda? Mengapa mereka bisa menerimanya untuk Kristen dan Yahudi tetapi tidak untuk Islam?”
3. Joey, dari Los Angeles, pernah menjadi seorang ateis, tapi kisah yang kuat dalam sebuah novel membuka matanya tentang Islam.
“Saya adalah seorang ateis cukup kuat dan kemudian saya membaca novel karya Michael Muhammad Knight,‘The Taqwacores,’cerita fiksi tentang gerakan punk Muslim. Saya membelinya, membacanya hanya dalam beberapa hari dan itu membuka mata saya lebih banyak tentang agama. Di satu sisi, saya sangat ortodoks di pikiran saya saat meletakkan komunitas LGBT dan Islam bersama-sama. Karena pada pandangan pertama, terlihat gelap ketika Anda melihat dalam Quran dan Hadis, jelas tidak bisa. Tapi kemudian Anda dapat membaca sumber-sumber lain, ayat-ayat lain dari Quran, Hadis lain, dan jelas bahwa semua itu adalah tentang bagaimana Anda memutuskan untuk menafsirkannya “.
4. Amin, dari Los Angeles, kadang dia merasa seolah-olah sedang berjuang di dua pertempuran. LGBTQ dan komunitas Muslim.
“Saya menemukan diri saya di tengah-tengah dua front – kadang-kadang berjuang dalam komunitas Muslim untuk lebih toleransi kepada LGBT, dan di waktu lain memerangi LGBT dan non-Muslim terhadap Islamofobia yang merajalela di negeri ini. Saya merasa berkewajiban untuk mendidik orang-orang di kedua belah pihak. Pada saat yang sama, saya tidak merasa perlu untuk divalidasi oleh siapa pun. Saya tidak merasakan gejolak batin yang besar karena berbagai komponen identitas saya. Seperti, saya tidak selalu merasa gembira dengan prospek sebuah masjid bagi orang-orang gay. Jika ada sebuah masjid besar dan orang-orang datang dan berdoa bersama, saya masih akan merasa tidak nyaman – gay atau tidak. Tapi aku merasa seperti orang harus memiliki hak untuk melakukan itu. Apakah itu aneh? Apakah seperti saya berada dalam penyangkalan?”
5. El-Farouk, dan pasangannya, Troy, dari Toronto, percaya bawa Al-Qur’an mendukung untuk penerimaan LGBTQ.
“Di mana saya sekarang bukan bukan berarti disitu saya memulai. Namun saya bisa katakan bahwa tempat saya sekarang saya merasa bahagia. Tapi perjalanan saya ke tempat ini adalah tidak mudah. Saya mulai dengan gagasan bahwa menjadi gay adalah berdosa dan bahwa mereka yang melakukannya adalah orang yang bermasalah. Tapi hal tersebut tidak terlihat benar dalam konstruksi yang lebih besar dalam Qur’an dan dalam ajaran nabi yang diajarkan dan saya percayai. Saya tidak percaya bahwa homoseksualitas adalah dosa karena seksualitas dalam Islam bukanlah dosa. Seksualitas adalah sesuatu yang telah diberikan Tuhan. Dalam Al-Qur’an surat Al-Hujuraat ayat ke-13 Allah berfirman bahwa dia menciptakan manusia dengan bermacam suku dan bangsa agar saling mengenal dan belajar satu sama lain. Saya hanya melihat LGBT sebagai salah satu negara atau suku.”
6. Sara, dari New York, selalu merasa diberdayakan namun tidak dibatasi oleh iman Islamnya.
“Islam tidak pernah menjadi bagian dari hidup saya dimana saya merasa dibatasi olehnya. Islam selalu menjadi sumber kekuatan. Saya merasa bahwa saya melela sebagai Muslim daripada melela sebagai queer. Banyak orang memiliki prasangka yang sangat kuat dari bagaimana seorang perempuan Muslim terlihat dan bagaimana dia berperilaku. Meskipun ketika saya berbagi dengan orang-orang tersebut sebagai sesuatu yang sangat penting bagi saya, mereka sering sangat bingung “.
7. Jason, dari Los Angeles, mengatakan bahwa dia masuk Islam awalnya tentang hubungan kepada Tuhan.
“Ketika saya masuk Islam beberapa tahun yang lalu, menjadi gay bukan masalah bagi saya. Waktu itu saya baru saja menyadari bahwa saya ingin menjadi seorang Muslim. Ketika masuk Islam pada saat itu, sebagai seseorang yang baru saja masuk Islam, semua hal adalah tentang hubungan saya dengan Tuhan, dan semakin dekat dengan Tuhan. Sebulan kemudian, saya menyadari bahwa saya perlu untuk melihat apa yang Al-Qur’an dan semua orang katakan tentang menjadi gay. Waktu itu, segalanya sangat negatif dan hal itu sangat mengganggu saya”
Kemanapun Lia Darjes pergi, dia menemukan orang-orang yang ingin terlihat dan ingin berbagi cerita dan ide-ide mereka. Homophobia dan transphobia sering digunakan sebagai alat untuk melakukan diskriminasi terhadap LGBT Muslim. Tapi dengan memberikan orang lain landasan pemikiran melalui serangkaian foto-foto karyanya, Lia Darjes seorang heteroseksual, cisgender dan tidak mempraktekkan Islam – mengatakan bahwa dia berharap pelajaran yang didapatnya membantu pergeseran sikap yang lebih luas untuk menerima LGBTQ dari agama minoritas.
“Membongkar stereotip menjadi hal yang menarik bagi saya” katanya. (R.A.W)
Foto karya Lia Darjes lebih lanjut dapat dilihat di laman pribadinya www.liadarjes.com
Sumber: