Search
Close this search box.

[Opini] MENTABUKAN SEKSUALITAS DAN THE GREAT LOSS

Oleh: Wida Puspitosari*

SuaraKita.org – Tubuh telah menjadi objek besar dalam proses teorisasi beberapa tahun terakhir dengan penulis-penulis seperti Michel Foucault dan Jaques Derrida yang membantah dualisme konservatif Cartesian yang meletakkan tubuh lebih rendah dibanding pikiran. Bahkan, mereka berani menegaskan bahwa tubuh merupakan objek pusat – yang melaluinya hubungan kekuasaan dapat diformulasi sekaligus ditentang. Argumen-argumen tersebut sebetulnya telah diangkat oleh para pemikir feminis. Mereka (feminis) memaparkan bahwa dalam meneorikan tubuh, tindakan memiliki kaitan secara partikular terhadap perempuan dan kelompok yang diminoritaskan oleh konstruksi seksualitas yang lalim (baca: LGBTQ). Sementara mereka (sang maskulin) diklaim sebagai spesies manusia yang ‘sempurna’ dalam hal pengalaman dan cara pandang; proses-proses biologis dan psikologis seperti menstruasi, keguguran, ‘baper’, lebay atau patah hati – diterangkan besar-besar pada tubuh perempuan dan LGBTQ, sehingga menjadi media untuk mendefinisikan mereka secara semena-mena.

Pada tataran etik misalnya, realitas tubuh perempuan dan LGBTQ mengalami materialitas yang mau tak mau membikin mereka secara diskursif hancur lebur. Dorongan-dorongan, debaran dan pancaran-pancarannya dianggap kacangan dalam sebuah budaya yang menceraikan subjek dengan ‘kemurnian’ demi sebuah proyek rasionalisme paling absolut: patriarki. Namun pada saat yang bersamaan, kebertubuhan perempuan dan LGBTQ secara sah diidealkan lalu diobjektivikasi dengan bermacam cara untuk bahan konsumsi, hiburan, sekaligus perolok. Mulai dari sini, agenda pemaksaan kerangka seksualitas melalui lokus kognitif menghampiri keduanya dalam bentuk yang seolah tabu.

Beberapa fenomena tentu sudah banyak kita baca sebagai konsekuensi dari situasi di atas, mereka bukan lagi remeh temeh: perkosaan, pelecehan seksual, eksklusi sosial kelompok LGBTQ, penindasan terhadap perempuan dan lain-lain. Kejadian tersebut adalah muara dari budaya di mana misoginisme dan androsentrisme bersarang: patriarki (lagi). Budaya yang memuat kebencian-kebencian terhadap kebertubuhan kelompok minoritas ini secara legit mengoperasikan pendisiplinan dan kekuasaannya pada segala sesuatu yang mereka konstruksikan sebagai yang tabu: ketelanjangan, tubuh, orientasi seksual bahkan intimasi. Pelanggengnya, dengar-dengar, tak hanya berasal dari jenis kelamin laki-laki, tetapi juga perempuan. Beberapa alasan yang tertangkap atasnya menegasakan bahwa hal yang berbau pembangkangan dan penyelewengan doktrin adalah distorsi. Sehingga, memahami tubuh sendiri mau tak mau dimaknai sebagai sesuatu yang kotor – dan beberapa gerombolan betinapun tak pelak turut mentabukan tubuhnya sendiri. Hal ini menjadi sangat mengerikan ketika keterasingan diri kita pada tubuh kian memunculkan kepongahan dalam kebertubuhan. Sebagai contoh adalah rasa risih dan aneh saat melihat orang lain menggunakan baju terbuka atau melihat seorang transgender melintas. Aspek-aspek hina kemudian dilekatkan oleh mereka pada tubuh sang liyan tersebut dengan cara yang bengis: bullying, pemukulan, cat calling dan lain-lain.

Lantas apa yang akan terjadi pada iklim sosial yang manusianya dipaksa pasif dengan tubuhnya sendiri? Pertama-tama adalah ketidaksadaran akan ekploitasi, yakni keberadaan tubuh akan menemukan keterasingannya dalam arti yang sebenar-benarnya. Keterasingan tersebut kemudian dipelintir oleh budaya patriarki dengan menggunakan keterasingan itu sendiri sebagai proses pembentukan ketakutan melaui dogma maupun doktrin kebudayaan ala mereka. Hal tersebut dalam konteks yang lebih jauh berpotensi melahirkan pemaksaan-pemakasaan yang mendalilkan pendisiplinan tubuh. Bagaimana mungkin seseorang mampu menyandang kemandirian akan tubuhnya jika pendisiplinan melalui ketakutan mendahului itu semua? Tidak ada harapan yang menjamin, karena pada babak pertama pengenalan akan tubuh telah diretas habis.

Hal inilah yang menjadi titik awal atas proses pentabuan tubuh beberapa kelompok minoritas, terutama perempuan dan LGBTQ. Pada skala yang lebih luas, kecenderungan iklim sosial yang seperti ini jelas akan melahirkan konsekuensi yang berakibatkan pada kerugian besar. Kebencian yang diorganisir akan memantik sebuah fantasi kolektif yang berhasrat melakukan penaklukan terhadap tubuh lain yang secara mental sedang mengalami keterasingan dan ketakutan. Semakin situasi ini dilanggengkan maka kerugian itu akan menjalar pada rasa takut yang menumpuk, hingga pada akhirnya bunuh diri menjadi pilihan kolektif pula.

Sekumpulan spesies manusia yang telibat dalam proyek kebencian sebetulnya secara tak sadar telah melakukan degradasi kepercayaan diri dan pembunuhan karakter terhadap mereka yang diobjektivikasi tubuhnya. Pertanyaan yang muncul kemudian, akankah kita rela menyuguhi anak-anak kita dengan iklim sosial yang membikin diri dan tubuhnya menjadi inferior? Akankah kita rela melihat mereka menyaksikan adegan-adegan kebencian sepanjang hidupnya? Akankah kita rela anak-anak kita menjadi bagian dari kebencian itu? Simpanlah jawaban itu dalam benak saudara lalu pikirkan sebuah generasi yang harus menerima kerugian besar bila kita tetap mempertahankan budaya di atas.

*Penulis adalah Dosen di Universitas Brawijaya Malang, pengamat masalah sosial dan aktif dan kontributor Suarakita.org