Oleh: Zachary Zane*
SuaraKita.org – Bagi sebagian dari kita, melela kepada keluarga atau teman adalah salah satu hal yang tersulit selama hidup. Setelah melela, kita berpikir bagian tersulit telah dilalui. Kita berpikir bahwa kita dapat sedikit bernafas lega. Ya sebagian orang akan menolak dan kata-kata mereka akan terasa sangat menyakitkan. Tapi setelah melela, kita akan merasa seperti ada beban yang terangkat dari bahu. Kita dapat merasa menjadi diri kita sendiri. Kita akan merasa dapat membuka halama baru di kehidupan kita.
Meskipun demikian, beberapa dari kita akan kembali melela, kali ini sebagai sesuatu yang berbeda.
Melela lagi tidak terbatas pada satu seksualitas atau gender. Banyak dari kita di masyarakat LGBT kembali melela untuk kedua kalinya. Melela lagi tidak akan sama seperti berkata “saya gay” untuk pertama kalinya dihadapan orang tua. Beberapa dari kita mungkin merasa sedikit malu dan berpikir “dulu saya melela sebagai ‘x’, sekarang saya melela lagi sebagai sesuatu yang lain”. Kita akan berpikir bahwa orang lain cenderung tidak mempercayai kemelelaan kita atau berpikir bahwa kita sedang berada dalam kondisi “kebingungan” dibandingkan menyadari bahwa identitas seksual adalah sebuah perjalanan yang akan selalu berkembang dalam kehidupan.
Jadi, melela untuk kedua kalinya mungkin akan berbeda, atau bisa jadi juga tidak. Ada sejumlah orang yang mengidentifikasikan diri mereka sebagai gay, tetapi mereka juga memiliki ketertarikan secara emosional dan fisik kepada perempuan. Hal itu menjadikan mereka butuh waktu yang cukup lama untuk melela sebagai gay, dan itu adalah proses yang cukup sulit, apalagi jika mereka harus kembali melela sebagai sesuatu yang lain. Mereka juga sekarang sepenuhnya terlibat dalam komunitas gay, dan mereka tidak ingin dikucilkan hanya karena mereka juga memiliki hubungan dengan perempuan. Jadi mereka memilih untuk berhubungan dengan lelaki dan berusaha untuk mengabaikan ketertarikan mereka kepada perempuan. Karena mereka berpikir itu “tidak sepadan”.
Perlu ada pergeseran paradigma dalam cara kita memandang seksualitas, gender, dan semua aspek identitas. Identitas seksual tidak stagnan. Mereka berkembang dengan cara yang kita tidak bisa kendalikan. Saya berpendapat bahwa ada ketakutan dalam menerima pendekatan semacam ini untuk identitas. Karena jika identitas seksual dapat berubah, maka orang mungkin berpikir bahwa kita pada dasarnya bisa “memilih” untuk tidak menjadi gay atau biseksual. Hal ini bisa menyebabkan terjadinya hal-hal yang berbahaya seperti terapi konversi. Hal ini juga dapat menegaskan gagasan bahwa orang-orang yang awalnya keluar sebagai “X” sebenarnya bingung, meskipun sebenarnya mereka tidak.
Kami tidak bingung. Waktu itu kita adalah sesuatu, dan sekarang kita berubah menjadi sesuatu yang lain. Manusia bisa berubah, tapi yang paling penting menurut saya adalah perubahan ini diluar kendali diri kita. Jadi, ketika memaksakan sesuatu hal kepada kita, seperti terapi konversi, tidak akan merubah rasa ketertarikan kita. Belum lagi sebagian dari kita yang baru saja mengalami pengalaman melela untuk pertama kalinya. Identitas seksual bisa saja tidak berubah. Ketika kecil Anda merasa Anda gay. Lalu Anda melela ketika remaja, dan ketika Anda menjadi gay seumur hidup, itu juga luar biasa.
Sebagai bagian dari LGBT selayaknya kira harus merasa lebih menerima perubahan identitas seksual dari orang lain. Sering kali, kita menganggapnya sebagai penghinaan. Pasti ada saja lesbian yang merasa dikhianati ketika lesbian lain mulai berhubungan dengan seorang lelaki. Tapi ini bukan pertandingan. Ini bukan “Anda ikut bersama kami atau Anda melawan kami”. Jadilah pribadi terbuka dan bangga tentang fakta bahwa Anda telah berkembang sebagai pribadi, dan mengeksplorasi hal-hal baru dalam hidup Anda.
*Zachary Zane adalah seorang penulis yang berfokus kepada (bi)seksualitas, gender, politik identitas dan relationships. Dia juga menjadi kontributor di Cosmopolitan, Bustle, PRIDE dan Huffington Post Queer Voices
Sumber