Oleh: Jane Maryam*
SuaraKita.org – Bulan November tahun ini boleh dibilang “sesuatu betul!” dimulai dengan berita lokal mengenai aksi demo 4 November 2016 di Jakarta terhadap Gubernur Ahok dan berselang beberapa hari berikutnya yaitu 9 November publik dunia dikejutkan oleh kemenangan Trump sebagai Presiden Amerika Serikat yang ke-45. Kedua berita itu tentu saja memunculkan banyak komentar dan berselisih paham di sosial media sampai tidak mengherankan ada yang memutus pertemanan ‘unfriend’, ‘unfollow’, bahkan diblokir karena ketidaksamaan perspektif. Satu hal yang patut kita syukuri ialah perkembangan teknologi komunikasi saat ini membuat banyak orang menjadi lebih melek sama politik daripada sekedar menonton pertandingan sepak bola.
Kalau saya boleh meraba menganalisa kedua situasi tersebut dari kacamata Psikologi Sosial, maka saya bisa bilang keduanya masih terkait dengan apa yang disebut, “political correctness”. Kerangka pemahaman political correctness melibatkan bagaimana cara kita berperilaku dan bersikap terhadap lingkungan tertentu yang dianggap sesuai atau pantas. Semantik linguistik memainkan peran penting disini sebagaimana berita lokal memborbardir penistaan agama yang dilakukan Ahok atau keagresifan Trump yang disorot dunia dalam menanggapi aborsi, imigran Muslim, imigran Latin, LGBT, dan berbagai skandal yang pernah ia lakukan.
Lalu yang menjadi pertanyaan kita bersama ialah mengapa Ahok yang memiliki kompetensi performansi kerja yang baik selama ini bisa dimobilisasi oleh seperangkat kelompok tertentu dengan motif penistaan agama dan rasis? Begitupula halnya Trump yang kemudian bisa memenangkan kompetensi Presidensial di Amerika padahal ia cenderung dipandang anarkis dan tipe kepribadian machiavellianisme (perpaduan antara narsistik, manipulatif, dan psikopat)?
Ada sebuah istilah teoretis yang disebut, “the Dunning-Kruger effect” yaitu dipakai untuk menjelaskan ketika seseorang dianggap tidak peduli atau ignorance, tetapi orang itu tidak sadar akan ketidakpeduliannya tersebut. Boleh dikatakan saking banyaknya orang terpapar oleh berita-berita yang beredar di sosial media selama ini membuat daya nalar kita terkadang sukar membedakan mana yang hoax mana yang sahih. Otak kita sudah terlalu lelah! Overloaded!
Kehadiran Trump tentu akan membawa pengaruh signifikan terhadap dunia. Pun isu lokal mengenai Ahok membuat kita semua memertanyakan ulang lagi tentang nasionalisme Indonesia itu sejatinya seperti apa sih? Apakah kehadiran sosial media sekarang ini membangkitkan persona-persona yang over-sensitif untuk merasa terancam akan kehadiran kelompok-kelompok lain di luar dari kelompoknya? Konservatif agama merasa terancam akan liberalisme, sebaliknya liberalisme dimanfaatkan oleh sejumlah kelompok untuk menyuarakan hak-haknya. Sehingga kita tidak memungkiri menjadi panik dalam memaknai sosok heroik dalam kelompok sosial masa kini jika dibandingkan pahlawan-pahlawan terdahulu.
Satu hal yang pasti hari Pahlawan yang jatuh pada tanggal 10 November 2016 ini sepi dari tampilan google doodle pada layar komputer saya. Mungkin para programmer terlalu sibuk dengan Trump. Sehingga melupakan logo Google yang biasanya muncul pada event atau peringatan yang ada di Indonesia. Semoga ini bukan sebagai dampak awal tidak langsung dari figur Trump di Amerika pada dunia termasuk Indonesia. Karena di Indonesia ada istilah ‘kepo’ yang membuat jaket Presiden Jokowi lebih dicari daripada omongan Buni Yani. (R.A.W)
Daftar Pustaka:
Adyatama, E. (2016, November 4). Demo 4 November Pendemo Mulai Sesaki Seputaran Monas. Nasional Tempo. Diakses dari https://nasional.tempo.co
Danning, D. (2011). The Dunning-Kruger Effect: On Being Ignorant of One’s Own Ignorance. Advance in Experimental Social Psychology, V. 44, pp. 247 – 296.
How Donald Trump won the US election. (2016, November 9). Diakses dari http://www.bbc.co.uk/newsround/37907169
Hughes, G. (2010). Political Correctness: A History of Semantics and Culture. UK: John Wiley & Sons Ltd.
Sumber:
Janeontheblog
*Jane Maryam adalah seorang blogger, penggemar meditasi yoga, lulusan Fakultas Psikologi Universitas Diponegoro