Search
Close this search box.

[Opini] Memaknai Kembali Kekerasan Berbasis Gender

Oleh: Hartoyo*

SuaraKita.org – Selama ini kekerasan berbasis gender selalu dikampanyekan sekaligus diterapkan oleh gerakan perempuan. Bahkan kekerasan berbasis gender (KBG) seperti sudah masuk dalam program-program integrasi baik di organisasi sosial (LSM) maupun swasta dan pemerintah. Misalnya organisasi perempuan sangat keras membuat aturan standard prosedur soal larangan poligami dan kekerasan seksual. Sehingga praktek poligami dan segala bentuk kekerasan seksual dimasukan sebagai kekerasan berbasis gender. Termasuk juga soal aturan-aturan berpakaian, bagian dari kekerasan berbasis gender.

Penyebab dari kekerasan berbasis gender terjadi karena ketimpangan gender (bias gender) yang hidup di masyarakat dan negara. Hal ini ditegaskan oleh Farid Muttaqin, kandidat Doktor Socio-cultural Anthropology di Binghamton University, bahwa kekerasan “berbasis gender” karena konstruksi (sosial-politik) gender yang bias. Kekerasan berbasis gender tidak akan terjadi dalam suatu domain sosial-budaya yang bersih dari ideologi patriarkisme dan bias gender. Dengan menekankan akar sosial ini, kita dapat memahami kekerasan berbasis gender sebagai kejahatan sosial, dalam arti bukan sekedar kejahatan hukum.

Ada banyak macam dan bentuk kekerasan berbasis gender. Sebelum membahas itu, penulis akan meyampaikan apa itu kekerasan berbasis gender. Kekerasan berbasis gender, jika kita cari di beberapa informasi internet melalui google terutama yang berbahasa Indonesia, umumnya masih mengacuh pada kekerasan antara laki-laki dan perempuan.

Misalnya yang dituliskan oleh organisasi PKBI Yogyakarta menjelaskan soal KBG adalah, “Semua tindakan membahayakan yang dilakukan di luar kehendak orang tersebut yang didasarkan atas perbedaan peran laki-laki dan perempuan”. Penekanannya pada perbedaan peran laki-laki dan perempuan. Definisi ini dan cakupan kekerasan berbasis gender umumnya masih mengacuh pada relasi atau peran antara laki-laki dan perempuan dan yang umumnya korban adalah perempuan.

Padahal menurut penulis kekerasan berbasis gender ruang lingkupnya sangat luas, bukan hanya karena ke vaginaan seseorang menjadi korban tetapi juga karena identitas gender lainnya, misalnya karena ekspresi dan orientasi seksualnya. Berdasarkan itulah, penulis mencoba membongkar wacana berbasis fakta apa itu sebenarnya KBG. Penulis mencoba merumuskan berangkat dari pengetahuan dan refleksi soal apa itu KBG:

“Kekerasan berbasis gender adalah sebuah tindakan atau sikap seseorang/institusi pada individu ataupun kelompok yang tujuannya baik langsung maupun tidak langsung untuk merendahkan, memarginalkan, menghilangkan dan mensubordinatkan karena; identitas sex biologisnya (vagina-penis, interseks), jenis kelaminnya (laki-laki, perempuan, transgender), ekspresi diri (maskulin-feminin, androgini, querr), orientasi seksualnya (heteroseksual, homoseksual, biseksual, aseksual). Kekerasan berbasis gender itu meyebabkan individu/kelompok kehilangan/kesulitan mendapatkan haknya sebagai warga negara/manusia dalam bidang ekonomi, sosial, politik maupun budaya.”

Padahal, gender sebagai sebuah alat analisis atau konsep pemikiran cukup kuat dijadikan fondasi gerakan sosial untuk melihat kekerasan berbasis tubuh dan seksualitas. Tetapi menurut penulis dalam prakteknya konsep itu tak cukup dipahami atau diinternalisasi di hampir semua gerakan sosial termasuk dalam gerakan perempuan sendiri.

Misalnya modul atau training gender selama ini tak cukup mampu menjawab persoalan KBG sendiri. Masihnya modul-modulnya terlalu sentral pada vagina, padahal persoalan kekerasan berbasis gender bukan hanya persoalan vagina dan penis saja, tetapi ada hal yang lebih luas lagi meyangkut ekspresi, identitas dan orientasi seksual seseorang.

Dampaknya karena pemahaman KBG yang masih sangat berpusat pada vagina, masih banyak gagap para aktivis ketika berhadapan pada isu-isu baru soal tubuh dan seksualitas, misalnya isu keberagaman orientasi seksual dan ekspresi gender.

Padahal sebagai sebuah konsep gender yang sudah sangat kuat, semestinya kita tak perlu panik atau kaget ketika peran-peran, simbol-simbol, ekspresi, identitas gender dan fungsi-fungsi saling tukar menukar pada identitas manusia apapun, baik yang disebut laki-laki, perempuan maupun transgender.

Misalnya ketika manusia berpenis meyebut diri sebagai perempuan tetapi memainkan ekspresi maskulin/feminin/androgini, dia tetap manusia yang harus dihormati. Tak perlu bingung, apakah dia bernama laki-laki, perempuan, waria, transgender atau tak bernama. Karena bukankah konsep gender itu adalah produk konstruksi sosial yang semestinya sangat cair dan berubah-ubah dalam konteks ruang dan waktu?

Dari paparan itu, menurut penulis, minimal bila kita mau melihat KBG dapat dibagi dalam beberapa bagian:

Pertama, karena tubuh fisiknya, manusia yang bervagina mau meyebut diri perempuan ataupun laki-laki, transgender akan lebih rawan mengalami kekerasan dibandingkan manusia yang memiliki penis. Jadi kerawanannya karena ke vaginaannya, bukan karena jenis kelaminnya (laki-laki atau perempuan). Sehingga seseorang yang memiliki vagina jauh lebih rawan diserang secara seksual dibandingkan dengan orang yang berpenis. 

Kedua, manusia yang mengekspresikan diri secara feminin, lebih rawan mengalami kekerasan dibandingkan yang maskulin. Maka jangan heran manusia yang berpenis atau bervagina yang sangat feminin menjadi lebih rawan mengalami kekerasan atau bullying dibandingkan sosok maskulin, baik yang melekat pada manusia berpenis maupun yang bervagina. Itu makanya individu yang meyebut diri sebagai waria atau transgender kehilangan semua akses hak dasarnya sebagai warga negara.

Ini yang sering penulis kritik terhadap Komnas Perempuan (KP), semestinya KP menangani kekerasan berbasis gender, bukan hanya kekerasan berbasis kelamin fisik, vagina saja. Walau KP sekarang mulai mengenal istilah jenis kelamin sosial dan kelamin biologis. Tetapi pengakuan itu masih belum dituangkan dalam lingkup strategi-strategi program yang lebih meyeluruh. Penulis berharap KP sudah mempunyai rumusan yang lengkap soal apa KBG, sehingga gerakan yang dilakukan mengacuh pada ruang lingkup KBG tersebut. Kalaupun tentunya akan ada skala prioritas.  Artinya kedepannya lingkup individu yang dibantu oleh Komnas Perempuan bukan hanya berbasis vagina saja tetapi lingkup kekerasan berbasis gender.

Ketiga, manusia yang tak memerankan orientasi seksual secara heteroseksual (baca: homoseksual, biseksual ataupun aseksual) akan jauh lebih rawan mengalami kekerasan dibandingkan heteroseksual. Maka jangan heran, seorang berpenis, meyebut diri laki-laki, berperan sangat maskulin, profesi militer tetapi orientasi seksualnya homoseksual akan rawan mengalami kekerasan. Kasus-kasus seperti ini sering luput dikaji dan dibahas sebagai sebuah kekerasan berbasis gender.

Dari tiga contoh konsep itu, menurut penulis, maka ketika bicara soal kekerasan berbasis gender, mulailah membuka diri dan melihat persoalan kekerasannya lebih luas, minimal dari tiga hal itu. Sehingga fondasinya menjadi sangat kuat ketika berhadapan pada identitas-identitas yang beragam dari gender tersebut.

Sekali lagi, kritikku terhadap sebagian gerakan sosial perjuangan KBG masih bersentral pada vagina saja. Berharap kedepannya kita mampu dan mau membuka diri untuk memahami secara secara kaffah (meyeluruh -Red.), apa itu sebenarnya kekerasan berbasis gender.

 

*Ketua Pengurus Perkumpulan Suara Kita